U-Mag (2008): Tulip Merah di Hari Baru
June 2008
U-Mag
Travel
TULIP MERAH DI HARI BARU
Teks dan Foto: Agustinus Wibowo
“Biya ke berim ba Mazar…. Mulla Muhammad jan,” lagu rakyat Afghan itu mendayu perlahan-lahan, mengajak semua orang pergi ke kota suci Mazar-e-Sharif. Di sana ada tulip merah merekah, makam suci bertasbih mukjizat, ada semangat Afghan yang menggelora. Di sana ada Singa Allah, raja umat manusia. Di sana, kita menyambut datangnya Hari Baru ketika salju mencair, angin dingin mereda, dan padang rumput menghijau…
Naw Ruz
Inilah Afghanistan, negeri yang tersembunyi di alam mimpi. Namanya lebih kerap menyiratkan kekerasan, perang, dan maut. Tetapi di sinilah sesungguhnya peradaban mulai berayun. Kota-kota kuno tegak, kejayaan masa lalu berpendar, kehidupan spiritual berbaur dengan adat dan embusan nafas penduduk. Zaman berganti, Afghanistan tetap hidup dalam waktunya sendiri.
Di Afghanistan, pengetahuan tentang gerak perputaran bumi dan matahari tumbuh sejak jauh di masa lampau. Ketika matahari berada di garis balik 22,5 derajad lintang utara, zemestan – musim dingin – berakhir. Musim semi datang. Bunga merah bermekaran. Itulah Naw Ruz – Hari Baru.
Perayaan Naw Ruz sudah ada sejak zaman Zarathushtra, ketika Dewa Api masih dipuja, jauh sebelum datangnya agama Nasrani dan Islam. Sukacita Naw Ruz dinikmati di seluruh penjuru negeri saat peradaban Persia melintasi pergantian abad hingga hari ini.
Peradaban Persia memang lebih dulu dikenal di sini, merambah dari wilayah Afghanistan ke seluruh penjuru Asia Tengah. Mulai Pegunungan Pamir di Pakistan sampai ke padang gembala luas Kazakhstan, kota kuno Samarkand dan Bukhara, pesisir Laut Kaspia, ke barisan gunung Kaukasus, aliran sungai Mesopotamia, kota kuno Beirut (Libanon), Anatolia (Turki), melintas ke Albania di Eropa. Di seluruh daerah ini, Naw Ruz datang menghantar sukacita pergantian musim.
Di Afghanistan, tempat saya tinggal selama setahun belakangan ini, Naw Ruz adalah hari besar terpenting. Biasanya jatuh pada tanggal 21 Maret, tetapi di tahun 2008 pesta ini dirayakan pada 20 Maret. Hari ini menandai pergantian angka tahun Syamsiah, ketika bulan Hut berganti dengan bulan Hammal tahun yang baru. Di negara ini, kalender Syamsyiah, Hijriah, dan Masehi digunakan sekaligus bersamaan. Namun Naw Ruz tetaplah menjadi patokan tahun baru semua orang.
Saya ada di Afghanistan ketika keriaan itu tiba pada 20 Maret lalu: perayaan Tahun Baru 1387 dalam hitungan Syamsyiah …
Makam Suci
Mari kita pergi ke Mazar, Mulla Muhammad sayang
Ada padang tulip yang mekar – o betapa cantiknya, sayangku
Di puncak gunung aku menangis teringat Ali singa Allah
O Ali, singa Allah, raja umat manusia, bahagiakanlah hatiku yang sedih
O Ali, singa Allah, sembuhkanlah lukaku, kabulkanlah doaku
Kubaktikan padamu lampu minyak, di manapun para pecinta berada, kausembuhkan luka mereka...
Lagu rakyat Bia ke Berim ba Mazar menuntun saya berangkat ke kota suci Mazar-e-Sharif di utara Afghanistan. Sebenarnya, kota ini tidak terlampau tua bila dibandingkan dengan tetangganya, Balkh. Tapi Mazar, dengan segala hikayatnya, menjadi pusat perayaan Naw Ruz di seluruh Afghanistan.
Orang Afghan percaya, di kota inilah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, dimakamkan. Umat Sunni mengagungkannya sebagai khalifah keempat, umat Syiah lebih mengidolakannya sebagai imam pertama. Hazrat Ali, demikian ia dikenal, dianggap sebagai pembawa segala mukjizat. Kumpulan danau biru Band-e-Amir dan Bukit Naga di Provinsi Bamiyan disyahdankan adalah keajaiban alam buah tangan Ali, sang Singa Allah.
Banyak orang percaya, makam Ali ada di Najaf, Iraq. Tapi pada abad ke-12, empat ratus mullah mendapat mimpi yang isinya sama: jenazah Ali diangkut unta betina dan dimakamkan di suatu tempat di dekat Balkh. Di tempat ini kemudian dibangun sebuah mazar (kuburan) untuk sharif (orang suci). Perlahan-lahan, daerah sekitar mazar tumbuh menjadi Mazar-e-Sharif, kota besar yang baru ini.
Rawza, makam suci Hazrat Ali, bagaikan zamrud di tengah kerontangnya pegunungan Afghanistan, monotonnya padang rumput, dan kepulan debu yang membungkus seluruh negeri. Seluruh dinding dibungkus hiasan amat detail, mosaik gemerlap diterpa sinar matahari. Kubahnya hijau mengkilap, bak lazuli menantang angkasa nan biru. Di mana-mana, ada asma Allah, Nabi, dan Ali – tersembunyi dalam keindahan setiap guratan.
Ribuan merpati putih hidup di sini, terbang di antara kubah, menghiasi langit, dan warnanya hanya putih. Konon, karena begitu sucinya tempat ini, bahkan merpati hitam akan beralih menjadi putih dalam waktu empat puluh hari.
Ratusan Ribu Peziarah
Singa Allah itu begitu dimuliakan. Segala derita, penyakit, dan siksaan lenyap dalam mukjizatnya. Ratusan ribu orang berbondong-bondong ke kota Mazar mengharapkan keajaiban datang di hari yang suci, Naw Ruz.
Situasi keamanan di Afghanistan yang terus memburuk tahun-tahun belakangan ini mengancam peringatan Naw Ruz di Mazar-e-Sharif. Toh, ribuan orang tetap tumpah ruah di makam suci dan bisa menjadi sasaran empuk aksi terorisme.
“Saya tak berani ke Rawza untuk menyaksikan pergantian tahun,” kata Naqeebullah, tuan rumah saya di Mazar, “Terlalu berbahaya. Terlalu banyak orang. Apa pun bisa terjadi.”
Karena itulah perjalanan menuju Mazar dari Kabul tak bisa dibilang lancar. Di setiap batas provinsi, polisi dan tentara memeriksa semua penumpang, dokumen, kendaraan, dan barang bawaan. Jarak 430 kilometer yang biasa ditempuh dalam delapan jam di atas jalan beraspal mulus, memakan waktu lebih dari dua belas jam.
Taliban, yang Sunni, sempat melarang peringatan Naw Ruz, yang dinilai tidak Islami. Tahun 2002 adalah Naw Ruz pertama setelah jatuhnya Taliban, kota Mazar dibanjiri lebih dari sejuta orang. Mereka tenggelam dalam sukacita. Tahun ini yang datang ke Mazar tak seramai itu, tapi tetap saja hiruk pikuk, sesak oleh pendatang, dari perziarah suku Tajik dan Hazara, yang menganut Syiah, hingga para pemuda Pashtun dari Kandahar di selatan. Mereka tak sabar lagi untuk menari Atan dan larut dalam konser musik jalanan.
Keramaian seperti ini tentu sangat rawan. Pada tahun 2007, seorang pelaku bom bunuh diri berhasil menyelinap ke kompleks Rawza. Sebelum ia melaksanakan aksinya, bom meledak dan merenggut nyawanya. Ajaib, tak ada korban lain jatuh walau puluhan ribu peziarah berada di sekelilingnya.
Tapi, bagi Naqeeb, kejadian itu membuktikan peringatan tahun baru itu bukanlah waktu yang tepat untuk berbaur dalam keramaian. “Kamu ingin menyaksikan janda bala? Kita bisa menyaksikannya dari televisi, ada siarang langsung. Kalau sudah sore, kita bisa pergi bersama ke Rawza. Lebih aman.”
Tentu saya tak akan jauh-jauh datang dari Kabul hanya untuk menonton televisi….
Janda dan Mukjizat
Pagi 20 Maret 2008, matahari masih kemerahan dan dingin masih menembus kulit. Ribuan orang sudah berbaris mengitari kompleks makam suci. Polisi, tentara bersenapan, dan tank perang ada di mana-mana. Pemeriksaan sangat ketat. Tak semua orang boleh masuk. Kericuhan terjadi di berbagai sudut.
Di dalam kompleks makam suci sudah banyak orang yang duduk dengan pasrah dan sabar. Halaman ini dipenuhi bocah sakit, orang cacad, dan wajah pilu. Kakek tua Abdullah datang jauh-jauh dari kota Baghlan membawa anaknya yang sakit parah. Kakek Abdullah dan anaknya, seperti ratusan orang lain, sudah ada di halaman makam sejak siang sehari sebelumnya. Mereka tidur di atas lantai pualam, beralas kertas, dan berbungkus selimut tebal. Penderitaan ini tak ada artinya apa-apa dibandingkan dengan mukjizat yang mereka dambakan. Ali, sang raja umat manusia, singa Allah, dipercaya akan memberikan kesembuhan bagi mereka yang mencintainya.
Perjuangan para peziarah dan pencari kesembuhan itu lebih berat lagi karena tahun ini petinggi Provinsi Balkh dan pejabat tinggi negara berdatangan. Karena tamu-tamu amat penting ini, keamanan ketat sekali. Ribuan peziarah tertahan jauh di luar gerbang tanaman. Yang sudah di dalam jongkok berdesakan di belakang pagar. Hanya pejabat, undangan istimewa, wartawan dalam dan luar negeri yang boleh masuk ke kompleks makam.
Gubernur Balkh menyampaikan pidato panjang-lebar, disambung Wakil Presiden Ahmad Zia Massoud, yang lebih panjang. Simfoni Bia ke Berim ba Mazar yang dimainkan band tentara mengalun lembut, diiringi trompet bersahutan. Janda atau bendera suci teronggok di tengah lapangan.
Hari Baru ditandai dengan pengibaran janda di makam Ali. Tiangnya mengkilat. Di puncaknya ada lembaran kain merah muda, hijau, kuning, merah, … Para peziarah percaya, menyaksikan janda ditegakkan dan menyentuhnya, mereka akan beroleh rahmat yang tak terkira.
Meriam berdentum. Langit biru menjadi lautan burung merpati putih yang terkejut. Para mullah menarik tali tambang dari keempat sudut. Perlahan-lahan, tiang janda bangkit. Kain merah muda berkibar diterpa angin semilir. Orang hanyut dalam ketakziman, kekaguman, dan histeria. “Allahuakbar! Allahuakbar!”
Begitu para tamu kehormatan meninggalkan tempat, petugas keamanan lenyap seketika. Para peziarah yang semula tertahan di balik pagar kini menjadi liar. Kaum lelaki, dari bocah belasan tahun sampai kakek tua bersorban, memanjat pagar besi lapis dua. Seraya berteriak, “Ya Ali! Ya Ali!” mereka meloncat menghunjam bumi dari pagar tinggi. Yang sudah berhasil melintasi pagar berlari-lari bak kesurupan, berusaha sedekat mungkin dengan janda, mendamba kesembuhan dan jawaban akan doa, mengharap rahmat sepanjang tahun.
Para peziarah wanita, dipisahkan di sisi lain halaman, tak seliar kaum lelaki. Mereka larut dalam isak tangis menatap janda dari balik pagar – sekitar sepuluh meter jauhnya. Seorang nenek tua terbelalak matanya. Tangannya bergetar. “Nenek itu mengaku sudah bisa melihat lagi,” kata seorang wartawati Afghan, “sebelum dia datang ke sini, matanya buta dan tangannya lumpuh. Sekarang coba lihat, tangannya sudah bisa bergetar,” si wartawati melanjutkan.
Selendang milik nenek tua itu menjadi rebutan para pemuda. Belasan orang berkelahi untuk mendapatkan sobekan selendang itu, mengharap transmisi mukjizat.
Rawza dibanjiri manusia. Bendera suci berkibar gagah sampai empat puluh hari ke depan. Yang sakit, yang lemah, yang penuh doa dan pengharapan, pria berjubah, wanita terbalut burqa, pemuda, anak-anak, kakek bersorban, orang cacat jasmani, dan bocah sakit jiwa tumpah ruah di pekarangan. Mereka berdoa, bertakzim, mengharapkan turunnya mukjizat bersama janda suci di Hari Baru.
Ibunda Semua Kota
Balkh, kota kuno yang bisa ditempuh 30 menit dari Mazar, juga dibanjiri peziara. Sekarang cuma mirip desa kecil di pinggiran Mazar-i-Sharif yang modern, Balkh dulu pernah menjadi pusat dunia. Umurnya sudah lebih dari 3000 tahun ketika Zoroaster – agama pemuja api dari Persia – masih amat berpengaruh di muka bumi. Balkh pernah menjadi pusat ziarah umat Buddha di awal-awal Masehi. Orang Arab menjulukinya Umm-al-Belad, Induk Semua Negeri, ketika kota ini berkembang menjadi pusat peradaban Islam.
Sekarang, Balkh adalah kota kecil terbungkus debu tebal. “Khawk (debu),” kata Obaidullah sembari menunjuk pohon-pohon yang tersaput warna kecoklatan. Dia kakak Naqeebullah. “ Itu bukan sekadar kotoran. Debu adalah kampung halaman, sejarah kami. Debu adalah Afghanistan,” ujarnya lagi.
Ribuan orang juga berdatangan ke Balkh, menunaikan ziarah ke makam suci yang bertebaran di seluruh kota. Bicara soal ziarah di Balkh tak akan pernah ada habisnya. Tak ada yang tahu pasti berapa ratus orang suci yang dimakamkan di sini. Dari mullah, guru Sufi, pujangga kuno, sampai pejuang jihad, semua layak untuk diziarahi. Ada makam guru suci Khawja Parsa dengan kubah megah. Ada kuburan pujangga perempuan Rabi’a Balkhi yang mati demi cintan. Dia dikubur di ruang bawah tanah. Masih ada puluhan ziarat lainnya yang kita tidak tahu asal usulnya.
Pemakaman umum di Balkh penuh bendera warna-warni. Hari Baru memang waktu ziarah ke makam. Sanak keluarga memasang kembang segar dan bendera. Rumput-rumput dibersihkan. Makam di sini amat sederhana, hanya gundukan tanah. “Mereka yang mati bukan karena sebab biasa kuburnya terbuat dari tanah saja,” Obaid menjelaskan. “Yang mati bukan karena sebab biasa” yang ia maksud adalah para pejuang perang. Negeri ini memang belum kelar juga dari pertikaian dan perang.
Sala satu bekasnya adalah Bala Hissar, benteng di puncak. Dulu merupakan garis depan pertarungan kaum Mujahiddin melawan komunis, bukit ini sekarang tinggal reruntuhannya. Debu tebal mengepul, menenggelamkan semua makhluk yang melintas. Kaum peziarah rela berjalan berkilo-kilometer ke tempat ini untuk menunaikan ziarah di puncak bukit. Dari puncak, kita dapat melihat panorama amat permai: lembah hijau terhampar dan sungai kecil bergemericik.
Ziarah adalah perjalanan mencapai pencerahan. Dulu, seorang baba suci berjalan kaki dari Balkh sampai ke Mekkah demi memenuhi ziarahnya. Di tempat ini kemudian berdiri masjid pertama di Afghanistan, Masjid Haji Piyada, atau haji jalan kaki. Tempat ini sudah hancur, hanya menyisakan barisan pilar berukir cantik dan beberapa sisi tembok kelabu.
Jiwa Afghan
Barangkali ini yang kerap melintas di bayangan Anda tentang Afghanistan: para pejuang bersorban di atas kuda-kuda tangguh berjuang mempertahankan bukit gundul berdebu. Gambar ini semakin nyata kalau Anda berkesempatan menyaksikan pertandingan ketangkasan berkuda buzkashi, suguhan wajib di perayaan Naw Ruz di Mazar-i-Sharif.
Dua ratusan para penunggang kuda, semuanya berjubah, berjaket tebal, dan bertopi bulu atau bersorban, seperti baru saja tiba dari ratusan abad silam. Kuda-kuda mereka berukuran besar dan garang, dengan gigi yang menyeringai. Mereka bertarung liar memperebutkan bangkai.
Buzkashi, olahraga nasional Afghanistan – secara harfiah berarti ‘menarik kambing’. Olah raga ini sudah ada dari zaman prasejarah, dan menginspirasi polo atau rugbi. Bedanya, yang diperebutkan bukan bola, melainkan bangkai kambing atau anak sapi yang sudah tak berkepala.
Kerasnya kehidupan Afghanistan tergambar jelas dalam pertandingan ini. Setiap chapandaz – penunggang kuda – berusaha meraih bangkai di tengah lingkaran. Kerumunan ini amat rapat dan kental. Kaki kuda menjejak garang. Beberapa kuda sampai berdiri tegak, nyaris menggulingkan sang penunggang. Di tengah kegarangan perebutan ini, ada peraturan yang dihormati – tak seorang pun boleh menaruh bangkai hewan di atas pelana.
Chapandaz yang berhasil meraih bangkai kemudian membawanya jauh-jauh, menuju bendera Afghan yang terletak di ujung lapangan, berputar, kemudian kembali lagi ke lingkaran awal.
“Bairak…! Bairak…!” seru pemimpin pertandingan tanpa henti. Bairak artinya bendera. Sang chapandaz diikuti ratusan penunggang kuda lainnya, melesat ke arah bendera. Pemandangan itu bak lukisan cat minyak – ratusan kuda garang dengan penunggang gagah terbungkus selimut debu. “Bairak! Bairak! Bairak!” penonton ikut berpekik sorak.
Menonton buzkashi itu berbahaya, maka perempuan nyaris tak terlihat. Saya hampir tersungkur dijejak kuda yang garang. Tapi menonton buzkashi dalam jarak dekat adalah keinginan saya meski dengan risiko: siap lari tunggang langgang menghindari serbuan pasukan kuda. Sudah kerap saya terkena tendangan kuda buzkashi. Sakitnya tak hilang dalam tiga hari.
Penunggang yang berhasil membawa bangkai anak sapi mengitari bairak akan mendapat US$50 (setara dengan Rp 500 ribu). Kalau ia bisa membawa bangkai itu kembali ke titik awal, hadiahnya dua kali lipat. Uang bukan penghargaan utama di sini. Kegagahan, kejantanan, kejujuran keberanian, kegigihan, dan jiwa ke-Afghan-an terlukis sempurna dalam buzkashi. Seperti kata seorang chapandaz dari suku Uzbek, “lebih baik luka parah daripada selamat tetapi menjadi pengecut.”
Unta Petarung
Kerasnya kehidupan membuat orang Afghan amat terhibur melihat pertarungan. Mereka gemar mengadu hewan, dari anjing, ayam, burung hutan, sampai unta.
Hari itu saya mengunjungi lapangan di samping pasar di kota Mazar ramai sejak pagi. Libur panjang Naw Ruz tak disia-siakan untuk menyaksikan berbagai adu hewan. Saya pernah mellihat sag jangi (adu anjing) di Kabul. Berdarah-darah dan memilukan.
Unta, hewan yang lembut dan bersahabat, mungkin tak segarang anjing. Itulah yang membuat saya tertarik menyaksikan sohtor jangi (perang unta), adu hewan yang cuma ada di belahan utara negara ini.
Ternyata unta yang lemah lembut itu bisa marah, beralih menjadi makhluk menyeramkan. Ratusan penonton yang duduk di stadion bersorak-sorai. Dua pria bersurban melepaskan hiasan yang melekat di atas kepala unta. Unta itu menggelegak marah. Air liurnya langsung membeku, menjadi benang busa putih panjang. Sesekali binatang itu berontak, menjejak-jejak tanah.
Baru kali ini saya menyaksikan pertarungan hewan paling aneh. Ada untak yang tak mau berkelahi. Maka pemiliknya aktif memukul dan menendang agar si unta segera menyerang lawan. Meski didorong, dipukul, dan dimaki, kedua unta bergeming. Wajah binatang ini semakin tampak bodoh dengan mulut tak henti mengunyah dan menerbitkan busa. Mereka terlihat menikmati hari yang indah ini.
Pemilik unta sudah tak sabar lagi. Mereka terus mendorong sekuat tenaga. Tetapi apalah arti telapak tangan manusia dibandingkan tubuh hewan besar itu.
Penonton kecewa dan mulai meninggalkan tempat.
“Tunggu dulu baradar jan, Saudara-saudara! Tunggu! Masih ada pertandingan lagi!” seru pemimpin pertandingan lewat pengeras suara.
Pertandingan kedua ini lebih ganas. Kedua unta membelitkan leher, menyeruduk, menyerong ke samping dengan kaki mereka yang panjang. Belitan leher kedua hewan buruk rupa itu tak lepas-lepas.
Para penonton mulai bersorak-sorai. Tontonan macam ini sudah mereka tunggu berjam-jam di bawah teriknya matahari. Mereka berpekik macam orang kesurupan ketika seekor unta mengejar lawannya yang lari tunggang langgang.
Pemilik unta yang kalah membayar uang aduan sekitar 40 juta Rupiah kepada yang menang – dalam pertandingan yang cuma empat menit ini. Judi hanya ada di antara pemilik unta.
Layang-layang
Nuansa perayaan tahun baru Naw Ruz juga meriah di Kabul. Langit Kabul yang biru dipenuhi ratusan layang-layang mungil yang terbang ke berbagai arah. Bocah-bocah bergulat debu di lapangan Chaman-e-Khuzuri berlarian mengejar layangan putus. Festival layang-layang digelar di musim dingin dan beberapa hari sesudah Naw Ruz, ketika angin musim semi bertiup kencang. Teringat saya akan novel karya Khalid Hosseini, The Kite Runner.
Gudiparan (layang-layang) adalah kegemaran bocah-bocah Afghan. Yang paling asyik dari perang layang=layang adalah para pengejarnya. Seperti Hassan dalam buku Hosseini, bocah Kabul tergila-gila mengejar layangan putus. Menangkap layangan lawan yang terjatuh adalah bagian dari kemenangan.
Pesta Hari Baru adalah satu dari sedikit kesempatan dalam setahun bagi warga Afghan untuk tertawa lepas, menikmati hiburan, sejenak melupakan kelaparan, bom, dan kepahitan dunia. Dari Mazar hingga Kabul, semua wajah meleleh dalam bahagia. Tulip merah merekah bersama musim semi. Doa-doa tak putus dipanjatkan di seluruh negeri: “Semoga setiap hari adalah Naw Ruz yang berlimpah kemakmuran.”
mas Agus, saya sangat terharu membaca kisah petualangan anda. anda bisa menyaksikan peninggalan kejayaan islam, hidup di tengah2 nilai Islam yg sekarang sdh banyak ditinggalkan..anda tlh memberikan manfaat yg besar bg org lain melalui tulisan2 anda. semoga anda mendapatkan manfaat yg sama besarnya dari perjalanan anda. saya doakan semoga anda senantiasa dalam lindungan-Nya.
Keren sekalii, tulisanmu ada dimana-mana.Dari bacaan anak-anak sampai dewasa. Tapi kapan mau cerita ttg perjalanmu sekarang.. Udah sampai mana ya? Semoga cita-citamu yang indah akan tercapai. GBU.
gambarnya bagus sekali
bagus sekali
tulisannya baru mau dibaca
tapi saya sedang terpana lihat gambar-gambarnya
kapan ke Indonesia?
hidup yang indah n bAGUS banget, cerita perjalananmu ada dimana-mana. Selamat ya Gus, moga visi hidupmu bisa tergapai!
Salam saudaraku sesama Lumajang, wah menarik-menarik catatan perjalanannya dan senang sekali akhirnya bisa kenal dengan saudara se-lumajang yang smart dan energik.
Dik Agus, saya izin copy profil sampean untuk saya posting di blog saya : Mata Air Lereng Semeru link-nya ada diatas, dan jika sempat saya undang singgah sejenak ke blog sederhana saya.
Saya bangga dan semoga bisa belajar catatan perjalanan yang menarik dari seorang backpacker asal kotaku tercinta LUMAJANG, GENUNIE TOWN AND TRUELY EAST JAVA