Garis Batas 5: Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini
Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban.
Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu. Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan.
Ketika Istaravshan merayakan ‘ulang tahun’-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya
Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional.
Namun, kekunoan Istaravshan tidak terlihat dari jalan-jalan kota dan jejeran toko yang berbaris rapi di pinggir jalan beraspal. Kita harus masuk ke gang-gang sempit yang berputar bak labirin untuk menemukan permata Istaravshan yang sebenarnya. Medresseh Abdul Latif Sulton, tersembunyi di jantung kota lama di antara rumah-rumah berwarna coklat kelabu, adalah salah satu kekayaan dari masa lalu itu.
Madrasah kuno ini masih berfungsi sebagai madrasah, menerima murid-murid agama dari seluruh penjuru negeri. Salah satunya adalah Khursid, 20 tahun, dari kota Isfara. Untuk belajar di sini, biayanya hanya 15 Somoni per bulan, sudah termasuk penginapan. Yang dipelajari bukan hanya ilmu agama dan Bahasa Arab, tetapi juga bahasa Inggis. Katanya, mereka juga akan belajar komputer. Pemimpin madrasah sedang sibuk membuat laboratorium.
Pelajar madrasah di Istaravshan berpakaian trendy. Celana jeans, kaos berlengan panjang, dan kadang-kadang ditambah topi mungil khas Tajik. Tidak ada model talib ala madrasah Afghanistan yang tidak pernah lepas dari tiga hal – jenggot, surban, dan jubah.
Di dekat medresseh, juga tersembunyi di tengah labirin kota lama, berdiri masjid kuno Hauz-i-Sangin dari abad kesembilan belas. Saya datang untuk melongok-longok langit-langitnya yang berukir indah. Pintu pekarangannya terkunci.
Orang Istaravshan memang lebih religius dibanding orang Dushanbe. Di sini juga hidup warga etnis Uzbek, kira-kira 30 persen dari total penduduk. Bahasa Tajik bercampur dengan aksen kental bahasa Uzbek. Bahasa Tajik masih satu keluarga dengan bahasa Persia di Iran dan Afghanistan, tetapi kosa katanya lebih kuno dan tidak banyak mengalami perkembangan sebelum Tajikistan menjadi negara merdeka. Selama di bawah Soviet, bahasa Tajik hanya selevel bahasa daerah. Sekarang setelah menjadi bahasa nasional, kata-kata yang berasal dari bahasa Rusia diganti dengan kata-kata dari bahasa Farsi Iran. Saya kebetulan bisa bahasa Farsi, tetapi saya masih sering susah mendengar logat orang-orang sini karena aksen Uzbeknya yang terlalu kuat.
Walaupun ada madrasah dan masjid di mana-mana, di bulan suci Ramadan, orang juga bebas makan dan minum di jalan-jalan umum. Pedagang sambusa, pastel khas Asia Tengah berisi daging kambing bersimbah minyak, terus-menerus berteriak memanggil pembeli. Asap kebab memenuhi sudut-sudut pasar, menggoda iman. Jangankan sambusa, kedai kecil yang khusus menjual pivo (bir) dan vodka juga masih ramai dikunjungi peminum. Konsumennya adalah etnis Tajik dan Uzbek, sama-sama Muslim, tetapi sudah berkawan akrab dengan nikmatnya vodka yang ditawarkan bersama komunisme Uni Soviet.
Tentu saja tidak semua orang seperti itu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, di sini disebut iftar, saya diajak sekelompok pria untuk mengakhiri puasa bersama-sama. Salah satunya bernama Islom, artinya ‘Islam’, pria tambun berumur empat puluhan.
“Mari, ber-iftar bersama kami,” ia menawarkan keramahtamahan yang sudah menjadi budaya orang Tajik.
Islom bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke Bangkok, menyaksikan dahsyatnya pembangunan di sana.
“Bahkan bandaranya pun lebih besar daripada kota ini!” Membandingkan Bangkok dengan Istaravshan yang tersembunyi dikelilingi gunung tinggi memang sedikit terlalu jauh bermain-main dengan imajinasi.
Bicara soal puasa dan Ramadan, bagi Islom berpuasa sudah menjadi bagian dari adat dan kebiasaan. Turun-temurun. Di antara semua negara Asia Tengah yang baru merdeka, Tajikistan bisa dikatakan yang paling kuat Islam-nya. Di negara ini pun, umat Muslim yang berpuasa menurut perkiraan Islom hanya 60 persen.
Adzan terdengar membahana. Islom berkomat-kamit membaca doa, sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.
“Bismillah irrahman irrahim,” ia mulai menyobek-nyobek roti nan dan membagikan kepada kelima pria yang duduk mengelilingi meja ini. Makanan yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya memuji betapa sederhananya orang Tajikistan dalam ber-itfar.
“Jangan salah,” kata Islom, “menu utama belum muncul.”
Pelayan membawakan senampan besar bola-bola daging yang ukurannya segenggaman tangan, berenang-renang riang di atas bumbu berminyak yang pekat. Makanan yang luar biasa mewah dan sedapnya. Sayang, karena kebanyakan makan salad yang hanya pembuka itu, saya sudah tidak punya ruangan kosong lagi di perut untuk bola-bola daging.
Sehabis makan, seperti kebiasaan orang Asia Tengah, kami bersama-sama menengadahkan kedua tangan seperti orang berdoa, kemudian meraupkan ke wajah sambil mengucap, “Amin”, sebagai tanda syukur kepada Allah.
Islom mengantarkan saya kembali ke penginapan. Jalanan Istaravshan begitu gelap. Tak ada lampu jalan sama sekali. Yang ada hanya malam yang pekat.
“Orang-orang Soviet itu tidak memberi lampu jalan sama sekali kepada Istaravshan,” keluh Islom.
Saya jadi teringat sebuah pepatah Afghan, “Jangan menyumpahi gelap, tetapi nyalakan lilin!”
Visinya akan masa depan segelap jalanan ini. Seperti Tajikistan yang berupaya mengais-ngais masa lalunya, Islom juga terus mengenang kejayaan Uni Soviet. Ketika masa depan tidak lagi terlalu bergairah, hanya masa lalu yang membuat orang bahagia.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Maret 2008
Leave a comment