Recommended

Garis Batas 44: Gara-gara Duit

Pasar rumah di Almaty, di mana segala jenis akomodasi ditawarkan. Seiring dengan kemakmuran Kazakhstan, harga akomodasi terus meroket. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pasar rumah di Almaty, di mana segala jenis akomodasi ditawarkan. Seiring dengan kemakmuran Kazakhstan, harga akomodasi terus meroket. (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang nenek Rusia yang ramah, rajin berkotbah, kini berubah menjadi angker dan tak bersahabat. Semuanya gara-gara duit.

Cukup lama saya ngekost di rumah Lyubova, nenek tua keturunan Rusia. Semua anggota keluarganya menjadi pengangguran sejak Kazakhstan merdeka. Rumah mereka terletak dekat bandara Almaty, sangat jauh dari pusat kota, dan boleh jadi adalah tempat menginap paling murah di kota ini. Saya membayar 1000 Tenge per hari, sekitar 80.000 rupiah.

Kemarin, Minggu malam, saya berkunjung ke rumah seorang kawan di pinggiran Almaty. Saya benar-benar lupa kalau hari Minggu adalah hari malas di seluruh Kazakhstan. Bus berhenti beroperasi selepas jam 6 sore. Saya menunggu bus dari jam 7 sampai jam 11 malam, tak ada satu pun yang lewat. Saya ingin berjalan kaki saja, tetapi rumah Lyubova jauh sekali. Jalan kaki bisa sampai pagi. Apalagi tingginya kriminalitas di Almaty waktu malam hari membuat saya keder juga.

Mau tidak mau saya harus naik taksi. Hampir tengah malam begini, harga taksi pun jadi mahal sekali. 500 Tenge untuk sampai ke tempat Lyubova. Saya sudah kapok main-main ke gay bar demi menginap gratis seperti minggu kemarin.

Ketika sampai di rumah kost, Mikail, anak Lyubova yang sudah lama jadi pengangguran, membukakan pintu dengan menggerutu. Si nenek sudah tidur nyenyak. Sambil berbaring di kamar saya menyesali 500 Tenge yang terbuang percuma hanya untuk bayar taksi.

Pagi harinya, saya menjumpai wajah marah dan mulut nyerocos si nenek.

“Huh. Kamu bisa bayar taksi tapi tidak bisa bayar kost-kostan,” ujarnya ketus.

Saya tidak paham. Sepengetahuan saya, saya sudah membayar semua kewajiban saya. Bahkan kemarin ketika dia menagih uang kost-kostan waktu saya pergi ke Astana 3 hari, saya sudah memberinya 1000 Tenge. Sekarang dia minta lagi 1000 Tenge karena selama saya berada di Astana dia tidak terima tamu sama sekali.

Buat saya ini semua tidak masuk akal. Gara-gara saya naik taksi kemarin malam, dan bisa bayar 500 Tenge hanya untuk taksi, Nenek Lyubova marah karena saya punya uang untuk bayar taksi tetapi tidak punya uang untuk dirinya.

Nenek Lyubova, pemilik rumah mungil di apartemen kumuh di pinggiran kota Almaty ini, semula membuat saya sangat terharu. Sebelum berangkat ke Astana, ia meminjamkan saya baju-baju hangat dan kaus kaki tebal. Setiap sore dia membacakan kisah-kisah Alkitab dalam bahasa Rusia, yang hanya tiga puluh persennya saya mengerti. Nenek juga menyediakan teh hangat setiap sore saya pulang berjalan-jalan. Sekarang, hanya karena uang, karakternya berubah drastis.

Kata-kata sinis meluncur deras dari bibir tipisnya. 

“Bukan hanya kamu yang butuh duit, kamu tahu. Saya ini terus membantu kamu. Tetapi kamu itu siapa? Wartawan miskin? Huh. Saya tidak pernah lihat ada wartawan macam kamu ini. Kalau seperti ini terus-terusan, kami nanti makan apa? Anak cucuku mau makan apa? Kamu itu punya uang! Kamu pergi saja ke Uzbekistan dan minta uang dari kedutaanmu!”

Dia begitu marah. Saking marahnya matanya sampai berkaca-kaca.

“Tidak ada diskusi lagi. Pergi! Kamu kumpulkan tas kamu, barang-barang kamu, cari hotel sendiri. Hah. Kamu kira kamu bisa mencari hotel yang lebih murah dari 1000 Tenge. Saya tahu, tidak mungkin ada, karena saya dulu juga kerja di hotel.”

Saya juga mendengar sumpah serapah mengalir deras dari mulutnya. Saya tak mau mengingat-ingat lagi.

Seribu Tenge, sejumlah uang yang membuat perilaku Nenek Lyubova berubah drastis. Saya memutuskan untuk mengikhlaskan sebagian uang saya yang sudah sangat sedikit. Saya marah. Dia pun marah. Tetapi satu menit setelah saya menyerahkan selembar uang seribuan, amarahnya langsung mereda.

Kami berdua akhirnya bicara baik-baik. Nenek Lyubova menyiapkan teh panas untuk saya. Kami baru sadar bahwa ada kesalahpahaman di antara kami berdua. Sebelum saya pergi ke Astana, Nenek Lyubova meminta saya membayar 2.000 Tenge, yang sebenarnya untuk booking kamar selama saya tidak berada di Almaty. Karena keterbatasan bahasa Rusia, saya salah mengerti. Sepenangkapan saya uang itu untuk membayar penginapan sepulangnya saya dari Astana. Tak heran kalau hari ini si nenek marah-marah dan saya merasa ditipu habis-habisan.

Seribu Tenge yang telah membangkitkan amarah si nenek. Seribu Tenge yang telah merusak mood saya menikmati hari yang cerah di kota Almaty yang berselimut salju ini. Tetapi apa yang akan saya alami dalam hitungan jam berikutnya semakin membuat saya sadar bahwa uang adalah segalanya di kota ini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 44: Gara-gara Duit

Leave a comment

Your email address will not be published.


*