Jawa Pos (2011): Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan
15 Mei 2011
Jawa Pos
Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan
JUDUL: Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
PENULIS: Agustinus Wibowo
PENERBIT: PT Gramedia Pustaka Utama
TERIT: April 2011
TEBAL: xiv, 510 halaman
Menceritakan petualangan ke negara-negara yang “tak masuk peta” dengan bahasa yang mengalir. Mendefinisi ulang makna garis batas.
SEIRING dengan kemajuan ekonomi dan membaiknya kesejahteraan, traveling kini bukan lagi barang mewah di Indonesia. Entah traveling ikut group tour atau model menggelandang gaya backpacker, semuanya sudah jadi gaya hidup anak muda sampai orang tua. Para pelakunya pun seperti berlomba mendokumentasikan perjalanannya. Baik dalam bentuk buku maupun dipajang di situs jejaring sosial untuk sekadar pamer ke teman atau kolega.
Namun, di antara sekian banyak buku yang bertebaran itu, tak ada yang seistimewa Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah, karya Agustinus Wibowo. Istimewa lantaran buku ini tak hanya menginformasikan tempat makan, tempat pelesiran, atau penginapan. Di sini Agustinus mengajak kita bertualang di negara-negara berakhiran Stan yang nyaris jarang mendapat kunjungan. Mulai Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan berakhir di Turkmenistan. Garis Batas adalah buku kedua Agustinus setelah Selimut Debu yang membahas tentang Afghanistan.
Saat bertatap muka di Beijing, Tiongkok, akhir April silam, siapa yang menyangka sosok inilah yang berkelana mendaki gunung, mengarungi gurun, hingga menembus awan di berbagai negara yang mungkin tak masuk peta. Perawakannya sedang, tutur katanya pun kalem, sama sekali tak menyiratkan bahwa pria kelahiran Lumajang, Jatim, pada Agustus 1981, itu adalah petualang yang kenyang menghadapi marabahaya.
Dikemas dengan bahasa yang mengalir dan diselingi humor kecil, Garis Batas memang menawarkan cerita yang berbeda dari buku-buku traveling yang membanjir sebelumnya. Bagi Agustinus, backpacking adalah proses pembelajaran. Bukan sekadar mengunjungi tempat demi mengatakan, “I have been there” atau memenuhi paspor dengan stempel. Dengan diskripsi yang detail tentang negara-negara antah berantah itu, Agustinus memudahkan kita belajar sejarah dunia tanpa harus mecari text book sembari mengerutkan kening ketika membacanya.
Dalam bukunya, penulis juga ingin memberikan perspektif baru tentang garis batas. Bukan hanya garis batas yang membatasi negara secara wilayah, tetapi juga garis batas yang membatasi manusia dalam menjalani berbagai esensi kehidupan, baik disadari ataupun tidak.
Garis batas geografis ditandai oleh sungai, pegunungan, jalan, atau tonggak yang terpancangan tardua wilayah negara yang berbeda. Saat kita melewati garis tersebut, banyak hal yang berubah. Mulai negara, bahasa, mata uang, agama, adat istiadat, sampai budaya. Perubahan itu terkadang tipis tak terlihat sampai lebar tak terhingga.
Sedangkan garis batas manusia, kadang ditandai dari kulit dan etnis. “Kulit membungkus manusia. Warnanya adalah garis batas, identitas, label, penentu takdir.” (hal 265)
Hal ini banyak ditemui penulis di negara-negara yang telah dijelajahinya. Banyak orang yang terjebak di sebuah negara dan harus menjadi minoritas dengan segala konsekuensinya. Kalaupun dia memaksa hengkang dan bergabung dengan etnisnya yang menjadi mayoritas di negara lain, mereka tetap dipandang berbeda. Tetap dicap sebagai orang asing.
Agaknya, kesamaan-kesamaan itu—seperti yang dialami penulis semasa kecilnya di Lumajang—membuat Garis Batas begitu kaya dan menggugah emosi. “Persamaan sebuah identitas bagi sekelompok orang begitu penting, sedangkan sekelompok orang lain sukar memahami di mana pentingnya.” (hal 396). Tapi, pengalaman itu justru membuat penulis menjadi dewasa. Agustinus pun terlihat mudah membaur dan beradaptasi meski etnis, bahasa, situasi, dan lingkungan tiap negara berbeda-beda.
Jika dibandingkan dengan buku sebelumnya, foto-foto hasil jepretan penulis kali ini terlihat lebih berwarna. Selain memberikan penyegaran mata di tengah tulisan beratus-ratus halaman, foto-foto itu membantu pembaca lebih jelas menerjemahkan imajinasinya. Tak berhenti di situ. Epilog yang menyisipkan experience penulis berhasil membuat ending yang berkesan. Ditambah lagi chapter “Rahmat” sebagai ucapan terima kasih penulis kepada ibunya, yang sangat menantikan terbitnya buku ini di saat mengidap penyakit parah. Semuanya berhasil “menyentuh” pembaca.
Yang jelas, setelah membaca buku ini, seseorang yang mempunyai jiwa petualang bakal tertantang untuk menapaktilasi jejak Agustinus yang menarik namun tidak mudah.
Akhirnya, buku ini memberikan sebuah wawasan bahwa dunia yang bisa dikunjungi bukan sekadar Amerika, Jepang, Prancis, dan Singapura. Ada belahan dunia lain yang layak dicicipi dan dirasakan aura kedahsyatannya. Justru, negara-negara itulah yang berabad-abad silam jadi pusat peradaban dunia.
(*) Mukas Kuluki—Wartawan Jawa Pos.
Hi Mas Agustinus,
Nice book.
Do you mind to share Mukas Kuluki email? Im interested to share my thought over a media, maybe he can help me.
Thanks.
Lucia