Selimut Debu 3: Nyanyian Bisu
Gunung-gunung itu bisu, tapi mereka seakan bernyanyi begitu merdu.
Perjalanan dari Kashgar menuju Pakistan bisa ditempuh dalam waktu dua hari dengan menggunakan bus internasional. Karakoram Highway, yang diklaim oleh Pakistan sebagai keajaiban dunia kedelapan, dianggap sebagai mahakarya bikinan manusia. Jalan raya yang menghubungkan Kashgar dengan Islamabad itu menembus gunung-gunung tinggi mencapai ketinggian lebih dari 5.000 m di atas permukaan laut. Banyak orang yang mengatakan, Karakoram adalah jalan perbatasan yang paling indah di dunia. Perbatasan China-Pakistan terletak di Khunjerab Pass. Ada sebuah patok yang menandai batas itu, di puncak sebuah bukit yang berangin kencang. Di sisi China, tergambar lambang negara China dan tulisan nama negara. Demikian juga di sisi Pakistan.
Nampaknya wabah SARS di China cukup menyeramkan bagi Pakistan yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan semodern China. Karena itu mereka sangat berhati-hati, bisa juga dibilang berlebihan, terhadap semua pendatang dari China.
Perbatasan China-Pakistan baru saja dibuka dua hari lalu, dan aku termasuk salah seorang turis asing pertama yang menyeberang dari China menuju Pakistan. Dalam bus yang aku tumpangi ini, hanya akulah satu-satunya orang asing. Sebagian besar penumpang adalah para pekerja China yang hendak membangun jalan di Pakistan, plus seorang pedagang Pakistan yang pulang ke negerinya setelah tersangkut di Kashgar selama berbulan-bulan akibat penutupan perbatasan karena SARS.
Memasuki negeri Pakistan, suhu tubuh kami diukur berkali-kali. Tempat yang sangat tinggi ini memang bukanlah tempat yang sesuai untukku yang berasal dari negeri tropis. Suhu tubuhku secara tiba-tiba meningkat drastis menjadi 42 derajad, kepalaku terasa berat.
Bahaya! Bisa-bisa aku tidak boleh masuk karena dicurigai sebagai pembawa penyakit fatal.
Pada pos terakhir, aku berkata kepada dokter, aku berasal dari Indonesia. Pak Dokter mengatakan, semua Muslim adalah saudara, dan Indonesia adalah negara Muslim yang bagus. Dia tertawa, “Accha! Accha!”. Walaupun suhu tubuhku sangat tinggi dan sangat patut dicurigai sebagai penderita SARS, aku justru dapat melenggang santai melewati perbatasan Pakistan, hanya karena “persaudaraan Muslim”. Sedangkan semua penumpang China yang suhunya di atas 37.5 harus “dikarantina” terlebih dahulu. Padahal orang-orang China itu datang dari Xinjiang yang bersih dari SARS, sedangkan aku dari Beijing—ibukotanya SARS. Wujud karantina yang mereka jalani pun tak kalah lucunya: mereka dibawa ke sebuah gubuk kecil dan disuruh minum-minum teh sampai suhu tubuh mereka turun!
Langkah pertamaku di negeri Pakistan disambut oleh sebuah sapaan ramah dari kakek tua dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, yang diucapkan lebih dari 5.000 km dari tempat ini, ternyata masih terdengar lembut dan akrab. Kakek tua ini ternyata adalah seorang imam besar yang dulu pernah bertugas mengajarkan agama Islam di Jakarta selama satu tahun. Bahasa Indonesianya masih lancar dan indah, dan dari kata-katanya yang mengalir lembut itu aku merasakan teduhnya ajaran-ajaran agama Islam, mendengarkan alunan kata-katanya aku merasakan sapaan selamat datang yang lembut dari barisan gunung-gunung yang membisu.
Aku masih bingung, apakah Pakistan ini India? Kenapa semua orang berbicara seperti orang India? Dan musik yang kudengar berdentum-dentum, ah begitu akrabnya! Lagu tema film legendaris Kuch Kuch Hota Hai yang dibintangi Shah Rukh Khan itu bahkan terdengar di pegunungan terpencil ini!
Northern Areas adalah nama daerah ini, wilayah Pakistan Utara yang berbatasan langsung dengan China. Wujudnya adalah barisan sambung-menyambung dari gunung salju yang menggapai awan-awan tinggi. Sepanjang jalan Karakoram ini, gunung-gunung gagah menjulang di kanan kiri jalan.
Dari perbatasan, pemukiman terdekat adalah lembah Sust, dikelilingi puncak-puncak tinggi. Sust adalah pos perbatasan sisi Pakistan. Berbeda dengan perbatasan-perbatasan lain di dunia di mana pos perbatasan kedua negara biasanya berdekatan atau berhadapan, jarak pos perbatasan antara China dengan Pakistan di Khunjerab Pass itu jauh sekali. Pagi kami di pos China di Tashkurgan, naik bus sepanjang hari sampai ke puncak Pass, dan baru sampai di pos Pakistan di Sust sore harinya.
Aku berkenalan dengan seorang pemuda Sust yang mengajakku menginap di rumahnya. Dia memperkenalkanku pada keluarganya yang sangat besar itu. Kota perbatasan biasanya hanya sekedar tempat untuk melintas, gersang dan kacau-balau, terkadang tinggi kriminalitasnya. Buku-buku panduan wisata biasanya mengukuhkan klaim itu, menekankan bahwa Sust adalah kota perbatasan yang tidak ada menarik-menariknya, tidak rugi apa-apa kalau di-skip. Tetapi berkat kehangatan keluarga Akhtar, Sust yang kulihat adalah benar-benar sebuah lembah yang kecantikannya tersembunyi di balik lekukan Himalaya.
Penduduk Sust, seperti halnya sebagian besar penduduk yang tinggal di sepanjang Karakoram Highway, adalah penganut agama Islam aliran Ismaili, yang berbeda dengan mayoritas penduduk Pakistan. Sekte Ismaili, pecahan dari Islam Shiah, adalah aliran Islam yang cukup moderat. Di Pakistan Utara kita jarang melihat perempuan yang berbalut cadar. Dan perempuan-perempuan di sini mempunyai hak yang sama dengan kaum pria untuk mengenyam pendidikan. Tidak ada masjid sebagai tempat sembahyang, karena salat dianggap sebagai hubungan pribadi antara Tuhan dengan manusia. Posisi masjid digantikan oleh sebuah balai komunal yang disebut jamaat khana. Aga Khan, pemimpin spiritual sekte Ismaili, adalah pujaan semua orang yang tinggal di lembah-lembah Himalaya, Pakistan Utara.
Sepanjang jalan Karakoram Highway, barisan gunung-gunung tinggi menjulang seakan menyanyikan sebuah lagu yang bisu. Sebuah lagu indah yang tak terdengar oleh telinga, namun alunan merdu itu mengetuk relung-relung hatiku. Aku berkesempatan menumpang sebuah truk dari Sust menuju Pasu, di mana aku duduk di atap truk menikmati kegagahan gunung-gunung itu dari sangat dekat, seakan berbaris tepat di kanan kiri kepalaku yang mungil ini. Nyanyian-nyanyian bisu itu menjadi semakin merdu ketika alunan musik India mengalir lembut memenuhi penjuru mobil angkutan yang penuh sesak.
Benar saja, di balik pegunungan Himalaya ini ada sebuah dunia yang sama sekali lain, kedamaian yang begitu mengejutkan.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Leave a comment