MyTrip (2011): Agustinus Wibowo Si Kutu Buku yang Akhirnya Malang-Melintang di Afghanistan
MyTrip Vol 1/2011 Maret 2011
Pewawancara: Mayawati Nur Halim
Foto: Dokumentasi pribadi Agustinus Wibowo, Mayawati Nur Halim (foto Agustinus menandatangani buku)
Pertama kali melihat sosok Agustinus Wibowo, saya tak mengira dialah petualang pemberani yang mblusuk-mblusuk pedalaman Afghanistan, negeri yang penuh gejolak. Posturnya sedang, kulitnya putih, cara bicaranya lembut. Jauh dari kesan petualang. Padahal bukan cuma Afghanistan; Mongolia, Iran, Tibet, Nepal, India, Pakistan, Tajikistan, Kirghiztan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan, juga Laos telah dirambahnya. Semakin besar tantangannya, semakin ia menikmatinya.
Di satu kesempatan Juli lalu, Gus Weng, begitu ia dipanggil, berbagi cerita dengan myTrip. Kebetulan saat itu ia tengah kembali ke Indonesia dan datang ke Jakarta untuk memenuhi undangan temu muka dengan anggota milis Jalansutra. Berpuluh halaman pun sebenarnya tak cukup untuk menuangkan kisah-kisah menakjubkan yang dituturkannya. Jadi, bacalah buku pertamanya Selimut Debu jika ingin menikmati ceritanya lebih detil. Tapi yang disarikan pemuda 28 tahun asal Lumajang, Jawa Timur ini, khusus dibagikannya untuk pembaca myTrip.
Momentum yang membuat kamu seperti sekarang?
“Saat menjadi relawan di Aceh, Januari 2005, setelah tsunami (Desember 2004), beberapa bulan sebelum saya lulus kuliah di Beijing. Sejak saat itu saya memutuskan tidak akan melanjutkan studi S2 di bidang ilmu komputer dan total menjadi jurnalis. Padahal saat itu saya ditawari beasiswa S2 dari salah satu universitas terbaik di Cina.”
Hal paling mendebarkan selama di perjalanan?
“Banyak, salah satunya saat visa sudah akan habis hari itu, tapi perjalanan saya keluar negara itu terhambat macam-macam. Saya memang tipe orang yang senang menghabiskan masa visa sampai ke titik terakhir. Deg-deg-annya itu yang saya cari.”
Pendapat kamu soal dihancurkannya Patung Buddha di Bamiyan Afghanistan oleh Taliban?
“Sebagai penganut Agama Buddha pasti sedih, juga kaget. Tapi dalam Agama Buddha diajarkan, tiada sesuatu yang abadi, termasuk patung. Jadi patung itu bukan sesuatu yang kita sembah. Sudah hancur, ya sudah. Memang amat disayangkan, patung yang umurnya ribuan tahun, peninggalan peradaban yang begitu kuno dan luhur seketika saja hancur, karena ego manusia. Waktu saya lihat reruntuhannya paling tinggal 1-2 persen tersisa. Tinggal relung besar. Dan sisa batu-batu yang berwarna. Tapi semua sudah tidak berbentuk sama sekali. Saya datang ke sana 2003, masih reruntuhan. Sekarang sudah jadi tempat wisata, diberlakukan tiket masuk.”
Mengoleksi barang yang kamu temui dalam perjalanan?
“Semakin saya berjalan, semakin saya merasa, nggak ada yang abadi. Koleksi pun nggak abadi. Saya berusaha mengurangi keterikatan kepada barang. Sekarang masih dalam proses perjuangan untuk belajar melepas. Karena makin banyak hal yang mengikat kita, semakin membebani. Sekarang saya lihat koleksi-koleksi saya, satu lemari. Ini mau saya apain? Saya nggak bisa ke mana-mana dengan ini.”
Tak cuma terhadap barang, kamu belajar juga melepas orang-orang yang kamu sayangi?
“Memang kita pasti punya rasa rindu, tapi bukan berarti secara fisik kita harus selalu bersama. Apalagi kalau kita sudah biasa berjalan jauh. Semakin biasa mengalami pertemuan dan perpisahan. Dulu, saat memulai hidup jauh dari rumah, kalau kangen sama orangtua, ya paling telepon, atau kalau bisa online. (Saat wawancara, ibunda Agus tengah dirawat di sebuah RS di Surabaya karena kanker yang sudah menyebar di tubuhnya. Segala cara telah dilakukan untuk sang ibu termasuk menemaninya berobat ke negeri Cina. Dan, saat itu Agus memang terlihat ikhlas dengan kondisi ibunya. Tanggal 29 Juli 2010 akhirnya sang bunda meninggalkan Agus untuk selamanya). Kalau kita lama di jalan, kita makin sadar di depan alam ini kita bukan siapa-siapa. Kita hanya bisa berserah kepada keberuntungan.”
Teman dekat yang selalu dihubungi di mana pun berada?
“Saya selalu punya teman di mana-mana, dari berbagai penjuru dunia. Jadi tidak membedakan mana yang teman dekat, mana yang bukan.”
Banyak pembaca tulisan kamu berpendapat, kamu cocok dengan Lam Li (petualang dan jurnalis asal Malaysia yang pernah menjadi teman perjalanan Agus). Pendapatmu?
“Bagi saya Lam Li itu sister. Saya masih sering kontak dan ketemu dengan dia. Karena kebetulan kan Lam Li kerja di media juga di Beijing. Dia banyak bantu saya.”
Titik nadir yang pernah kamu alami dalam perjalanan? Seperti dekat dengan kematian?
“Waktu hampir dirampok dan diculik oleh supir taksi di Afghanistan. Saya dibawa ke tempat yang jauh dan sepi. Sempat membayangkan, saya bisa lewat nggak malam ini. Saya bisa saja diculik, diserahkan ke Taliban, dan dibunuh. Banyak orang asing yang diculik, ditembak di jalan. Saking takutnya, saya baca-baca doa dalam Bahasa Arab, sampai supir taksinya nyuruh saya berhenti. Dia gertak, “Kamu kasih saya uang dulu!” Saya jawab, “Saya pasti kasih uang tapi antar dulu ke tempat saya.” Kantor saya kan dekat Kementerian Dalam Negeri, pasti banyak tentara. Pas saya tahu sudah dekat dengan jalan itu, saya langsung lompat dari taksi dan guling-guling di atas salju. Jadi malah saya yang ngerampok taksinya karena nggak bayar. Hehehe….”
Kalau di Indonesia pernah keliling ke mana saja?
“Malah belum. Saya meninggalkan Indonesia 10 tahun lalu, untuk kuliah di Beijing. Dan baru mulai suka jalan tahun 2002, backpack ke Mongolia. Pulang ke Indonesia paling 2 atau 3 tahun sekali, cuma
sebulan. Kalau pulang, selain ke Lumajang, ke Jakarta dan Surabaya juga. Waktunya terbatas, hanya untuk keluarga. Dan lagi, keluarga saya termasuk tipe yang terlalu takut. Saya udah ke Afghanistan, mau ke Bali aja dibilang, “Nanti kamu diculik.”
Ceritakan tentang masa kecil dan remaja kamu dong! Katanya anak mami?
“Saya dulu lebih ke kutu buku. Kata ayah saya, dunia saya cuma 3X3 m, sepanjang hari cuma di kamar aja, baca buku. Yang sempat saya sesali dari masa kecil saya, karena saya fokus ngejar prestasi. Memang prestasi sekolah saya cukup bagus, termasuk tertinggi di Jawa Timur. Tapi setelah belakangan saya pikir-pikir, prestasi bagus juga nggak ada artinya. Jadi dulu saya sama sekali nggak pernah main.”
Awal mula sampai akhirnya backpack ke Mongolia pertama kalinya?
“Awalnya tahun 2001, karena ingin jalan-jalan, saya ikut tur di Cina. Saat itu saya nggak kepikiran untuk jalan sendiri. Menyeramkan. Ya sebagai peserta tur, ngekor guide yang bawa bendera ke mana-mana. Sempat ada peserta yang telat sampai 1 jam, kita semua nunggu di bus demi satu orang itu. Terus dimasukin ke toko-toko untuk belanja. Sejak saat itu saya memutuskan seumur hidup nggak mau lagi ikut tur. Sekali dan terakhir. Ini juga boleh disebut sebagai titik nadir dalam hidup saya, hahaha.
Nah, selanjutnya, saya terinspirasi teman Jepang cewek yang nggak bisa Bahasa Inggris tapi berani keliling Asia Tenggara sendiri. Dia aja bisa, masak saya nggak? Jadi setelah itu saya melakukan perjalanan pertama tanpa tur ke Mongolia selama 3 minggu, berdua dengan teman Indonesia juga. Saat itu Mongolia masih liar sekali. Vodka dan kriminal di mana-mana. Setelah Mongolia saya ke Laos. Memang Laos menarik, penduduknya ramah tapi terasa ada yang kurang, terlalu gampang, membosankan. Yang menarik buat saya yang tantangannya berat. Liburan musim panas tahun berikutnya saya langsung ke Afghanistan, lewat Pakistan.”
Kenapa Afghanistan?
“Saya dengar setelah Taliban jatuh, Afghanistan itu negara yang menarik untuk dikunjungi. Selain itu waktu di Pakistan, banyak yang bilang, sekarang ke Afghanistan gampang, banyak yang backpacking ke sana. Yang ketiga, Afghanistan itu datang dalam mimpi saya sebagai seorang perempuan, terselubung. Dari mimpi itu saya melihat eksotisnya, menariknya, tertutupnya. Jadi begitu ada kesempatan ke Afghanistan, saya pikir ini kesempatan menemukan siapa perempuan yang terselubung itu.”
Jadi kamu tipe orang yang begitu punya mimpi langsung dikejar?
“Bisa dibilang seperti itu. Saya idealis, mengejar mimpi, tapi saya juga realis. Saya coba untuk meraih mimpi yang bisa saya raih. Saya sadar dengan usia seperti sekarang nggak mungkin ide-ide saya semua terwujud. Jadi saya lebih selektif.”
Kamu kerja legal selama di tempat-tempat yang kamu kunjungi?
“Saya kerja di luar negeri selalu legal, pakai visa kerja. Kantor yang mempekerjakan saya yang mengurus visa kerjanya. Kalau waktu jadi relawan di Pakistan baru pakai visa turis. Jadi relawan memang tidak dibayar tapi tinggal dan makan gratis, dan saya bisa belajar banyak hal baru.”
Sekarang sedang ingin mewujudkan mimpi ke mana?
“Kalau lihat dari peta, Korea Utara dulu. Untuk bahan buku berikutnya. Karena saya ingin buat buku mengenai perjalanan filosofis. Bagi saya Korea Utara itu sebuah utopia yang masih belum tersibak. Setelah itu baru ke negara-negara Arab dan Rusia.”
Pernah berpikir suatu saat berhenti?
“Sementara ini masih belum. Tapi saya juga kan manusia biasa. Ada rasa rindu pada satu tempat, kembali ke titik nol. Kita kan bakal jadi tua, sakit. Dalam keadaan tertentu kita perlu kembali ke titik nol kita, ke titik asal, ke akar kita.”
Tempat yang kamu impikan untuk menetap?
“Masih belum tahu. Di Indonesia atau di luar negeri juga belum tahu. Di Indonesia saya nggak punya rumah selain rumah orang tua. Jadi kalaupun di Indonesia saya harus mulai dari nol.”
Kalau pekerjaan? Sudah mantap sebagai jurnalis?
“Ya di bidang media. Sekarang kan sudah ada pengalaman di bidang fotografi dan menulis, ke depan ingin coba bidang sinematografi. Menurut saya sinematografi cara yang efektif untuk menyampaikan pesan.”
Dari ngobrol ngalor-ngidul setelah wawancara resmi, baru diketahui kalau Agus ternyata takut ketinggian. “Tapi itu bisa ditaklukkan kok. No way back. Itu ampuh,” ceritanya sambil tertawa. Namun bukan berarti semudah itu menaklukkannya. Dia pernah gagal saat pertama kali mencoba melintasi jalur liar Tembok Cina di sisi Si Ma Tai (yang biasa dikunjungi turis adalah sisi Ba Da Ling). Melihat celah di ketinggian dengan jurang menganga di kiri-kanan, Agus yang saat itu masih kuliah, memilih mundur. Dua tahun setelahnya, percobaan kedua, barulah ia berhasil mengalahkan ketakutan untuk melompatinya.
“Jalur itu sebenarnya dilarang dilalui. Terlalu berbahaya. Tiap hari ada saja yang tewas di sana. Makanya ada polisi yang jaga. Saya dan teman-teman kuliah sengaja tidur di rumah petani di desa terdekat. Lalu jam 3 dinihari kita sudah mendaki ke sana, sebelum ada polisi.”
Satu hal lagi, Agus yang mengagumi wanita Iran sebagai wanita tercantik di dunia, ternyata tidak suka trekking. Lho, tapi kamu trekking di Annapurna, Nepal, dan juga di Pegunungan Pamir, Afghanistan? “Saya trekking di Annapurna karena katanya setelah melewati satu sirkuit kita bisa melihat 18 suku. Ternyata yang saya temui hanyalah desa turis, sudah nggak asli,” papar Agus, setengah kecewa.
Lalu kalau trekking di Pamir yang berada di ujung timur laut Afghanistan, di ketinggian 4.500 m dengan jalur yang sulit, itu karena ia ingin menyaksikan langsung kaum nomaden Kirghiz. Alam di Pamir yang luar biasa memang bukan prioritas baginya. Apalagi, ia paling tidak suka dengan istilah menaklukkan alam. “Perjalanan itu bukan soal menaklukkan, tapi proses belajar,” jelasnya bijak. Perjalanan serba sulit ke tempat-tempat yang tak pernah dibayangkan oleh para pejalan pada umumnya memang telah membuat putra sulung dari dua bersaudara ini menjadi bijak dan toleran. Keberuntungan, kesialan, dihadapi dengan tenang karena itulah dinamika hidup yang harus dilewati. Dengan enteng dan tanpa malu, misalnya, Agus menceritakan pengalamannya beberapa kali dilecehkan secara seksual oleh lelaki Pakistan maupun Afghanistan. “Saya sering banget ditawar 2-3 dolar, hahaha.” Derai tawanya lepas.
keren mas, saya tunggu kisah di buku selanjutnya.
kisahnya menginspirasi saya untuk mulai berani jalan-jalan keliling Indonesia.
Salam
Jadi teringat penggalan kata mutiara dari Imam Syafii, yg q baca di negeri 5 menara.
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”
salam,
salut dengan ilmu yang tersampaikan dari perjalanan yang penuh perjuangan.
ikut menunggu buku berikutnya.
Hello Agustinus
My name is Yvon Ambrosi and I live in Paris, France
I sent you many mails these last months with your avgustin_photography@yahoo.com.cn address and had no answer
I would like to have a contact with you to find an agreement
I will open an internet site next month specialized in traditional music and cultures around the world
Akhaba.com will be a magazine and music shop online and I hope that we could work together
I would be very pleased that you answer to my email as soon as you can
I found this new address and I hope it will work
I give you my contacts:
Yvon AMBROSI
Skype ID : yvon.ambrosi
+33 [0]1 49 17 15 79 Phone
+33 [0]6 87 94 46 94 Mobile
yambrosi@noos.fr
ambrosi@akhaba.com
Best Regards
Yvon
dari membaca buku mas Gus, merupakan pengalaman yg sangat berharga, apalagi mengalaminya langsung ya 😀
oiya mas, saya menemukan situs explorer Afghanistan lainnya, tapi dilakukan 1974-1975, ini ya: http://jcribbans.blogspot.com/2010/01/buskazi-trek-north.html
ditunggu buku lainnya mas Gus.
Mas Agus emang top….
Keren banget 🙂 Saya ingin sekali bisa seperti itu, jalan-jalan keliling ke seluruh negara yang ada. Hanya saja belum ada waktu dan biaya hehe. Sukses selalu ya 🙂