Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia
Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita.
Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia.
Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh.
“Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur.
Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’.
Tetapi, satu hal yang paling ia rindukan selama berada di Indonesia adalah roti. Bagi orang Indonesia, tiada hari tanpa nasi. Buat orang Uzbek, tiada hari tanpa roti. Di Indonesia, tak ada roti panggang selezat di Uzbekistan. Makanya, begitu kembali ke kampung halaman, yang pertama kali dilahapnya dengan penuh haru biru adalah roti nan buatan nenek, yang dibikin istimewa dengan bahan air susu.
Sekarang, Temur adalah mahasiswa-cum-dosen di institut ini, mengajar gramatika bahasa Indonesia. Hari ini saya diajak Temur untuk melihat-lihat sekolahnya, sekaligus berkenalan dengan para pelajar bahasa Indonesia di Tashkent.
Sekolah Temur adalah gedung sembilan lantai lengkap dengan lift kuno. Di setiap koridor, ada jajaran gambar-gambar indah dari berbagai negara dan slogan-slogan berbagai bahasa. Kelas Bahasa Indonesia berada di lantai delapan, bersama-sama dengan jurusan sastra China, Hindi, Urdu, Malaysia, dan lain-lain. Koridor ini seperti anjungan pariwisata internasional. Ada peta China lengkap dengan statistik dan foto-foto Tembok Besar. Ada gambar Taj Mahal dan kerajinan tangan India. Di langit-langit tergantung barisan pesan multilingual tentang pentingnya belajar bahasa.
Institut bahasa seperti ini sebenarnya adalah sekolah yang saya idam-idamkan. Walaupun saya sangat tertarik belajar linguistik dan bahasa asing, namun akhirnya saya terdampar di sekolah tehnik, karena di Indonesia pendidikan bahasa asing masih dipandang sebelah mata.
Ketika jam istirahat tiba, mahasiswa-mahasiswa kelas tetangga menghambur keluar. Ada yang menyapa saya dalam bahasa Mandarin. ada yang asyik bertanya-tanya dalam bahasa Persia dan Tajik. Ada juga Rusia, Hindi, Urdu, dan Melayu. Dalam satu menit, otak saya harus berganti mode bahasa berkali-kali. Capek juga rasanya.
Saya malah sempat digeret ke kelas bahasa Urdu untuk syuting. Kebetulan ada stasiun televisi yang meliput kegiatan sekolah ini, terutama kelas bahasa Urdu. Karena muridnya kurang, maka kami yang tidak berkepentingan pun ikut dimasukkan sebagai penggembira. Sebagai penutup, saya juga sempat diwawancarai untuk siaran tentang kelas Bahasa Malaysia.
Sebaliknya, kelas Bahasa Indonesia kosong melompong. Tidak ada murid yang datang. Yang ada malah dua mahasiswa Bahasa Malaysia yang sibuk menerjemahkan teks. Suhbatullo, nama mahasiswa bertubuh subur itu, meminjamkan saya buku teksnya yang adalah buku pelajaran Sekolah Rendah di Malaysia. Ada daftar nama-nama planet – Marikh, Musyitari, Utarid, Zuhrah, Zuhal,…. Ah, pusing. Walaupun negara tetangga, ternyata nama-nama planet di Malaysia sama sekali berbeda. Belum lagi bacaan tentang folklor Melayu, yang kosa katanya mengingatkan saya pada percakapan Datuk Maringgih.
“Bahasa Malaysia sangat senang,” kata Suhbatullo. ‘Senang’, dalam bahasa negara tetangga artinya ‘mudah’.
Lalu ke mana perginya mahasiswa asuhan Temur? Baru pada kesempatan berikutnya saya menjumpai mereka. Betapa beruntungnya Temur, peminat bahasa nasional kita kebanyakan mahasiswi yang cantik jelita. Mereka asyik bersantap siang ramai-ramai di kantin sekolah. Mereka sudah belajar Bahasa Indonesia selama empat tahun, seangkatan dengan Temur. Totalnya semua ada 10 orang. Ada yang Bahasa Indonesianya cukup fasih, tetapi ada pula yang masih belum lancar berhitung satu sampai sepuluh.
Mengenai fenomena yang terakhir ini, saya jadi ingat seorang staf KBRI yang mengeluhkan betapa malas-malasnya murid Uzbek belajar Bahasa Indonesia. Staf dan diplomat KBRI memang terkadang datang ke sekolah ini untuk membantu mengajar, tetapi sering kecewa karena kelasnya kosong melompong karena muridnya entah ke mana semua.
“Jangan malas-malas kalau kamu tidak ingin jadi seperti Indonesia!”demikian Mbak Rosalina sering mengingatkan murid-murid di sini,
Tak ada motivasi. Menurut Temur, Satu-satunya alasan mereka masuk kelas Bahasa Indonesia adalah karena tidak punya pilihan lain.
“Ada yang sama sekali tidak tertarik, tetapi terpaksa harus masuk jurusan ini. Ada yang hanya mengejar gelar saja demi pekerjaan. Bahasa Indonesia juga tidak bisa dipakai di dunia kerja di Uzbekistan,” jelas Temur.
Hanya dibutuhkan sedikit motivasi dan kemauan, maka hasilnya jauh berbeda. Lihat saja Temur yang bukan hanya fasih berbahasa Indonesia tapi juga berhasil memenangkan bea siswa ke Indonesia dan sekarang sudah berprofesi sebagai guru. Dia memilih bahasa Indonesia karena kesukaannya terhadap kebudayaan Indonesia. “Aku dari dulu penggemar TV,” jelasnya, “terutama acara tentang berbagai negara, kebudayaan, alam, dan tradisi. Dari sanalah bermula ketertarikanku terhadap Indonesia.”
Lalu apa yang menarik dari Bahasa Indonesia?
“Aku belajar budaya dan karakter Indonesia dari bahasanya. Misalnya dari kata ganti yang beraneka ragam, aku belajar tentang standar kesopanan. Juga tentang kebiasaan orang Indonesia menggunakan kalimat pasif, aku belajar tentang sifat orang Jawa yang sangat indirect.”
Ah, betapa beruntungnya Temur. Uzbekistan, negeri terpencil di jantung Asia Tengah, ternyata lebih memperhatikan pendidikan bahasa asing, bahkan untuk bahasa-bahasa yang kurang populer. Di Indonesia, yang seharusnya lebih maju, ke mana kita harus pergi kalau mau belajar bahasa Uzbek, Turki, Thai, atau Vietnam? Kita masih tertinggal beberapa dasawarsa di belakang negara ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Mei 2008
Timur benar mas agus,kamu memang mas jagoan, bisa berapa bahasa tuh..gile bener,kalau otak saya sudah konslet belajar banyak bahasa kayak gitu..mana rumit-rumit lagi…