Wego Indonesia (2013): Agustinus Wibowo pengelana negeri tak terjamah
20 March 2013
http://www.wego.co.id/berita/agustinus-wibowo-pengelana-negeri-tak-terjamah/
Wego Indonesia
Meet the Travelers
Agustinus Wibowo pengelana negeri tak terjamah
Agustinus Wibowo dengan buku perjalanan ketiganya yang berjudul Titik Nol.
Laksana kepompong yang keluar dari perlindungannya usai tidur panjang, seperti itulah hidup Agustinus Wibowo sejak 10 tahun silam. Kutubuku canggung yang jarang keluar rumah dan takut panas, kini telah berkelana ke negara-negara yang mungkin luput dari daftar tujuan traveler kebanyakan.
Agustinus kecil bercita-cita menjadi seorang turis. Bukan polisi, dokter, atau profesi-profesi lain yang dianggap mulia dan menjadi tolak ukur kesuksesan. Ia rela melepaskan modal masa depan sebagai lulusan universitas terbaik di Beijing, Cina, demi mengunjungi negara-negara yang dulu hanya bisa ia intip dari koleksi perangkonya.
Semua berawal ketika Agustinus menjadi sukarelawan tsunami di Aceh pada Januari 2005. Di daerah yang luluh lantak akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut, ia justru melihat semangat warga yang kuat untuk bangkit kembali. Agustinus yang saat itu baru lulus dari jurusan Komputer, bertekad banting stir menjadi seorang jurnalis. Tujuannya hanya satu, bisa mengunjungi tempat-tempat yang tak biasa dikunjungi, untuk menyebarkan cerita-cerita inspiratif.
Rencananya jelas, ia akan melakukan perjalanan dari Beijing sampai Afrika Selatan lewat jalan darat. Karena tak mendapat restu orang tua, praktis ia membiayai sendiri perjalanannya tersebut.
Perjalanan akbarnya dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, Cina, pada bulan Juli 2005. Dari sana, ia menanjak ke Tibet, menyeberang ke Nepal, India, menembus ke Pakistan, Afghanistan, Iran, lalu masuk ke negeri-negeri Stan di Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan.
Sebagai titik awal perjalanan, Tibet mendapat tempat spesial di hati Agustinus. Saat itu, ia masuk ke negeri atap dunia tersebut dengan cara menyelundup karena tak mengantongi izin masuk yang biayanya sangat tinggi.
Satu bulan di Tibet dijalaninya dengan penuh ketakutan. Takut ketahuan sebagai orang asing, takut diciduk polisi, takut dipenjara, dan perasaan-perasaan takut lainnya.
Ada kepuasan tak tertandingi saat ia sukses “menaklukan” Tibet; menaklukan perasaan takutnya sendiri.
Penaklukan-penaklukan semacam ini dirasakan Agustinus di awal-awal pengalamanannya backpacking seorang diri. Mimpi itu pula yang mengantarkannya ke Mongolia hanya dengan ongkos sebesar Rp 300.000 dari Beijing.
“Kalau bisa menaklukan sebuah tempat dengan budget seminim mungkin, itu adalah sebuah kebanggaan,” ujar Agustinus saat berbincang-bincang dengan Wego Indonesia awal Maret lalu.
Sekarang ia mengaku budget bukan segala-galanya, meskipun menurutnya, tren (buku-buku perjalanan) di Indonesia masih seputar “2 Juta ke…”.
Meskipun pengalaman pertamanya diwarnai dua kali perampokan di Ulan Bator, ia tidak gentar. Hasratnya kian menggebu saat di Mongolia bertemu dengan backpacker asal Malaysia yang sedang dalam misi keliling dunia.
Kisah sang Petualang
Agustinus tampaknya tak terlalu berkarib dengan rencana. Ia mengaku tak merencanakan persinggahan di negara-negara yang ia kunjungi. Apalagi dengan sengaja memilih negara-negara yang—menurut banyak orang—penuh tantangan atau berbahaya.
“Saat itu saya hanya ingin ke Afrika Selatan dari Beijing. Kalau dilihat di peta, rute tersebut melewati negara-negara yang saya kunjungi,” jelasnya singkat, “kebetulan juga hati saya tertambat di di Pakistan dan Afghanistan.”
Di dua negara ini, Agustinus tinggal cukup lama, 6 bulan di Pakistan dan 3 tahun di Afghanistan. “Saya sudah menjadi bagian dari daerah tersebut. Masuk ke dalam sebuah komunitas bangsa. Berbeda saat saya hanya tinggal 1 bulan di Tibet, saat itu mata saya masih sebagai seorang turis.” ujarnya.
Menurutnya, yang paling penting dari sebuah perjalanan adalah sejauh mana kita terkoneksi dengan tempat itu. Itu sebabnya ia tidak mengejar destinasi, apalagi menghitung jumlah negara yang ia kunjungi. Pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur, ini pun berteori bahwa seseorang baru dapat dikatakan sudah melebur dengan masyarakat lokal jika bisa tertawa mendengar joke mereka.
Salah satu joke yang diceritakan kepadanya oleh penduduk Afghanistan adalah yang paling ia ingat. Selain karena sampai terbawa mimpi, joke ini begitu pahit sehingga sulit diterima oleh mereka yang berasal dari luar daerah tersebut.
Seorang pembeli datang ke pasar dan menawar harga kepala kambing.
“Ini berapa?”
“50 Afghani.”
“Ah, kemahalan! Harusnya 20 Afghani saja.”
“Ini kepala kambing tahu, bukan kepala manusia!”
Pengalaman tinggal di negeri dimana harga sebuah nyawa manusia begitu murah, membuat Agustinus lebih menghargai hidup. “Untuk kita yang tidak pernah mengalami derita di negeri perang, mungkin akan sulit untuk tertawa saat mendengar joke tersebut,” ujar Agustinus, “tapi ternyata, mereka sudah mulai menertawakan tragedi mereka sendiri.”
Demi menyambung hidup dari satu tempat ke tempat lain, Agustinus menggunakan berbagai macam alat transportasi, mulai dari kereta api, bus, truk, hingga menumpang kuda dan keledai, dan diselingi dengan berjalan kaki.
Berkelana ke banyak negara selama bertahun-tahun membuatnya tidak cuma sekali dua kali mengalami kejadian-kejadian naas. Berbagai marabahaya pernah ia hadapi, mulai dari ditangkap polisi, dirampok, dipukul preman, ditahan agen rahasia, dan kelaparan. Belum lagi perasaan rindu pulang ke rumah.
“‘Jarak menimbulkan keindahan’. Begitu kata salah satu pepatah Mandarin. Ada perasaan yang justru tidak kita dapatkan ketika tinggal bersama.” ujar Agus mengenai kondisinya yang jauh dari pelukan hangat keluarga tercinta.
Ia pernah hampir putus asa saat kameranya rusak total. Seperti yang ia tulis dalam buku ketiganya berjudul Titik Nol, “Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam.”
Namun baginya, kesulitan yang dirasa paling mengganggu adalah soal birokrasi. “Ketakutan saya adalah ketika visa berakhir dan masih belum dapat visa negara selanjutnya.” Ia pernah overstayed dan didenda. Keadaan terkatung-katung tanpa kepastian itu yang lebih ditakutkan oleh pria yang lihai berbahasa Mandarin Farsi, Rusia, Urdu, Nepal, Turki, Kirgiztan, dan beberapa bahasa lainnya.
Sebuah catatan persembahan
Cerita perjalanannya secara rutin ia catat di sebuah jurnal. Baginya, proses menulis adalah proses menyusuri lagi perjalanan yang sudah dilakukan. Catatan-catatan itu kemudian diolah lagi dan dipublikasikan di rubrik Petualang Kompas pada 2008 – 2009.
Kisah perjalanan ke negeri-negeri “Stan” tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Titik Nol. Penerbitnya sama dengan yang menerbitkan dua buku terdahulunya, Selimut Debu dan Garis Batas. Versi buku setebal 552 halaman ini berbeda dengan versi artikel berseri terdahulu. Agustinus menambahkan kisah personal antara ia dan sang ibu, yang saat itu tengah berjuang melawan penyakit.
Baginya, ini adalah buku paling personal yang pernah ia buat. Di dalamnya terdapat momen saat ia kembali ke wajah-wajah familiar setelah belasan tahun meninggalkan rumah.
Ratusan foto hasil jepretannya saat berkelana ia pajang dalam situs pribadinya yang beralamat di www.avgustin.net, selain puluhan tulisan perjalanan yang dimuat di berbagai media massa.
Saat ini Agustinus menetap di ibukota untuk sementara. Tapi ia tidak akan tinggal diam. Perjalanan bukan sekadar liburan untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas. Perjalanan sudah menjadi hidup itu sendiri. Seperti yang ia tuliskan dalam Titik Nol, “‘Rumah’-ku sekarang adalah jalanan yang membentang. Aku adalah nomad, napasku adalah perpindahan.”
Leave a comment