Garis Batas 61: Pancaran Sinar Lazuardi
Ratusan tahun lalu, kota ini pernah menjadi pusat dunia. Di sinilah segala macam bangunan raksasa, mercu suar peradaban dunia, berdiri dengan segala keanggunannya. Puing-puing reruntuhan Masjid Bibi Khanym, yang pada zamannya pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia, dibangun oleh sang Raja Amir Timur sebagai lambang cintanya untuk permaisuri tersayang dari negeri Tiongkok, masih menggambarkan kebesaran dan kejayaan negeri ini. Belum lagi barisan kuburan indah di kota makam bernama Shakhr-i-Zinda, yang diperuntukkan bagi Sang Raja Hidup yang membawa cahaya Islam ke tengah padang Asia Tengah.
Bait-bait puisi mengalir bak air bah, di bawah kegagahan gedung-gedung kuno. Bintang, planet, galaksi ditemukan dari teropong panjang milik Ulughbek. Barisan karavan para saudagar tak pernah berhenti singgah di kota yang semakin hiruk pikuk oleh berbagai aktivitas perdagangan. Sinar lazuardi tak pernah berhenti memancar dari keagungan Samarkand.
Samarkand memang tak pernah mati.
Samarkand sekarang adalah ibu kota Samarkand Viloyati atau Provinsi Samarkand, kota terbesar kedua di Uzbekistan dengan jumlah penduduk hampir setengah juta jiwa. Musim panasnya menyengat, musim dinginnya bermandi salju. Tetapi nama Samarkand, yang senantiasa hidup dalam angan mimpi dan fantasi, adalah sebuah Samarkand yang dipenuhi alunan musik padang pasir, membahana memuja kemajuan peradaban.
Zaman terus berputar. Gedung-gedung raksasa di Samarkand, tempat para cendekiawan Muslim dari zaman pertengahan menemukan rahasia-rahasia alam, kini sudah berubah menjadi tempat wisata yang dibanjiri turis dan penjaja barang. Karavan-karavan unta para saudagar dari Jalan Sutra sekarang sudah berganti menjadi mobil Tico, Damas, dan taksi yang merajai jalan raya. Orang-orang berjubah dan bersurban kini sudah menjadi generasi muda-mudi bercelana jeans dan baju daster. Bahasa Persia yang fasih mengalun kini sudah bercampur aduk dengan bahasa Uzbek dan Rusia. Musik padang pasir yang melenting-lenting kini sudah dihingarbingari oleh dentuman disko dan hip hop.
Tidak seperti Bukhara yang membuat saya seperti benar-benar terbang ke zaman Aladdin, atau Khiva yang kunonya terasa sangat artifisial, Samarkand adalah sebuah perpaduan antara masa lalu dan modernitas abad milenium. Tiga gedung raksasa Registan berdiri megah di pinggir jalan raya yang dibanjiri deru mobil yang mengepulkan asap pahit. Gedung-gedung apartemen buatan Rusia berbaris menantang kekunoan monumen-monumen garapan raja Amir Timur. Taman-taman indah bergelimang air mancur menghiasi kuburan kuno Guri Amir. Di waktu malam, Registan disiram sinar laser warna-warni, tontonan favorit rombongan turis asing.
Realita. Demikianlah hidup ini berjalan. Biarlah masa lalu tetap menghias Samarkand masa kini, yang terus berputar bersama roda zaman.
Tetapi kalau dihitung-hitung, selain lusinan monumen yang umurnya sudah lima ratusan tahun, kita masih bisa merasakan pernak-pernik masa lalu Samarkand. Salah satunya dari makan an. Samarkand memang terkenal dengan surganya makan an Uzbek. Anda mau nasi plov bertabur kismis? Jangan malu kalau sampai meneteskan air liur melihat sepiring raksasa nasi berminyak itu dihidangkan di atas meja. Bersama rekan-rekan yang lain, Anda bisa menyendoki gunungan nasi itu, yang dalam hitungan menit saja sudah pasti ludes. Pasar Afrosiyob adalah salah satu tempat menemukan plov terlezat di kota ini.
Anda mau mencicip bakmi laghman? Makanan khas dari negeri Tiongkok ini memang tersedia dari warung mungil sampai restoran besar di seluruh penjuru Asia Tengah. Tetapi di Samarkand, kuah kaldunya menjadi lebih lezat kalau kita makan sambil menyaksikan kebesaran Registan.
Mau pangsit mantu? Yang goreng atau yang kukus? Semuanya ada. Mau samsa, roti panggang yang berisi daging kambing atau sapi? Mau yang seukuran telapak tangan atau yang sebesar meja? Semuanya ada. Samsa dari Jizakh, kota kecil di dekat Samarkand, berukuran super besar, bermandi minyak hewan, tetapi rasanya luar biasa. Cuma hati-hati, minyak sapi yang dingin akan terasa lengket di langit-langit mulut. Makanan-makanan ini harus dimakan panas-panas supaya lebih afdol.
Saya teringat kota Osh di Kyrgyzstan yang menawarkan dahsyatnya cita rasa makan an Asia Tengah. Di Samarkand, saya juga jadi sama gembulnya. Tiada hari tanpa mencicip makan an-makanan baru di warung-warung yang berbeda. Tetapi tentu saja tiada yang mengalahkan makan an yang dari rumah.
Di rumah Nozim, tempat saya menginap, setiap malam mamanya menyiapkan santap malam yang luar biasa. Sup sherpo yang menyiram segar kerongkongan, berpadu dengan roti nan yang harum tiada tara, memang jauh lebih nikmat daripada makan an yang sama yang dijual di warung. Makaroni goreng buatan mama memang tiada tandingan. Apalagi kampot, minuman es buah, bermacam-macam buah yang disimpan di dalam toples selama berhari-hari bersama air. Rasanya jangan ditanya lagi. Karena masih dalam suasana tahun baru, kue tart juga masih menghiasi meja makan rumah Nozim. Di negara ini, tahun baru 1 Januari tidak pernah lepas dari pohon natal dan kue tart.
Sayang saya datang waktu musim dingin, dan tak sempat mencicip melon Uzbekistan yang ternama itu. Dua tahun sebelumnya, di musim panas bulan Agustus, saya bersama Nozim, papa dan mamanya, makan melon melewatkan malam yang masih panas. Melon Uzbek, manisnya, waaaah…., jangan ditanya lagi. Seumur hidup belum pernah saya makan buah semanis ini. Sepertinya air melon hijau ini mengandung berkilo-kilo gula saja.
Di kota kuno Samarkand, saya membaca sebuah novel berjudul “Samarkand”, karangan Amin Maalouf. Novel ini berkisah tentang rubayyat indah milik Omar Khayyam, yang mengalir dari kota kuno Samarkand. Buku ini begitu indah, membuat saya merasa terbang bersama sang pujangga ke masa lalu, menjelajah Samarkand, Nishapur, hingga Esfahan. Semakin membuat saya terbang lebih tinggi lagi adalah film yang diputar Nozim, yang ternyata berkisah sama persis dengan buku yang sedang saya baca.
Ternyata Samarkand juga sudah menarik perhatian pembuat film dari Hollywood. Siapa yang tidak terpukau oleh bangunan eksotis penuh imaji yang memenuhi sudut-sudut kota kuno ini? Penonton pasti terharu biru melihat keagungan arsitektur kota-kota kuno ini. Samarkand, bersama Bukhara dan Khiva, menjadi lokasi syuting film tentang kisah Omar Khayyam. Agak lucu memang, karena sang pujangga digambarkan menghadap raja di Registan, meneliti bintang di reruntuhan masjid Bibi Khanym, berdiskusi dengan murid-murid di pelataran Masjid Kalon Bukhara, dan merawat ibunya yang sudah tua yang sudah tinggal di benteng kota Khiva.
Lucu, karena zamannya Omar Khayyam, bangunan-bangunan ini belum berdiri. Amir Timur, sang pembangun keajaiban Samarkand, baru lahir lebih dari 200 tahun sesudah Omar Khayyam meninggal. Registan bukan istana, dan masjid Bibi Khanym bukan observatorium. Khayyam sebenarnya juga tak pernah ke Bukhara, apalagi bermain-main di benteng Khiva, tempat budak diperjualbelikan.
Dimensi ruang dan waktu salah total, gara-gara para pemain Hollywood tak dapat izin membuat film di Neshapur dan Esfahan, wilayah Republik Islam Iran, yang menjadi musuh bebuyutan Amerika. Jadilah Uzbekistan, yang bersama-sama mewarisi keluhuran budaya Persia, menjadi lokasi alternatif. Film ini, walaupun kolosal dan penuh fantasi, tetap saja aneh karena seperti memfilmkan perjuangan Pangeran Diponegoro dengan setting lokasi Menara Kembar Petronas.
Saya memandang sinar laser yang menghiasi lekuk-lekuk Madrasah Shir Dor di Registan. Indah sekali. Lazuardi masa lalu itu berharmoni dengan pancaran sinar masa kini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 Mei 2008
Edhan…orang hollywood memang edhan kalau begitu..masa buat film perjuangan pangeran diponegoro dgn setingan menara petronas..edhan…