Reader’s Digest Indonesia (2010): Terpukau Oleh Peradaban dan Alam
October 2010
Reader’s Digest Indonesia
Memori
Destinasi bukan lagi menjadi sesuatu yang penting, tetapi bagaimana proses yang terjadi selama perjalanan itu sendiri.
Oleh Agustinus Wibowo
Ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air mata yang membasahi pipinya….” Begitulah tulisan dalam buku harian kumal yang menemani perjalanan panjang saya dari Beijing hingga ke Afghanistan. Hanya dengan berbekal 300 dolar, menumpang kereta kelas kambing, bus, truk, melintasi gunung-gunung Pakistan utara, bertahan hidup dengan jajanan pasar, menembus keganasan panasnya kota Peshawar dan terguncang-guncang dalam mobil berdebu saat menembus perbatasan. Sampai akhirnya saya berdiri penuh takzim di hadapan reruntuhan patung Buddha Bamiyan, Afghanistan. Surga yang cantik, dengan ranjau bertebaran di mana-mana.
Perang dan pertumpahan darah seperti cadar hitam yang menyelubungi tanah Bangsa Afghan, yang diselimuti debu tebal dan dilupakan orang. Tragis memang, karena negara itu sebenarnya sangat indah dan permai. Dan meski begitu berat dan melelahkan, saya terus berjalan mengelilingi Afghanistan, untuk menemukan rahasia dan misteri negeri kuno itu, dan menjalin persaudaraan dengan warga Afghan, yang ternyata menerima saya dengan tangan terbuka, penuh cinta dan persahabatan. Tanpa terasa, dua tahun saya habiskan untuk tinggal di Kabul yang hiruk pikuk, merasakan kerasnya kehidupan di Kandahar, sunyinya pegunungan Ghor, hingga jauh di pelosok pegunungan Atap Dunia di Wakhan.
Saya memang begitu tertarik dengan tempat-tempat yang menawarkan tantangan. Kota besar dengan segala kemudahannya hanya bikin saya bosan. Bertemu dengan suku-suku nomaden di Mongolia, melintasi pegunungan Tibet, Nepal, lalu ke gurun pasir India, pegunungan di Pakistan Utara. Bekerja sebagai sukarelawan gempa Kashmir, ke pedalaman Pakistan, berkeliling Afghanistan dengan hitchhiking, lantas ke Iran, Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkemenistan. Bisa dibilang, saya kecanduan tantangan.
Padahal, sewaktu tinggal di Lumajang, Jawa Timur, perjalanan terjauh saya adalah ke Surabaya. Itu pun karena kuliah di sana. Tidak pernah terpikirkan untuk melakukan perjalanan seorang diri, seperti sekarang yang sering saya lakukan. Sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa di Indonesia, ketakutan untuk pergi sendirian ke mana-mana semacam itu, apalagi naik bus, begitu mendarah daging. Ketakutan yang kini terlihat berlebihan memang, tetapi cukup lumrah pada masa itu. Mama pun tak pernah mengizinkan saya ke mana-mana tanpa ditemani seseorang yang dia kenal. Takut diculik lah. Takut dihipnotis lah.
Beijing menjadi batu loncatan bagi saya. Awalnya, saya ke kota itu untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas terbaik di sana. Saya yang minta orang tua saya menyekolahkan saya ke tempat yang puluhan ribu kilometer jauhnya dari Lumajang. Cukup ekstrem untuk seseorang yang bahkan belum pernah sekali pun keluar Pulau Jawa. Namun niat saya memang untuk bersekolah. Tak terlintas sedikit pun pikiran untuk bepergian ke negara lain.
Baru pada 2001, saya terinspirasi seorang teman perempuan dari Jepang yang melakukan perjalanan sendiri mengelilingi negara Asia Tenggara, tanpa menguasai bahasa selain bahasa Jepang, untuk melakukan sendiri petualangan saya. Setahun setelah itu, pada 2002, berdua dengan teman dari Purwakarta yang juga sedang belajar bahasa Mandarin di Beijing, saya melakukan backpacking pertama ke Mongolia selama tiga minggu. Keputusan yang cukup gila. Kami berkemah mengelilingi negeri yang cantik itu dengan jip yang disewa ramai-ramai bersama sekelompok backpacker yang bertemu di Ulan Bator – ibu kota Mongolia. Itulah titik balik dalam hidup saya, yang mengubah haluan jalan yang saya ambil selanjutnya.
Selama enam tahun, saya menyusupi pelosok-pelosok Asia Tengah lewat jalan darat. Teman saya hanyalah tas ransel lusuh berisi paspor, uang secukupnya, pakaian selekatnya, alas kaki yang itu-itu saja, kamera – dulu kamera saku film, sekarang kamera DSLR – dan buku harian. Baru belakangan saya juga membawa laptop karena kebiasaan menulis di buku harian ternyata kurang efektif, sudah beberapa kali tercecer.
Berkali-kali saya dirampok dan dikeroyok para berandalan, dompet dicopet dan kamera dirampas. Namun kejadian-kejadian buruk itu tak membuat saya kapok bertualang karena selalu ada saja pertolongan yang datang. Tak jarang saya diundang menginap di rumah keluarga yang tak saya kenal sebelumnya. Dalam perjalanan, saya belajar melupakan ego, menjadi lebih fleksibel, dan selalu percaya bahwa semua telah ada yang mengatur.
Saya tetap turis. Tetap tertarik dengan sesuatu yang berbeda, dengan eksotisme, dengan cerita-cerita yang tidak terbayangkan di suatu negeri yang asing. Namun semua itu bukan lagi menjadi yang terpenting dalam sebuah perjalanan. Tak sekadar mau melihat-lihat atau for fun. Aneka cap di paspor dari berbagai negara asing bukan lagi menjadi sesuatu yang membanggakan. Mencapai suatu destinasi bukan yang terpenting.
Yang penting buat saya sekarang, sejauh mana saya bisa belajar dari alam dan kebijaksanaan penduduk-penduduk setempat. Karena semua orang punya cerita, sejarah, peradaban dan pemikiran yang menarik, yang bisa kita pelajari, dan kemudian kita bagikan lagi dengan orang lain. Itulah sebabnya juga, saya banting setir menjadi jurnalis dan fotojurnalis, agar bisa turut menyebarluaskan berbagai filosofi yang saya pelajari dalam perjalanan saya.
Saya berubah dari orang yang selalu berusaha mencapai titik akhir, menjadi orang yang berfokus kepada proses. Semakin lama saya berjalan, semakin saya merasa bukan siapa-siapa. Kalau dulu, jati diri saya harus begitu kuat sehingga sangat penting bagi saya untuk berbeda dari orang lain. Kini semua itu tidak ada artinya lagi. Saya merasa, saya cuma sekadar manusia yang terpukau oleh alam, oleh peradaban.
Seperti dituturkan kepada Imelda Suryaningsih
Saat ini Agus tinggal dan bekerja di Beijing, mengumpulkan dana untuk perjalanan selanjutnya menjelajahi Rusia dari timur ke barat. Dia juga ingin ke Damaskus untuk mempelajari bahasa Arab dan mengelilingi Timur Tengah. Kisah perjalanannya di Afghanistan sudah diterbitkan dalam buku Selimut Debu, dan tulisan-tulisannya yang lain bisa dibaca di www.avgustin.net.
All the best for your journey 😀
Jangan menyerah 😀
Like your end paragraph. Very meaningful word.
have a great journey,
maya
menarik sekali… luar biasa… pengen juga bisa backpacker keliling seperti itu.. 🙁
Pengennnnn… hihihihi
sip….joss gandosss….tapi knapa ga coba di pedalaman2 indonesia >>>tanah airmu sendiri bro ….banyak tempat2 eksotis, kultur dan budaya yang belum tergali/ terjamah ….sekedar saran
Pilgrim progress!!!
Incredible journey… saya ingin melakukan hal serupa satu hari nanti, Rusia- rindu banget bisa sampai ke sana…. Thank you backpacker!! you’ve inspired me a lot 🙂