National Geographic Traveler Indonesia (2011): Destinasi Mana pun Istimewa
Agustus 2011
National Geographic Traveler Indonesia
Empat Mata: Destinasi Mana pun Istimewa
Teks: Vega Probo
Terkesima menyimak foto-foto Afghanistan di rubrik Portfolio Majalah National GeographicTraveler edisi kali ini? Kenali lebih dekat sang penulis dan fotografer, Agustinus Wibowo.
Berasal dari keluarga yang nyaris tidak pernah berpelesir, pria yang menguasai belasan bahasa dunia ini justru telah melanglang buana. Hampir semua perjalanan dilakukannya seorang diri atau bersama rekan yang ia jumpai di jalan, “Kalau cocok, jalan bareng. Kalau tidak cocok, tinggal berpisah di jalan.”
Pengalamannya menjelajahi Afghanistan dan negara-negara Asia Tengah ia tuangkan masing-masing dalam buku Selimut Debu (2010) dan Garis Batas (2011). Dalam dua kesempatan bertatap muka dengan pria ramah ini di Jakarta, beberapa waktu lalu, berlanjut obrolan via dunia maya, tersirat betapa besar semangatnya untuk menjelajah—sebesar pembelajaran berharga yang ia refleksikan pada pembaca bukunya.
Kapan dan ke mana pertama kali bepergian jauh?
Pertama kali melakukan perjalanan independen ke Mongolia, tahun 2002. Pada hari pertama dan kedua di negara itu saya dirampok. Pengalaman itu mengajarkan saya bahwa sebenarnya tantangan dapat dihadapi. Setidaknya saya tidak lagi takut melakukan perjalanan independen, itulah yang kemudian menciptakan konsep traveling bagi saya. Selama tiga minggu di Mongolia, saya menyaksikan banyak kultur yang “hidup” kembali karena adanya turisme. Misalnya, tradisi eagle hunting (berburu dengan elang) yang semakin ramai karena setiap tahun digelar untuk turis asing.
Adakah sesuatu menginspirasi Anda untuk melanglang buana?
Saya mengoleksi banyak perangko dari hampir semua negara dunia. Melihat lukisan di lembar-lembar perangko membuat saya berfantasi tentang negeri-negeri antah berantah.
Lalu, bagaimana ceritanya Anda menjelajahi Afghanistan dan negara-negara di Asia Tengah?
Umumnya saya menghindari tourist spot, karena bagi saya perjalanan adalah proses pembelajaran. Saya belajar tentang kehidupan masyarakat yang sebenarnya, dan itu agak susah ditemukan di tourist spot. Saya lebih suka mengunjungi desa-desa terpencil yang tidak masuk dalam daftar destinasi wisata, atau boleh dibilang off-the-beaten track, karena saya bisa menemukan kehidupan yang sebenarnya, dan mendapatkan pembelajaran perjalanan yang sesungguhnya. Afghanistan, menurut saya, bagaikan kotak harta karun. Setiap saya melangkah, selalu ada kejutan, ada pradoks. Saya terpukau oleh misteri Afghanistan, sampai tinggal di negara itu tiga tahun. Tulisan tentang Afghanistan menjadi buku berjudul Selimut Debu.
Apa yang sesungguhnya ingin Anda bagi pada pembaca?
Saya berharap pembaca bukan sekadar melihat kehidupan di lokasi-lokasi yang saya tulis, tetapi sekaligus bisa mengambil refleksi dari kisah hidup, baik keberhasilan maupun kegagalan dari bangsa-bangsa lain, dan diambil hikmahnya untuk kehidupan kita sendiri di Indonesia. Perjalanan sebenarnya adalah proses refleksi, begitu juga tulisan perjalanan. Saya mempromosikan responsible traveling, karena perjalanan yang dilakukan dengan tidak bertanggung jawab akan menimbulkan dampak negatif, utamanya bagi tempat yang dikunjungi.
Banyak orang yang menulis buku perjalanan, tetapi sedikit buku perjalanan yang mengesankan. Menurut Anda?
Menulis buku perjalanan mungkin tidak semudah orang bayangkan. Bukan sekadar pergi ke suatu tempat atau negara, menulis buku harian, lalu diterbitkan. Buku perjalanan, atau di sini saya memfokuskan pada narasi perjalanan, hendaknya punya benang merah dan alur kuat. Perjalanan adalah proses pembelajaran, proses pendewasaan diri, dan proses mencari sesuatu. Untuk perjalanan yang saya lakukan di Afghanistan, misalnya, saya mengambil alur tentang paradoks kebanggaan penduduk di negeri yang hancur-lebur oleh perang. Untuk perjalanan Asia Tengah, saya terkesan oleh bagaimana garis batas negara membelah negeri-negeri di sana—Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, lalu mereka saling bertikai demi garis batas dan konsep ciptaan penjajah. Maka plot yang saya angkat dalam buku Garis Batas adalah tentang garis batas, bukan hanya fisik tetapi juga mental, yang memisahkan manusia.
Berpengalaman melanglang buana, bagaimana Anda memandang pariwisata di Tanah Air?
Kita punya negeri yang kaya, yang diminati pengunjung dari mancanegara, dan tentunya kita harus berbangga akan hal itu. Tetapi di sisi lain, kita harus ingat turisme adalah dua sisi mata uang, di satu sisi sektor pariwisata yang maju mendatangkan banyak turis dan pemasukan, tetapi di sisi lain banyak “racun” pariwisata yang merusak kebudayaan masyarakat setempat. Saya sendiri paling berkesan saat berkunjung ke Danau Toba. Lucunya, ada warga lokal yang nggak percaya saya orang Indonesia, dan ia terus bercakap dalam bahasa Inggris.
Destinasi manakah yang masih membuat Anda penasaran?
Penasaran? Rasanya saya sekarang sudah tidak terlalu penasaran lagi akan destinasi. Dulu saya ingin sekali ke negara-negara tertutup seperti Bhutan atau Korea Utara, juga ke negara-negara yang tidak eksis, seperti Nagorno Karabakh, Abkhazia, atau Transdniester. Tetapi sekarang, menurut saya destinasi itu bukan segala-galanya. Perjalanan pada hakikatnya bukan lagi mencari eksotisme, tetapi proses untuk belajar, dan kita sebenarnya bisa belajar di mana saja. Salah satu filosofi saya dalam perjalanan adalah: it’s not about the destination, it’s about the journey. Jadi destinasi mana pun adalah istimewa, bahkan kampung halaman sendiri yang sudah begitu Anda kenal.
Leave a comment