Garis Batas 55: Dua Bait
“Lihat, ini Bukhara kita,” kata Suhrat penuh bangga, ketika kami melintasi Masjid Kalon subuh-subuh.
Gelap masih membungkus bumi. Masjid kuno berhadapan-hadapan dengan madrasah besar yang tidak kalah uzur sejarahnya. Sunyi, namun tak bisu. Ini bukan kali pertama saya datang ke sini, tetapi tetap saja saya terpekur di bawah keagungan gedung-gedung tua yang menyinarkan keluhuran peradaban Islam dan Persia. Bulan begitu bundar, membilas menara masjid yang tinggi menjulang. Siapa yang tidak tunduk di bawah keagungan Buxoro-i-Sharif, kota Bukhara yang suci.
Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Suhrat, seorang pemuda Tajik dua puluhan tahun dari Bukhara. Rumahnya tepat di tengah kota tua Bukhara, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang semuanya berwarna coklat. Bukhara laksana mesin waktu raksasa, melemparkan semua orang ke sebuah masa kejayaan peradaban Asia Tengah.
Shokir, ayah Suhrat, adalah penjual sepatu. Bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu tradisional dari kulit, berujung lancip dan berhias sulam-sulaman indah.
“Bukhara adalah kota kuno, kota budaya, kota peradaban,” kata Shokir dalam bahasa Tajik, “ini adalah kotanya para seniman, di mana seni menjadi nafas dan detak jantung kehidupan.”
Shokir berusia empat puluhan. Garis wajahnya sangat keras, khas orang Tajik. Hidungnya mancung, matanya besar, dan alis matanya tebal dan tajam. Di musim dingin ini, Shokir membungkus tubuhnya dengan chapan, jubah tebal dan hangat berwarna biru.
Musim dingin adalah low season di Bukhara. Tak banyak wisatawan yang datang, yang berarti pula menurunnya aktivitas perdagangan barang-barang kerajinan di kota ini. Shokir menghabiskan sebagian besar waktunya sekarang di rumah, mengecat dinding kamar.
Tetapi ia tidak sembarang mengecat dengan sikat dan kapur. Shokir dengan hati-hati menyapukan kuas kecilnya ke tembok, seperti anak sekolah yang melukis dengan cat air di buku gambar. Tetapi, buku gambarnya ini selebar tembok, di keempat sisi ruangan ini. Sampai kapan Shokir akan selesai mengecat kamar ini?
“Ini adalah mimpiku sejak dulu, menciptakan karya seni agung semasa hidupku,” katanya.
Tiap olesan kuas menyiratkan perasaan hatinya. Segaris demi segaris, kamar ini kelak akan menjadi peninggalan sejarah. Mengiringi tiap guratan, Shokir menyalakan sebuah tape recorder yang tak henti melantunkan doa-doa dalam bahasa Arab. Tak kurang dari satu tahun yang dibutuhkan Shokir untuk mengecat dinding kamarnya ini.
Kebudayaan Persia berkutat pada detail, disebut miniatur. Setiap coretan kuas punya arti sendiri. Dan kuasnya tidak pernah besar, setitik demi setitik dioleskan dengan penuh perasaan. Kamar ini dihias dengan dekorasi yang dibuat dengan sungguh teliti. Bunga, bintang, bulan, sulur-suluran, dedaunan, mozaik, semuanya terbentuk dari olesan kuas berujung lancipnya. Warna-warna berharmoni indah, berimprovisasi dan menari-nari. Biru langit bersilang dengan bintang merah muda dan hijau, bertabur di atas hitam yang kelam. Bunga-bunga putih, merah, dan jingga, merayap manis di atas sulur hijau tua. Setiap lekuk, setiap guratan, adalah curahan hati Shokir. Setiap coretan adalah ibadah, adalah do’a yang tulus dari seorang manusia jelata.
Di bagian atas, kaligrafi Persia indah mengular rapi. Saya membaca perlahan-lahan:
Ya Rab sababi saaz ke yaram salomat,
Baz-ayad va berahandam az bande malomat.
Artinya kira-kira begini:
Ya Rabi, berikan keselamatan bagi kekasih hatiku,
Dan dari kungkungan penjara dunia bebaskanlah diriku.
Bukan sebarang syair. Ini adalah do-baiti, puisi dua bait pujangga besar Persia, Hafez Shirazi, yang menggugah hati. Hafez, seorang sufi Persia dari abad ke-14, terkenal akan bait-bait ghazal yang meleburkan cinta, anggur, dan kemukjizatan. Dikisahkan, Amir Temur, sang raja kejam dari Samarkand dan penguasa Bukhara, sangat menyayangi Hafez sang pujangga karena keindahan dan kecerdasan kata-katanya.
Puisi, adalah bagian tak terpisahkan dalam budaya Persia. Ungkapan perasaan melantun melalui cantiknya kata-kata dan lentingan sajak. Ada daya sihir yang luar biasa yang membius nurani. Bahasa Persia memang indah. Tak heran bahasa ini menjadi bahasa orang terpelajar di penjuru Asia, dari Istanbul, Esfahan, Shiraz, Bukhara, Samarkand, bahkan sampai ke Lahore dan Delhi. Pujangga-pujangga kenamaan lebih suka menggubah dalam bahasa Persia daripada bahasanya sendiri. Siapa yang tak kenal dengan rubayyat Omar Khayyam? Siapa yang tak kagum dengan larik-larik Sa’di dan Ferdausi? Bahkan Muhammad Iqbal, sang pujangga Pakistan, lebih suka menulis dalam bahasa Persia daripada Urdu. Di zaman kejayaan Bukhara, tak ada yang berdebat tentang kesusastraan Uzbek atau Kazakh. Yang ada hanyalah kemilau kesusastraan Persia, dan cuma Persia.
Orang Tajik, yang sejarahnya berakar pada kultur Persia (atau kebudayaan Persia yang berakar pada kultur Tajik? Ini hanyalah debat kusir tanpa guna), juga mahir berpuisi. Sering kali saya ditanya untuk melantunkan bait-bait syair dari negara saya. Dan sering kali pula saya menjawab dengan rasa malu karena keterbatasan pengetahuan saya tentang puisi dan syair.
Shokir terus menggoreskan kuasnya. Saya tak bisa membayangkan, apa jadinya kamar ini ketika olesan kuas kecil Shokir telah merambah semua sudut dindingnya. Setiap gurat warna, setiap coretan, semua mengandung makna dan perasaan yang dalam. Seratus tahun lagi, rumah Shokir ini juga akan dikenang sebagai bangunan bersejarah, milik seorang tukang sepatu sederhana yang berhasil menggapai mimpinya.
Siang hari, istri Shokir membawa senampan teh dan sebilah nan. Kami bersama-sama menikmati makan siang. Doa-doa bahasa Arab terus melantun indah dari kaset kuno itu.
“Bukhara adalah pusat peradaban Islam,” kata Shokir, sambil menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil, “kota tua ini adalah kota penting dalam agama kami.” Betapa banyak pahlawan ilmu dan sastra Islami yang lahir dan besar di Bukhara. Kota ini masih menyimpan kejayaan yang tak tertandingi.
Dua bait sajak Hafez, di dinding ruangan bertabur bintang dan bunga, diiringi lantunan doa-doa merdu dan syahdu, saya takzim merenungi keluhuran peradaban kota kuno Bukhara.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 21 Mei 2008
Leave a comment