Recommended

Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO)

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO)

Meninggalkan gunung-gunung di utara, aku memasuki dunia Pakistan yang sesungguhnya. Padat, ramai, kotor, kumuh, kuno, dan hanya laki-laki.

Rawalpindi adalah kota kembar dari ibukota Pakistan, Islamabad. Jarak antara keduanya hanya 15 kilometer, tapi seperti dipisahkan dalam lintasan waktu yang sama sekali berbeda. Islamabad adalah kota baru yang modern, sepi dan lengang, membosankan. Orang bilang, ibukota Pakistan itu letaknya 15 kilometer jauhnya dari Pakistan. Saking tidak alaminya, ibukota mereka sudah seperti bukan negara mereka sendiri. Sedangkan Rawalpindi memang kuno dan padat, kumuh dan ramai, tetapi sungguh hidup. Inilah Pakistan dalam bayanganku, yang kuimpikan selama ini. Para lelaki berjubah panjang berkibar-kibar lalu lalang di sepanjang jalan. Aroma sate kebab yang menyeruak hidung, juga lezatnya teh susu hangat yang dituang ke gelas-gelas. Suara minyak di wajan datar menjerit, menggoreng roti tipis yang renyah lagi panas. Sayang, karena uangku terbatas, aku tidak pernah berkesempatan mencicip rasanya. Setiap hari makananku adalah nasi berminyak polos yang kubeli di pasar, tanpa sayur tanpa daging, dengan air minum gratisan yang gelasnya harus berbagi dengan semua pengunjung pasar.

Meninggalkan Northern Areas, kehidupan lengang di Hunza sudah jadi memori. Kita masuk ke Pakistan yang sebenarnya. Di jalanan hanya ada lelaki, dan cuma lelaki. Aku sangat terpesona oleh busana tradisional yang dipakai oleh semua orang Pakistan ini. Shalwar kamiz namanya. Shalwar adalah celana kombor yang kalau digelar lebarnya bisa sampai satu setengah meter. Kamiz adalah jubah panjang yang menjuntai sampai ke lutut. Sungguh nyaman dipakai, angin semilir begitu menyegarkan menyeruak melalui kain celana. Apalagi katanya banyak dari mereka yang tidak pakai celana dalam. Ooops.

Aku pun tertular oleh trend busana yang dahsyat ini. Sebuah kunjungan ke toko baju bekas (menjamur di negeri yang penuh dengan toko-toko barang bekas ini), aku mendapat tiga pasang shalwar kamiz kedodoran, masing-masing seharga satu dolar.

Bagaimana dengan perempuannya? Aku hampir tidak melihat sama sekali. Perempuan yang kelihatan bisa dihitung dengan jari, itu pun tertutup rapat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memang di negeri ini, umumnya perempuan tidak boleh (atau tidak mau?) keluar rumah sendirian tanpa dikawal oleh saudaranya yang laki-laki. Ini tetap saja sebuah kejutan budaya untukku, walaupun aku berasal dari Indonesia yang mayoritas Muslim. Jangan kaget kalau ada perempuan yang berjalan sendirian di jalan, dia langsung jadi pusat perhatian ratusan pasang mata para lelaki yang menatap begitu tajam, begitu liar. Banyak teman pejalan perempuan asing yang mengalami hal ini selama di Pakistan.

Di tempat-tempat umum di Pakistan, seperti misalnya di terminal bus atau restoran, sering kali tersedia air gratis dan sebuah gelas. Satu-satunya gelas ini bisa digunakan oleh siapa saja, tak perlu dicuci dulu. Bisa dikatakan, ini adalah “air minum umum” dan “gelas umum”. Semua orang minum dari gelas yang sama tanpa rasa jijik. Aku membayangkan jika SARS benar-benar sampai di Pakistan, pastilah seluruh negeri ini akan tertular, karena kebiasaan mereka minum dari gelas yang sama. Namun orang Pakistan berkata kepadaku, “Penyakit itu kehendak Allah. Jika Allah menghendaki engkau sakit maka engkau akan sakit. Jika Allah menghendaki engkau sehat maka engkau akan sehat.” Semula aku takut, tapi akhirnya aku pun ikut terbiasa untuk minum air gratis dari gelas bersama itu. Alhamdulillah, aku tidak pernah mengalami penyakit apa-apa.

Undangan minum teh tidak pernah berhenti (AGUSTINUS WIBOWO)

Undangan minum teh tidak pernah berhenti (AGUSTINUS WIBOWO)

Di Rajja Bazaar Rawalpindi aku berjumpa dengan sekelompok pria bangsa Pashtun dari Afghanistan yang kini menetap di Pakistan. Ini adalah kali pertama aku bertemu langsung dengan orang-orang Afghan. Seperti yang kukenal dari siaran televisi, sosok wajah orang Afghan identik dengan gambaran klise: keras, dibungkus jenggot lebat, mata menatap tajam. Mereka memilih untuk melarikan diri dari negaranya dan memulai kehidupan baru di Pakistan akibat kemelut berkepanjangan yang mengguncang negeri mereka.

Kehidupan pengungsi Afghanistan di Pakistan merupakan dilema tersendiri bagi pemerintah Pakistan. Di satu sisi mereka adalah sesama umat Muslim yang harus dibantu, namun di sisi lain kedatangan mereka semakin menambah jumlah pengangguran, kemiskinan, dan tindak kriminal di negeri itu. Para pengungsi Afghanistan ini umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap di Pakistan. Di Rawalpindi sini banyak yang bekerja sebagai pedagang keliling di bazaar-bazaar, sedangkan anak-anak kecil mengorek-ngorek keranjang sampah di sudut-sudut jalan.

Menyusul semakin stabilnya keadaan di Afghanistan, semakin banyak pengungsi Afghan yang pulang ke kampung halamannya. Tapi para lelaki yang kutemui ini memilih untuk menjalani kehidupan di tanah pengungsian, karena kampung halaman masih belum aman. Mereka tersenyum padaku dan berkata, “Kunjungilah negeri kami yang indah, negeri kaum Pashtun, dan engkau akan menyaksikan bagaimana bangsa Pashtun akan menyambutmu, seperti kami menyambut engkau di sini.”

Bangsa Pashtun adalah bangsa mayoritas yang mendiami Afghanistan, tetapi juga merupakan etnis minoritas besar di Pakistan. Mereka mendiami daerah barat Pakistan, umumnya di provinsi besar bernama NWFP (North-Western Frontier Province). Di Pakistan, mereka disebut sebagai Pathan, dan sering menjadi olok-olok masyarakat Pakistan karena umumnya mereka sangat konservatif, keras, kasar, dan tidak bisa berbicara bahasa nasional Urdu dengan sempurna.

Menurut sejarahnya, Afghanistan dan Pakistan dibelah oleh garis batas yang diciptakan penjajah Inggris. Garis ini disebut Garis Durrand, tepat membelah di tengah-tengah jantung negeri bangsa Pashtun. Akibatnya, sebagian bangsa Pashtun tinggal di Afghanistan, dan sebagian lagi tinggal di Pakistan dan menjadi Pathan.

Tetapi orang-orang Pashtun banyak yang tidak menerima pembelahan ini. Orang Pashtun di Afghanistan masih menganggap NWFP yang sekarang dikuasai Pakistan itu adalah bagian dari negeri mereka. Sedangkan orang Pathan di Pakistan pun tidak sepenuhnya terintegrasi dengan masyarakat arus utama Pakistan, karena mereka punya tradisi yang berbeda, bahasa yang berbeda, bahkan aturan hidup yang sama sekali berbeda. Karena tidak mungkin sepenuhnya menyerap NWFP ke dalam negeri Pakistan, pemerintah Pakistan pun mengizinkan sebagian besar wilayah NWFP memberlakukan hukum adat dari masing-masing suku-suku Pashtun.

Dari Rawalpindi, perbatasan Afghanistan hanya tiga setengah jam perjalanan jauhnya. Aku pun sudah tidak sabar lagi segera menginjakkan kaki ke negeri yang kuimpikan selama ini. Menyibak cadar pekat gadis misterius dalam mimpi yang menghantui malam-malamku.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Semua minum dari gelas yang sama (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua minum dari gelas yang sama (AGUSTINUS WIBOWO)

Rawalpindi (AGUSTINUS WIBOWO)

Rawalpindi (AGUSTINUS WIBOWO)

Bepergian ala Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bepergian ala Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Pakistan di Taxila, situs peninggalan Buddhis tak jauh dari Rawalpindi (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Pakistan di Taxila, situs peninggalan Buddhis tak jauh dari Rawalpindi (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Pakistan di Taxila. Fotografi bagi para perempuan Pakistan ini sama sekali bukan masalah, karena kebetulan mereka Nasrani. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para turis Pakistan di Taxila. Fotografi bagi para perempuan Pakistan ini sama sekali bukan masalah, karena kebetulan mereka Nasrani. (AGUSTINUS WIBOWO)

Interior bus yang penuh hiasan (AGUSTINUS WIBOWO)

Interior bus yang penuh hiasan (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

19 Comments on Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

  1. Thanks for sharing Mas Agus. Menarik sekali. Kebetulan di tempat kerja saya banyak orang Pakistan, India, Bangladesh yg gw belum bisa bener membedakan asal mereka kalo gak dikasih tau sama mereka. Yang menarik, beberapa dari mereka sering minum di tea room tempat kerja, pake gelas yg disediain perusahaan. Tapi emang gak pernah cuci (dalam arti cuci pake cairan pencuci piring & dibilas), paling disiram dah itu ditaruh balik ke rak piring. Kita yg melihat suka merasa jorok, geli & merasa mereka malas cuci gelas sehabis minum. Dari tulisan Mas Agus gw jadi menebak2 yg sering minum dan gak cuci gelas mungkin orang Pakistan dan ternyata kebiasaan tsb adalah bagian dari kebudayaan mereka :).

  2. Is Allah/Jesus also amongst those guys?

  3. Nur Hayati Jantung // February 23, 2014 at 11:33 am // Reply

    Mantap tuk Agustinus …trims banget atas cerita ini.ini yg aku tunggu pembahasan yg sgt menarik krn selama ini tdk mengerti memahami dan mendalami sedikitpin sekrg aku sdh tahu krn aku sdh jatuh hati pd org pathan.sukses buatmu agus

  4. Keren sekali. Saya suka sekali dengan postingan mas Agus di sini dan di kompasiana.

  5. Ms agus pingin tahu pakistan lebih dalam tolong dong mas balas emal sy ,tertarik traveling ke pakistan sy.

  6. Mas agus susah kah apply visa ke pakistan. Dan amankah ke snaa. Tiket direct ka??

  7. Tiara oktaviani // January 28, 2016 at 7:24 pm // Reply

    Tapi pakistan itu sebenarnya negara yg aman seperti ndonesia atau tidak yah???
    Takut tinggal disana jadinya

  8. Thank you mas agus buat informasinya, dari artikel mas agus aku jadi tau budaya di pakistan itu seperti apa 😊😊

  9. Sangat bagus dan menarik.. u have done good work..please expose more info tq…

  10. Keren bangeett postingan mas Agus ini..membuka wawasan kita ttg budaya Pakistan.. karena selama ini jarang jg traveller melancong ke sana.. kebanyakan Europe destination postingannya. Mas Aguss suksed teruuuss.. oya kalau perlu posting ttg budaya para prempuannya dunt mas.. penasaran bggtt bener2 semua nya pakai cadar kah yg muslim? Kyk arab dong yah kalau gitu.. excited bgt sm Pakistani muslim womennya.. 😻😻😻😇

  11. Baca tulisan mas agus jd tertarik traveling ke pakistan tp sulit jg ya klo perempuan sendirian ke sana.. kudu rame2 sprtinya nih…. akh smga pnya kesempatan bisa beekunjung ke pakistan nanti…. aamiin

  12. Dmn bacaan lengkapnya mas agus?? Kok Msh bersambung ya?? saya ga sabar pengen baca versi lengkapnya.

  13. Max maximanlikulanga // April 16, 2017 at 5:07 am // Reply

    Super….salam sukses tuk mas agus

  14. Woibe Daeli // July 6, 2017 at 2:45 am // Reply

    Thank you so much Bang Agus,keren bgt sudah membagi pengalamannya tentang budaya pakistan sungguh menarik kebetulan saya punya kenalan org pakistan emang tutur katanya super manis ganteng mancung saya sampe klepek2 pdnya. Jadi setelah membaca Artikel dari Bang Agus saya mulai waspada dan berhati2 untuk melanjutkan hubungan sama pria pakistan ini. Terimakasih Banyak.

  15. Lia Kamelia // March 29, 2018 at 8:23 am // Reply

    assalamualikum mas .
    keren banget mas . sukses yah mas .

  16. Beauty Dhora Rhavita Logy // May 30, 2018 at 1:00 pm // Reply

    Mas agus masih penasaran sama kelanjutan ceritanya tentang pakistan secara mendetail,dimana saya bisa membaca kelanjutannya mohon share, dan juga mau nanya” soal bagaimana interaksi masyarakat disana serta mengapa lelaki terlihat banyak dari pada wanita?

  17. Sangat menarik tulisannya mas agus…
    Klo semisal orang indonesia menikah dengan orng pakistan itu adatnya sperti apa disana? Apa bahaya u/ perempuan indonesia?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*