Garis Batas 74: Raja Umat Manusia
Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini.
Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty.
Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri.
Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.
“Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang.
“Berapa sogokannya?”
“Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.”
Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat.
Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik berarti raja umat manusia. Raja yang dimaksud adalah Hazrat Ali, Ali bin Abu Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad. Ali adalah khalifah keempat umat Muslim, sekaligus imam pertama bagi umat Syiah.
Konon, jasad Ali dibawa oleh keledai yang mengembara ke seluruh penjuru dunia. Tak ada yang tahu pasti di mana keledai itu berhenti dan di mana jasad Hazrat Ali disemayamkan. Setidaknya ada tujuh tempat di dunia yang mengaku sebagai tempat peristirahatan Ali. Selain Shakhimardan, ada juga Mazar Sharif di Afghanistan sana, di mana sebuah masjid biru yang luar biasa megahnya didirikan. Sedemikian sucinya Ali bagi umat Muslim di Asia Tengah, semua tempat yang dianggap sebagai persemayaman Ali selalu mendatangkan banyak peziarah.
Sebuah tempat ziarat yang kecil dan sederhana didirikan di puncak sebuah bukit Shakhimardan. Bangunannya masih terbilang baru, karena bangunan aslinya dihancurkan pemerintah Soviet (yang mengkambinghitamkan pejuang Muslim basmachi). Hari ini, karena masih dingin, hanya saya dan Sardor yang datang ke sini. Juru kunci membukakan pintu dan kami berdua duduk di sudut. Juru kunci memimpin doa.
“Sangat mungkin,” kata juru kunci, “kalau jenazah Ali yang demikian sucinya itu tidak hanya satu saja. Kalau jenazah Ali ada di sini, juga ada di Afghanistan sana, saya juga percaya.” Sardor gembira sekali mendengar penjelasan sang juru kunci.
Turun dari puncak bukit, kami kembali ke lembah Shakhimardan. Desa ini cantik sekali, dikelilingi gunung-gunung cemara. Tetapi sekarang tempat ini menjadi seperti kota hantu. Rumah-rumahnya kebanyakan kosong.
Kata Sardor penduduk Shakhimardan lebih suka menghabiskan musim dingin di Uzbekistan, daripada di desa terpencil yang terkurung oleh Kyrgyzstan ini. Mereka baru berdatangan ketika musim ziarah tiba, manakala umat Muslim dari Uzbekistan dan Kyrgyzstan datang berliburan . Itulah musim bisnis di Shakhimardan.
Pasar Shakhimardan sangat mengenaskan. Sepi sekali. Bayangkan saja kalau sebuah truk harus melewati delapan pintu perbatasan, yang masing-masing minta sogokan, siapa lagi yang mau datang ke sini? Tak heran penduduknya pun lebih suka tinggal di Uzbekistan sana.
Masalah enklaf tidak hanya berhenti di sini. Selain Sokh yang menjadi persembunyian teroris dan memanaskan suhu politik regional, beberapa tahun lalu pemerintah Kyrgyzstan juga diminta rakyatnya untuk membujuk Uzbekistan ‘mengembalikan’ Shakhimardan. Walaupun tidak sampai terjadi pertumpahan darah, tak ayal rebutan wilayah, gontok-gontokan sejarah pra-Soviet, dan memanasnya hubungan antar negara. Uzbekistan malah sempat ‘bercocok tanam’ ranjau di sekitar perbatasannya.
Kyrgyzstan masih punya Barak yang ‘terdampar’ di Uzbekistan. Ditambah lagi Tajikistan yang punya Vorukh di Kyrgyzstan dan Sarvak di Uzbekistan, semakin menambah pusing peta politik Asia Tengah.
Bisa dibayangkan, betapa susahnya hidup bagi penduduk Shakhimardan. Ketika hubungan Uzbekistan-Kyrgyzstan memanas, kampung ini terisolasi total. Bahkan dulu orang Uzbek yang mau ke sini harus punya exit permit (semacam izin untuk keluar dari negaranya sendiri) plus visa Kyrgyzstan yang harganya 20 dolar.
Semua repot-repot ini bermunculan ketika negara-negara Asia Tengah merdeka dan berdaulat. Betapa mudahnya dulu hidup di bawah naungan Uni Soviet, ketika batas-batas negara ini dulu tak ada bedanya dengan batas propinsi, bisa dilewati begitu saja sekehendak hati tanpa paspor dan visa.
Empat puluh lima menit memang singkat. Kami harus kembali lagi ke Uzbekistan kalau tidak mau terlilit masalah dengan tentara Uzbekistan. Kami harus melewati jalan yang sama, dengan pintu-pintu perbatasan yang sama pula.
Qadamjoy berlalu begitu saja. Tak ada masalah, sampai di dekat perbatasan Kirghiz di mana Bakhtiyor harus memanggil taksi untuk melintaskan kami sampai ke Uzbekistan.
Supir taksi memandangi saya dan Sardor lekat-lekat, sebelum mengizinkan kami naik ke mobilnya.
“Tidak ada obat-obat terlarang? Narkotik?”
“Tidak ada,” jawab Sardor.
“Bukan teroris?”
“Bukan.”
“Lalu mengapa kamu harus pakai jalan seperti ini?” tanya supir Kirghiz itu penuh selidik.
“Karena kami tidak punya paspor.”
“Davai. Ayo berangkat.”
Tidak punya paspor di sini bukan dosa.
Kami melewati perbatasan Kyrgyzstan. Seketika huruf-huruf Rusia berubah wujud menjadi huruf latin ketika perjalanan memasuki Uzbekistan. Lega sekali. Akhirnya kami pulang dengan selamat.
Ups. Uzbekistan bermula di jalan sebelah sana, membentang sejajar dengan jalan yang kami tempuh sekarang ini. Kami sekarang masih berada di dunia Kyrgyzstan. Uzbekistan hanyalah dunia maya yang terpampang di seberang pelupuk mata.
Taksi memberhentikan kami di sebuah tanah pekuburan di tepi jalan. Berjingkat-jingkat kami melintasi tanah lapang ini. Kalau sampai terlihat tentara, kami berdua pasti dapat kesulitan. Apalagi saya yang orang asing. Sekarang kami berada di antara dua dunia. Jalan raya di sebelah kanan membentang adalah Kyrgyzstan. Di sebelah kiri adalah perkampungan Uzbekistan, ‘rumah’ kami.
Sebuah pintu kayu kecil terbuka di ujung pekuburan. Pintu reot ini adalah gerbang menuju Uzbekistan. Di balik pintu, kami terdampar di sebuah pekarangan mahalla, rukun desa ala Uzbek. Saya menghela nafas lega. Sampai juga di Uzbekistan dengan selamat. Berakhirlah petualangan penyelundupan kami.
Saya mengintip lagi ke arah Kyrgyzstan, negara di pekarangan belakang rumah Uzbekistan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Juni 2008
“Garis Batas” pemisah serumpun, se suku juga dialami negara lain, di Kalimantan, suku dayak yang ada di Kalimantan Indonesia terpisahkan “garis batas” dengan saudara mereka di Kalimantan ( Malaysia ), demikian juga suku Melayu dari kerajaan Riau Lingga terpisahkan dengan dengan saudara mereka di Singapura Malaysia karena “garis batas” warisan penjajah yang memang menyiksa
. Keren pak…..
Bacanya sambil nahan nafas kak.. *fiuhh….
Sebagai bagian dari etnis Melayu, saya baru tersadar bahwa saya juga mengalami hal yg sama, terpisah dari saudara-saudara kami di Malaysia, Singapura, Brunai, Thailand dan Philipina. 🙂
petualanagn gila…tp menantang….,jd pingin sana mas…
Edhan….siapa orang gila yg membuat garis2 batas gila spt itu?…