Kathmandu – Dua Puluh Menit di Sebuah Sudut Kathmandu
September 25, 2005
Thamel Guesthouse 80 NRs
Ting.. tang… ting… tang…, kedua bilah gunting besi beradu cepat, berdentang-denting bergantian di sisi kiri dan kanan telingaku. Sebuah irama yang sudah sekian lama tak lagi aku dengar, setelah pisau cukur elektrik merajai pasar salon kecantikan.
Dimulai dari rasa gerah yang teramat sangat, menyengat ubun-ubun kepalaku yang ditumbuhi oleh rambut-rambut yang semakin hari semakin lebat, aku melangkahkan kakiku mencari tukang pangkas rambut. Cukup tersembunyi di balik lorong-lorong sempit tak jauh dari Thamel, Kathmandu, sebuah salon mungil dengan hanya dua bangku terjajar rapi, dua pemangkas rambut, dan dua orang yang “terpangkas rambutnya”. Ruangan mungil itu dilengkapi dengan dua buah washtafel, nampaknya kepala pengunjung akan dijorokkan (bahasa Jawa: didelungupkan)ke washtafel itu untuk dibasahi sebelum pisau-pisau cukur menunaikan tugasnya di kepala mereka. Tak nampak satu pun peralatan elektronik di sini, semuanya serba mekanis. Oh, tak lupa juga bunyi bilah-bilah gunting yang beradu seru.
Ketika tiba giliranku mendapatkan pelayanan, rambutku terlebih dahulu mendapatkan “siraman” segar dari air yang mengocor deras dari keran mungil itu. Tak lama kemudian, bilah-bilah gunting cukur yang panjang itu mulai lagi beradu sengit menunaikan tugas mereka, yang denting-dentingnya mengingatkanku pada masa kecilku, dua puluh tahun yang lalu, ketika ayah menjorokkan kepalaku ke depan dan ke belakang sambil mengguntingi rambut lebatku. Dan pada saat itu, selalu dengan tak sabar aku bertanya pada Ayah, “Hampir selesaikah? Sudah akan selesaikah?”. Bilah-bilah gunting terus beradu, dan mereka bekerja dengan begitu sabarnya, hingga beberapa ratus hembusan napasku berlalu.
Kepalaku didorong ke depan, ke belakang, ke kiri, dan ke kanan. Helai-helai rambut berjatuhan, bak daun-daun berguguran menjelang musim dingin tiba. Dan ketika kira-kira sudah terasa sejuknya udara di kepalaku, manakala rambut-rambut yang menutupi itu perlahan-lahan menjarang, sang pemangkas rambut berkumis lebat itu mengambil sebidang cermin sambil menantiku mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, kedua tangannya dikatupkan, dengan hantaman keras memijat-mijat kulit kepalaku. Sakit dan pening yang kurasakan. Namun aku tahu, banyak yang datang ke sini hanya untuk merasakan hantaman dan pijatan itu.
“Selesai, Tuan. 50 Rupee,” sang pemangkas rambut mengakhiri tugasnya.
bahasa Jawa: didelungupkan
didelungupkan?? opo toh….
mengocor… harusnya mengucur…. kowe butuh editor kie gus 😀
eh isi blogmu yg satu ini jadi pake bhs indonesia..? 😀
Hi Agus~ Kamu wes sampai dek mana?
cakep sekarang?
How are you? I hope you are all right.
Where are you now?