Surabaya – Ciuman Terakhir?
Hari ini mungkin adalah hari yang paling penuh air mata bagiku, walaupun aku sudah berusaha tegar, setegar-tegarnya. Aku tak mampu menulis banyak, perasaanku masih berguncang.
Sudah 12 hari ini mama masuk rumah sakit Adi Husada di Surabaya. Mama adalah penderita kanker. Tahun lalu mama kena kanker ovarium, sudah dioperasi di Surabaya. Waktu itu, dokter yang membedah mama melihat ada kanker lain di usus. Bukannya diangkat, kanker itu malah didiamkan. Dua hari sesudah operasi mama malah dikemo. Tentu saja tubuh mama jadi lemah.
Aku langsung terbang meninggalkan semua kehidupanku di Afghanistan, untuk membawa mama berobat di rumah sakit Heng Sheng di Shenzhen. Di sana mama dikemo dua kali, lalu dioperasi. Dokter menjanjikan kami, setelah mama dioperasi, mama akan hidup sebagaimana orang normal. Kami senang sekali, dan mama pun sangat semangat. Mama adalah perempuan tangguh. Darinya aku belajar arti perjuangan. Mama tidak pernah mengeluh atau menangis. Setiap pagi dia selalu membangunkan aku untuk olah raga bersama. Aku berlari, mama bersenam. Sorenya pun mama masih pergi menari di lapangan seberang rumah sakit.
Dua bulan di Shenzhen adalah dua bulan yang penuh arti. Aku memang menemani mama yang sedang sakit, tetapi sebenarnya mamalah yang banyak memberiku energi positif. Sepulang dari Shenzhen, baik aku dan mama sama-sama dipenuhi harapan hidup.
Tetapi, enam bulan sesudah itu, yakni Februari 2010, mama kembali dideteksi kena kanker. Kanker lain tumbuh di dinding perutnya. Dokter di Shenzhen bilang harus cepat-cepat dioperasi. Dengan keuangan keluarga yang seadanya, dan berkat bantuan banyak saudara dan teman-teman, akhirnya kami berhasil mengumpulkan uang untuk kembali memberangkatkan mama ke Shenzhen. Kali ini, karena terikat kontrak, aku tak bisa menemani mama di rumah sakit. Seorang kawan mama yang menemani.
Semula kami mengira, ini operasi yang sama seperti yang lalu. Dan dengan semangat hidup mama, mana mungkin beliau menyerah? Aku sempat menyaksikan ketika mama masuk ke ruang ICU setelah operasi, dan aku segera berangkat ke beijing dengan penuh gundah. Mengapa ICU? Dulu mama pun tak pernah masuk ICU, cukup dirawat di kamar biasa.
Ternyata, tiga operasi dalam setahun sudah banyak merengut stamina mama. Luka jahitan bekas operasi tidak juga mengering, sampai sebulan lebih. Air terus mengucur. Dokter pun kebingungan. Seorang kawan, yang ayahnya adalah “orang pintar” meramalkan usia mama tidak lama lagi. Tetapi, “orang pintar” kan bukan dewa?
Ketika mama meninggalkan rumah sakit, dokter yang dulunya membekali obat-obatan untuk mencegah tumbuhnya kanker, kali ini tidak memberikan obat apa-apa. Aku malah dinasihati dengan kalimat-kalimat yang membuatku tak kuasa membendung air mata. “jangan sampai ada penyesalan di antara kita”, “yang terpenting kita semua sudah berusaha yang terbaik”, “tidak seorang pun yang bisa menjamin kanker mama tidak akan tumbuh lagi”, “biarlah mamamu menikmati hari-harinya, jangan dibikin lagi menderita dengan kemoterapi”, dan sebagainya.
Hanya seminggu pulang ke Indonesia, luka mama kembali mengucurkan air. Makan apa pun, keluar dari lubang jahitan itu. Rupanya usus yang dioperasi tidak melekat sempurna. Mama selalu tersiksa oleh penyakit itu, yang aku hanya bisa tahu “sakit”, tanpa mampu melukiskan lebih dalam lagi dalam alam nalarku yang tidak merasakan sendiri. Itu sakit yang luar biasa, ketika ada benda sekeras batu yang mendesak usus, dan makanan meluber keluar dari saluran usus mengisi semua rongga perut. Sakit seperti apakah itu? Mama bukan orang yang suka mengeluh, tak membiarkan orang lain ikut merasakan penderitaannya. Dan itulah yang mungkin salah satu sebabnya ia mendapat kanker—penderitaan yang terpendam.
Dua bulan saja. Ya cuma dua bulan, kondisi mama memburuk. Makanan sudah tidak bisa masuk lagi ke mulutnya. Perutnya sekeras batu. Kami semua panik. Mama langsung dibawa ke Surabaya, sempat mengeluh dalam keadaan seperti itu harus disiksa oleh jalan bergerunjal (thanks to Lapindo!), sampai di rumah sakit wajahnya sudah menghitam. Dokter langsung memasang selang-selang dan infus. Ternyata di perut mama tertimbun faeces banyak sekali, kanker yang sebesar 11 x 6 cm sudah mendesak usus, menekan ginjal kanan, sehingga sekarang cuma hanya satu ginjal yang bekerja. Bagaimana mungkin hanya dalam 2 bulan bisa tumbuh kanker secepat itu? Baru aku tahu fakta yang tidak pernah dikatakan dokter di Shenzhen tetapi secara jelas tertulis di laporan mereka, mama menderita adenocarcinoma, alias kanker kelenjar, salah satu jenis kanker yang sangat ganas. Mereka tahu, tidak ada gunanya mama mengetahui fakta ini. Mereka juga tahu, mentalku masih belum kuat untuk menerima fakta ini.
Aku langsung terbang dari beijing. Papa yang dulunya tegar, terdengar menangis di telepon. Papa adalah penderita stroke, sudah 7 tahun, dan terus berkata, “semua harus kita hadapi, kita yang hidup harus berjuang. Papa ini bertahan selama 7 tahun karena anak-anak belum ada yang jadi”. Papa sudah tahu, mama sudah tidak akan lama lagi.
Seminggu ini aku di rumah sakit, aku terus menyemangati mama. Dokter melatih mama untuk minum air gula. Mama tahu air gula baik untuk tubuh, ia memaksakan minum, walaupun itu sakit. Dokter bilang sekarang waktunya minum susu, mama pun semangat minum susu. Mulut boleh memaksa, tetapi ususnya tidak. Mama tetap berjuang dalam keyakinannya, ususnya lengket. Mama memintaku membawa minyak dari beijing, untuk melumasi usus. Aku harus mencari di banyak apotek dan rumah sakit, tetapi minyak ini sungguh sulit didapat. Aku tahu, minyak ini tidak akan berguna, tetapi ini mungkin adalah permintaan mama terakhir.
Kami tidak memberi tahu mama tentang penyakitnya yang sebenarnya. Kami masih berdoa, moga-moga usus mama hanya tersumbat, bukan macet total. Kami berharap, ada sebagian nutrisi dari energi susu yang bisa diserap tubuhnya.
Sampai kemarin dan hari ini, aku melihat dengan mata kepala sendiri, mama muntah. Yang keluar… ya Tuhan… faeces. Bukankah itu benda terkotor yang dihasilkan oleh tubuh manusia? Bukankah itu benda yang selalu kita hindari, kita pandang dengan jijik, kita hinakan? Tetapi, benda itu kini keluar dari mulut. Aku tak tahu bagaimana itu rasanya. Dari selang di hidung mama, yang mengeluarkan cairan lambung, keluar cairan berwarna kuning kental, persis faeces. Baunya persis faeces.
Semalam mama tidur dengan mengigau. Mama berteriak-teriak. Waktu kutanya, mama bilang, “mama mimpi, tidur di samping mamanya mama. Tiba-tiba, di pintu mama lihat ada orang. Mama teriak-teriak ke mamanya mama, ‘ma, ma, di luar ada orang! Tolong!’” Mamanya mama, nenek, atau kami panggil sebagai mak, sudah meninggal 12 tahun lalu waktu kerusuhan mei di jakarta. Dengan suara lemah mama berkata, “mama sudah minta maaf kepada mak, minta ampun semua dosa mama.”
Hari ini, papa yang menderita stroke datang dengan susah payah dari lumajang. Selama mama masuk di rumah sakit ini, papa sama sekali tidak pernah menjenguk. Papa sendiri sakit, dan aku juga kuatir akan mempengaruhi kesehatan papa.
Tak banyak perkataan antara mereka berdua. Papa sempat sesenggukan, berkata, “Aku tidak bisa mengurangi rasa sakitmu….” Aku langsung menggeret papa pergi dari ruangan. Air mata papa tentunya sangat berat bagi mama. Di luar, papa dan aku menangis bersama. Di koridor terdengar lolongan orang yang baru kecelakaan, menjerit, mengaduh. Aku sempat tersenyum ke papa, “pa, mama kita hebat sekali ya. Tidak pernah mengeluh.” “Iya, mamamu sudah terlalu banyak menahan. Ia selalu menahan.”
“Kalau mama pergi, kamu mau dikubur atau dibakar?”
Aku tak kuasa menahan tangis mendengar pertanyaan itu.
“Jangan menangis, Ho,” kata mama lemah kepada papa, sambil membelai tangan papa. Papa membelai tangan mama, mencium keningnya, dan mencium bibirnya. Air mata terus mengalir.
“Aku tidak pernah membelai mama, mencium mama,” kata Papa kepadaku, “tidak pernah seumur hidup. Ini adalah pertama kalinya.” Dalam hati kami tahu, ini juga mungkin terakhir kalinya. Kami orang Tionghoa punya kultur yang tidak suka menunjukkan perasaan secara eksplisit. Semua dipendam, dipendam, dipendam, sampai tak seorang pun yang tahu. Sebaliknya, jika mengkritik, kami tak kurang pedasnya. Aku sering kasihan mendengar bentakan papa terhadap mama. Sejak menderita stroke, emosinya sering meledak. Tapi mama sudah biasa.
Setidaknya masih ada kesempatan untuk ciuman terakhir itu. Saat aku menulis ini, mama masih di kamar, berjuang terus, dan tetap mengharap kesembuhan.
Dear Agustinus,
Tabah ya. Semoga Allah memberikan yang terbaik buak mamamu,papamu dan kamu juga.
Turut berdoa bersamamu,
Dina
ya allah, jadi teringat ibuku sendiri..
saya pengen ketemu sama mas agustinus..
Halo Agustinus..saya membaca kabar mamamu dengan hati yang ikut sedih. Tentu sangat berat bagi keluargamu menghadapi ini semua.Semoga ada kebaikan bagi keluargamu atas cobaan yang sedang dihadapi. Khusus bagimu Agus,tabahlah, setabah mamamu. Beliau telah mengajarimu pada saat di Shenzhen. Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi ibumu, kamu dan keluargamu.Salam untuk mamamu dan keluargamu…
Sangat mengharukan karena saya pun pernah mengalami hal semacam ini. Dari situ, kita tahu bahwa manusia itu memang lemah, hidupnya pendek. Dan kehadiran keluarga terdekat sangat penting bagi mama yang sedang sakit.
Ngomong-ngomong di RSAH Surabaya kamar nomor berapa? Saya mau besuk ke sana. Saya tertarik mendengar wawancara Anda dengan CRI di Elshinta dua malam berturut-turut.
rek
My pray with you and family.
semoga agus, mama dan keluarga diberikan yang terbaik.
Jadi ingat ibu..
Semoga di beri ketabahan ya.Amin
Dear Agus,
Turut prihatin dengan kondisi ibu dan bapak mu. Semoga selalu diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi semuanya, baik ibu yg sedang sakit maupun keluarga yg mendampingi.
Mas Agus, yang sabar ya.alamat dokter di bogor yang kmrn saya cerita sudah ketemu,nanti saya kirim lewat email.
minggu kmrn waktu kamu bilang lagi di surabaya, saya pengen menjenguk, tapi tidak tahu dimana tepatnya.
doa saya untuk semua keluarga..semoga Tuhan memudahkan segalanya..amin.
Dear Agus…
Saya sampai nangis loh baca kabar ini walau saya lagi ngantor.
Gus.. Sedih… trus nangis juga gak apa-apa kok jangan di pendam, biarkan dada kamu plong…. walau tidak mengatasi masalah, tapi akan sedkit melapangkan dada.
Salam buat Ibu kamu dan semoga semua di beri kekuatan. Dan buat Bpk semoga beliau tabah dan kuat.
Dan buat kamu lakukan yang terbaik untuk orang tua supaya tidak ada penyesalan.
GBU all.
semoga di beri ksabaran.ketabahn dan ketegaran buat anda pak agus…
Maaf ya Mas, saya baru aja baca postingannya sekarang
Sabar ya. Berserah. Memang hanya Tuhan kekuatan kita. Gbu n Fam
yg sabar dan tabah gus. semoga diberi kemudahan. amin..
dear agus,
kagum bgt sama perjuangan mamamu.. semoga agus dan keluarga juga bisa kuat n tabah supaya bisa terus support mama.. percaya Tuhan pasti kasi yang terbaik buat mama..
God bless u n ur fam always
Gus,
aku cuma nangis baca kabar tentang mamamu,
aku hanya bisa berdoa, sabar ya Gus,,”
Dear Agus,
Yang sabar ya…pada dasarnya semua manusia hanya menunggu giliran dipanggil kembali olehNYA.
Mas Agus, berserah kepada-Nya adalah yang terbaik. Yang tabah ya Mas… Kami sekeluarga ikut mendoakan. GBU
Dear k’agus,
really2 pray for you and family, untuk mama khusnya, untuk papa, untuk k’agus, untuk Tuhan berikan kesempatan lagi.
i also remember my mm, even it was so hard n still pain until now, but Thanks God,, masih diberikan kesempatan untuk mencium dan merawat mama.
Semoga dengan cobaan ini Mas Agus menjadi orang yg tambah sabar dan tabah seperti yg Mas Agus sudah buktikan di perjalanan2 Mas Agus dan untuk keluarga Mas Agus semoga di berikan yg terbaik oleh sang Pencipta.
yang kuat y gus…
Mas Agus! Bacakan kalimat Lailaaha illallah ke telinga mama mu beberapa kali dan seringlah perdengarkan ayat 2 Alquran semoga ia tenang dan senang.
Segala yang terbaik yang berasal dari Tuhan Alah buat Ibu, Bapak, Agustinus dan keluarga.
Tuhan Memberkati.
Kematian mungkin jalan terbaik untuk melepas penderitannya,, memang kedengaranya tidak bagus,, tapi daripada menderita terus,, sulit memang menerima kehilangan orang yang kita cintai,, saya juga penah mengalami kejadian tesebutt tapi itu semua akan berlalu seiring berjalanya waktu..
Makanya yg sy kenal orang Tionghoa banyak pendiam tapi kalo mengkritik pedas. Ini merupakan pelajaran bagi saya. Dimanapun suku apapun ada plus minusnya. Itu manusiawi. Oya sy tinggal di Sby. sy ikut prihatin dan merasakan kesedihannya.
udah lama sekali ngga mampir kesini…
Tapi entah knp hari ini setelah buka FS & liat profilemu malah jadi mampir kesini.
Setidaknya agustinus punya kesempatan buat nemenin mamamu disaat terakhir, krn aku sendiri ngga bisa nemenin papaku disaat terakhirnya dia(pas dgn tgl postingan yg agustinus tulis)… Merindukan org yg sudah meninggal itu menyakitkan ya krn tidak bisa ditelp 😀 tp gimanapun jg beban penyesalannya jgn dibawa terus krn berat :)..GBU.
Turut prihatin mas Agus. Saya domisili Sumut, suku Tionghoa, mengalami hal yg mirip. Akhir 2007 Mama saya menderita kanker pankreas stadium 3, ironisnya penyakitnya tdk terdeteksi padahal sdh cek up di sebuah RS international di Medan beberapa kali. Selama setahun bolak-balik ke luar negeri menjalani pengobatan, berbarengan dgn kondisi kesehatan dan keuangan saya yg juga memburuk. Untunglah ada keluarga yg memberikan dukungan, ketika menjalani operasi keluarga byk yg menentang alasannya atas nasehat ” org pintar “. Stlh menjalani operasi kesehatan mama naik-turun, hingga akhirnya….Papaku kondisinya drop an tepat 9 bulan papapun menyusul. Satu hal yg amat kusesali adalah tdk dapat memenuhi permintaan terakhir mama utk segera berkeluarga….