Garis Batas 45: If You Wanna Live
Hari yang cerah. Saya berjalan melintasi jalan taman yang rindang di seberang Gedung Parlemen Almaty. Taman ini memang menjadi tempat favorit orang Almaty untuk nongkrong menikmati matahari yang menghangatkan musim dingin.
Hari ini tak banyak orang yang bermandi matahari di taman ini. Hanya dua orang pemuda Kazakh yang duduk-duduk di bawah monumen peringatan perang. Salah seroang dari pemuda itu mencegat saya, mau pinjam HP, katanya. Saya tidak menghiraukan. Saya memang tidak punya HP. Mereka mulai mengajak saya ngobrol dengan bahasa Inggris yang rusak parah. Saya tak punya waktu.
“Stop! Stop!” teriak salah seorang dari mereka. Saya tetap tak menghiraukan mereka dan bergegas menuju kantor pos untuk mengirim beberapa kartu.
Pegawai kantor pos, seperti di negara-negara Stan lainnya, memang judes dan ogah-ogahan kerjanya. Saya sampai harus memohon-mohon dengan penuh penderitaan supaya mereka mau menjual prangko kepada saya.
Saya menghabiskan waktu kira-kira satu jam di kantor pos, sebelum akhirnya menuju ke sebuah warnet di dekat Silkway Gipermarket. Saya hanya satu-satunya pengunjung. Ketika sedang asyik-asyiknya berselancar di dunia maya, tiba-tiba ada sebuah lipatan kertas yang terlempar ke atas keyboard. Pelemparnya adalah seorang pemuda, yang langsung melenggang ke sebuah komputer tak jauh dari tempat saya duduk.
“READ!” pemuda itu cukup kasar. Datang pemuda lain duduk di sampingnya, berbagi komputer.
Kertas surat itu kertas kotak-kotak, seperti buku matematika anak SD. Tulisan yang menghiasi kertas itu pun tidak kalah jeleknya kalau ditandingkan dengan anak SD kelas 1. Di pojok kanan tertulis:
“Read
thiz
If You WaNNA LIVe“
Saya membuka lipatan kertas itu. Tulisan di bagian dalam tidak kalah jeleknya:
“GiVe us (8 thouthans (8000) tenGe )
& you stay alive,
I pRoMIZZZ..
WhAt You thiNk?
My NAME IZ GREGG.“
Saya jadi bingung, ini surat ancaman atau surat perkenalan?
Saya ingat sekarang. Kedua anak muda ini adalah pemuda kasar yang memaksa hendak pinjam HP saya di taman tadi. Bahasa Inggris mereka amburadul. Mereka bahkan masih belum bisa membedakan huruf kecil dan huruf besar. Tetapi teknik kuntit-mengkuntit dan mata-mematai tidak kalah dengan KGB. Saya hanya diberi dua pilihan, hidup atau mati. Mereka pastinya sudah menunggu saya lama sekali di luar kantor pos dan terus mengikuti saya hingga ke warnet ini.
Saya segera meninggalkan warnet itu. Salah satu dari kedua pemuda itu, tak lebih dari hitungan menit, sudah mengikuti saya lekat-lekat. Jalan raya ramai, tetapi hati saya tidak tenang. Pemuda itu, entah yang bernama Greg atau bukan, terus menguntit saya sambil berbicara melalui HP-nya. Yang jelas, mereka bukan orang miskin. Pinjam HP di taman tadi adalah taktik untuk merampok saya.
Saya menoleh ke belakang. Si pemuda Kazakh itu, 6 meter jauhnya, menyeringai seram. “PERGI! PERGI!” saya berteriak dalam bahasa Rusia. Si pemuda malah menyeringai senang, tanpa menghiraukan saya yang semakin risau.
Di tengah kegalauan dikuntit orang tak dikenal yang berniat buruk, tiba-tiba saya mendapat akal. Saya keluarkan kamera, saya arahkan ke wajahnya. Terkejut, si pemuda langsung membalikkan badan dan menutup wajahnya dengan topi.
Kini giliran saya yang mengejar dia. Dia berlari menjauh. Saya pun segera berbalik arah, dan berlari sekencang-kencangnya. Entah berapa orang yang marah-marah karena saya tabrak, dan entah berapa supir yang menyumpahi saya karena menyeberang sembarangan. Saya terus berlari tanpa menengok lagi ke belakang.
Saya segera meloncat ke sebuah bus yang kebetulan berhenti di halte. Saya tidak tahu bus ini melaju ke mana. Saya tak peduli lagi. Bus yang penuh sesak ini ternyata masih belum memberikan rasa aman. Seketika, semua penumpang bus seakan menjelma menjadi mata-mata yang terus mengintai saya. Apakah nenek tua bungkuk yang siap-siap turun ini juga temannya Greg? Apakah pria yang duduk sambil membaca koran itu juga musuh jahat yang siap merampok saya? Atau anak kecil yang baru turun, mungkin juga informan Greg? Jantung saya berdebar kencang. Takut sekali.
Saya terus berada di dalam bus sampai bus berhenti di tujuan akhirnya. Sungguh, saya tidak tahu ini di mana. Tinggal saya seorang penumpang dalam bus itu. Tak ada Greg dan konco-konconya di sini. Aman.
Saya turun dari bus. Detak jantung saya mulai melambat. Pengalaman macam apa lagi ini?
Kazakhstan memang negeri yang menikmati kemakmuran bersama meluapnya minyak dan gas bumi. Orang-orang asing berdatangan menikmati kemewahan dan kekayaan Almaty. Tempat-tempat mewah seperti Silkway Gipermarket bermunculan di sana-sini. Bahkan replika kereta api Oriental Express senilai 3.000 dolar dijual begitu saja di penyeberangan jalan. Tetapi di kota yang sama, para gelandangan hidup di gorong-gorong yang gelap.
Hari ini mungkin memang bukan hari mujur bagi kedua bocah kriminal kecil yang menguntit saya tadi. Di kantong saya hanya ada 2.000 Tenge. Menurut standar Almaty, saya tidak lebih kaya dari gelandangan sekali pun.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Mei 2008
Leave a comment