Detik Minggu (2012): Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya
11 Maret 2012
Detik Minggu
Resensi:
Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya
Garis Batas, Manusia, dan Kehidupannya
Resensi Detik Minggu
http://edisi.hariandetik.com/default.aspx?iid=60458&startpage=page0000014
BAHARUDDIN ARITONANG (pencinta buku)
Apakah kemerdekaan membawa mereka menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya?
Membaca buku ini amat mengasyikkan. Ibarat membaca novel, tapi sarat ilmu pengetahuan. Seperti judulnya, buku ini berkisah tentang perjalanan melintasi batas lima negeri di Asia Tengah: mulai Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan terakhir Turkmenistan. Buku ini juga bertutur tentang pergulatan manusia di kelima negara yang dikunjunginya itu. Manusia yang bergulat melawan garis batas kehidupan.
Agustinus bukanlah pelancong biasa, la lebih tepat disebut pengembara, yang di dalam buku ini mahir mendeskripsikan negara, suku, ras, kebudayaan, agama, jenis kelamin, bahasa, serta keanekaragaman yang unik di negeri-negeri yang dikunjunginya. Melalui buku ini, cakrawala pengetahuan kita menjadi lebih terbuka bahwa ada negara-negara seperti disebut di atas. Negara-negara yang hampir selama satu abad tidak pernah didengar namanya karena tertutup oleh kebesaran komunisme Uni Soviet Namun, sejak 1992, kelima negeri itu termasuk yang mandiri sebagai sebuah negeri sendiri. Apakah kemerdekaan itu membawa mereka menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya?
Buku ini merupakan kelanjutan dari kisah perjalanan Agustinus di Afganistan yang telah diterbitkan dengan judul Selimut Debu. Karena itu, tidak aneh bila perjalanan ini dimulai dari cerita penyeberangannya dari Afganistan ke Tajikistan. Sebagian berasal dari pengalamannya di dalam negeri, seperti dapat dibaca pada “Berayun di Antara Tumpukan Identitas” (halaman 194-236). Termasuk pergulatan jiwa yang terasa mirip yang dirasakan Margareta Astaman di dalam buku Excuse-moi (Penerbit Kompas, 2011).
Agustinus menguraikan perjalanannya dari kota demi kota, bahkan kampung demi kampung. Terkadang harus ditempuh dengan berjalan kaki atau menunggu berhari-hari sampai ada truk yang melintas untuk ditumpangi. Simak ketika dia melintas di Tajikistan dan Kirgizstan, daerah pegunungan yang ditutupi es atau padang-padang luas tak berpenghuni. Alam yang keras berpadu dengan penduduk yang miskin. Perjalanan dari Langar ke Murghab di daerah Tajikistan, misalnya, ia memilih menginap di Alichur, sebuah warung kecil atau stolovaya yang lembap dan dingin bersama sopir-sopir truk Kirgizstan (hal 92)
Tentang Kirgizstan, Agustinus menulis ibu kota negara itu semula bernama Frunze, nama seorang pahlawan komunis Tapi, setelah merdeka, diganti menjadi Bishkek, yang artinya alat pengaduk susu kuda, minuman bangsa penggembala. Terakhir dia bercerita tentang Turkmenistan, yang serba tertutup. Di Kota Asghabat, ibu kota negara itu, hanya terdapat satu warnet, walau puluhan patung mantan presiden, yang disebut Terkmenbashi, terbuat dari emas. Harga akses di warnet itu 100 ribu manat atau Rp 38 ribu per jam, setara dengan harga tiket pesawat domestik pergi-pulang (hal 474).
Betapapun persoalan yang dihadapi oleh rakyat negeri itu, mereka justru diberi bayangan akan datangnya masa depan yang lebih baik, abad emas. Setiap rakyat negeri-negeri ini tampaknya selalu diberi fantasi akan datangnya kehidupan yang lebih baik. Begitulah orang- orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan, senantiasa memiliki fantasi tersendiri yang menjadi garis batas antara harapan masa depan dan kondisi masa kini.
Meski telah hampir 20 tahun merdeka, bahasa Rusia masih berperan amat penting di kelima negeri itu. Padahal bangsa Rusia jarang tergerak mempelajari bahasa-bahasa republik yang ditinggalinya (hal 455). Di luar fisik, mental, dan materi, Agustinus juga mempelajari beragam bahasa dari negeri-negeri yang akan disinggahinya. la pernah mengambil jurusan komputer di Beijing, selain tertarik memperdalam bahasa Rusia, dan mempelajari bahasa Turki, Parsi, serta bahasa Kazakh dan Kirgiz. Tentu ini didapatnya karena ia pernah bermukim sekitar dua tahun di Afganistan (hal 499).
Mutiara perjalanan ini tampaknya memang Uzbekistan, terutama Bukhara dan Samarkand. Sebagai pusat pemerintahan Amir Temur atau Timur Lenk, yang pernah menguasai Asia Tengah, keduanya memiliki banyak peninggalan sejarah yang kini menjadi obyek wisata, di antaranya makam Amir Temur dan makam Imam Bukhari serta Registan, yang dulu menjadi pusat pendidikan tapi kini hanya menjadi seonggok bangunan yang menjadi pusat perhatian wisatawan.
Setelah mengunjungi Uzbekistan dua tahun lalu, saya sebenarnya berkhayal dapat mengunjungi negeri-negeri Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, dan Turkmenistan, negeri-negeri yang dilalui Jalur Sutera, perdagangan sutera dari Tiongkok ke Eropa berabad lalu. Namun, dengan membaca buku ini, angan-angan saya ini seolah-olah dapat terpenuhi. Bahkan lebih dari yang saya harapkan, yang dapat dibaca dari buku ini bukan hanya alamnya, tapi juga sejarah serta manusia dan kehidupannya.
Buku ini menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang ingin mengetahui dan memperdalam negeri-negeri Asia Tengah. Juga menjadi semacam panduan bagi teman-teman backpacker, bagaimana menyiasati hidup dalam perjalanan, termasuk menghadapi alam yang berat seperti suhu ekstrem pada musim dingin.
Leave a comment