Garis Batas 59: Hoja Nasrudin
“Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nasruddin suatu hari, “karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada di waktu siang.”
Remang-remang sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam ini tak banyak. Di musim yang dingin ini, hanya bebek-bebek saja yang berani berenang sambil terus berkoak-koak, melintasi pantulan bulan purnama yang berubah menjadi sobekan-sobekan cahaya di atas permukaan kolam.
Sinar bulan, yang menerangi gelapnya malam, juga membilas wajah sebuah patung perunggu di pinggir kolam, dibawah rindangnya pepohonan. Patung ini, seorang kakek tua yang berwajah lucu, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan tangan kiri melambai, duduk dengan gembira di atas seekor keledai yang sedang menyeruduk. Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda hikayat Islami.
Sang mullah mengajarkan berbagai kebijaksanaan dengan humor-humornya yang menyindir. Walaupun senantiasa digambarkan bodoh dan lugu, misalnya mengendarai keledai terbalik dengan wajah menghadap pantat, sang mullah selalu punya alasannya sendiri, yang bila bisa mengajak kita menertawakan dunia.
Itulah kebijaksanaan seorang Sufi. Belajar tidak melulu dari kitab suci yang berat dan menghafalkan ayat-ayat. Kebijaksanaan Islam bisa ditemukan di balik makna simbolis kebodohan dan kelucuan Nasruddin.
Apakah Nasruddin berasal dari Bukhara? Tidak ada yang tak tahu pasti. Setidaknya lusinan negara mengaku sebagai tanah airnya sang mullah. Di Turki, Nasrettin Hoca punya kuburan Konya, dan setiap tahun festival internasional memperingati Nasrettin diadakan di kota Akshehir. Orang Iran dan Afghanistan yakin kalau Molla Nasruddin berasal dari Khorasan. Orang Uzbek punya patungnya di Bukhara. Orang Uyghur dan China menyebutnya Afandi (Abandi). Di Arab dia dikenal sebagai Juha, dan di Armenia dikenang sebagai Pulu Pugi. Bahkan sang Hoja juga hidup dalam hikayat dan lelucon Yunani, Bulgaria, Serbia, sampai India. Dari Istanbul hingga Urumqi, terbentang dataran luas Asia Tengah yang dihuni oleh orang-orang berbudaya Turki dan Persia, di sanalah Hoja Nasruddin menemani perjalanan umat manusia dengan kisah-kisahnya yang cerdik dan mendidik.
Saya duduk di atas sebuah dipan, di depan patung Nasruddin dan keledainya, menyeruput teh hijau hangat menemani daging kebab, pangsit mantu, dan roti nan bersama seorang kakek Tajik. Wajah sang kakek yang berkerut-kerut dengan jenggot putih tipisnya, ditambah jubah chapan yang bergaris-garis dua warna, membuatnya semakin mirip sang Hoja.
Tentang penampilan yang seperti ini, saya jadi teringat sebuah hikayat Nasruddin yang pernah saya dengar di Afghanistan:
Suatu hari, seorang penduduk desa yang buta huruf minta tolong pada Nasruddin untuk membacakan surat. Nasruddin ternyata juga buta huruf. “Maaf, saya tidak baca,” ujarnya. Si penduduk desa sangat kecewa, “Benar-benar memalukan! Kamu seharusnya malu pada surbanmu itu!” Di zaman itu, surban adalah simbol alim ulama, orang yang berpendidikan. Nasruddin kemudian melepaskan surbannya, dan diataruhnya di atas kepala orang desa itu. “Surban lambang kepintaran, bukan? Sekarang kamu juga pakai surban. Kalau kamu jadi pintar gara-gara surban, coba sekarang kamu yang baca surat ini!”
Jangan melihat orang dari bajunya. Demikian kebijaksanaan yang diajarkan Mullah Nasruddin dari cerita lucunya. Walaupun kita masih bisa tertawa tergelak-gelak mendengar keluguan Nasruddin, apakah kita juga sama tergelaknya mentertawakan dunia sekitar kita, di mana baju dan perhiasan membungkus dan mengaburkan diri kita yang sebenarnya?
Sang kakek Tajik juga terkekeh-kekeh menceritakan kisah-kisah Nasruddin yang masih dia ingat. Saya terus memandangi gedung-gedung madrasah raksasa yang mengelilingi kolam. Bukhara memang mesin waktu, yang membawa angan saya terus melayang ke zaman Nasruddin, Aladin, Ali Baba, dan legenda-legenda masa lalu.
Tetapi di sini, di Bukhara, legenda itu tetap hidup bersama gedung-gedung kuno yang telah bertahan melintasi derasnya aliran waktu. Zaman terus berputar, tetapi Bukhara tetap melenggang dalam dunianya sendiri.
Ratusan tahun lalu, Bukhara dikenal karena pasar-pasarnya yang hiruk pikuk di bawah atap batu, di tengah lorong-lorong kecil, berkelok-kelok bak labirin. Ada Taqi Zargaron, pasar perhiasan, di mana semua saudagarnya berdagang permata, mutiara, dan zamrud. Ada Taqi Sarrafon, pasar penukar uang, yang mendukung transaksi antar bangsa ketika Bukhara masih menjadi pusat perdagangan ramai di zaman keemasan Jalan Sutra. Ada juga pasar topi Taqi Telpak Forushon, yang dikelilingi pemandian umum hammam dan sekolah-sekolah agama bagi para santri.
Sekarang, pasar-pasar kuno semua masih ada, tersebar di labirin kuno kota Bukhara, walaupun kini barang dagangannya hampir sama semua – barang suvenir untuk para turis.
Kehidupan di Bukhara melintasi perjalanan panjang dari zaman hikayat Nasruddin, zaman raja khan yang hidup di dalam benteng Arg yang mewah dan punya kebiasaan melempar tawanan dari puncak menara, zaman kuno di mana semua perempuan dibungkus cadar, zaman perang melawan Rusia, zaman komunis Uni Soviet, sampai sekarang zaman Uzbekistan merdeka. Bukhara hidup melintasi dimensi demi dimensi waktu, namun kehidupan masih melenggang dengan demikian santainya.
Klak, klik, klak, klik, kakek-kakek tua berjubah chapan duduk di pinggir jalan, berkonsentrasi penuh pada sebuah papan. Ada dadu dan keping-keping bundar. Permainan ini bernama nardi, salah satu permainan papan terkuno di dunia, yang sudah hidup di Asia Tengah sejak zamannya hikayat raja-raja Shahnama tulisan sang pujangga Firdausi.
Apakah dulu Mullah Nasruddin juga menghabiskan hari-harinya di atas papan nardi yang sama, di pasar-pasar yang hiruk pikuk di tengah ruwetnya kota kuno Bukhara? Entah. Jangan terlalu banyak berpikir tentang dimensi waktu, yang hanya membuat pusing. Biarlah hidup ini berlalu apa adanya, sesuka waktu yang terus mengalir, seperti petuah Nasruddin tentang kiamat.
“Ada dua macam kiamat, kiamat besar dan kiamat kecil,” kata sang Mullah, “kiamat kecil yaitu kalau istriku mati. Kiamat besar yaitu ketika giliran aku yang mati.”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Mei 2008
Leave a comment