Selimut Debu 9: Kalashnikov
Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya.
Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka.
Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di sinilah, di daerah Jamrud, Peshawar, sebuah gerbang dibangun untuk memperingati keagungan sang Khyber.
Pemandangan celah Khyber, walaupun tidak seindah Celah Khunjerab, terasa begitu perkasa berkat keganasan dan keangkerannya. Lintasan yang meliuk-liuk laksana ular yang menggelayuti bukit cadas, serta lembah-lembah curam yang berwarna hijau dan cokelat, memang pantas untuk sebuah lokasi legendaris. Para penduduk tinggal di dalam gua-gua, banyak dari mereka memiliki senjata api. Di sini gerakan-gerakan militan masih menunjukkan taringnya. Bahkan desas-desus yang beredar hingga sekarang, sang Osama bersama pejuang Taliban juga bersembunyi di daerah Tribal Area Pakistan ini, kawasan yang tak tersentuh oleh Amerika Serikat, Afghanistan, maupun hukum Pakistan. Sekarang jalanan meliuk-liuk begitu tajam, tentara tak mengizinkan dan si sopir tak berani menghentikan kendaraannya di sini sama sekali. Terlalu berisiko, katanya.
Tapi di satu tempat, tiba-tiba tentara kami menganjurkan taksi untuk berhenti. Dia berdiri menatap gunung-gunung gersang di kejauhan, sembari menunjukkan kepada kami kegagahan celah Khyber. Dari titik inilah, liuk-liuk jalanan seperti ular panjang yang merambah bukit, memecah bongkahan-bongkahan gunung tandus, dan seakan menyeringaikan taringnya di hadapan kami. Inilah Celah Khyber! Celah yang ditakuti namun juga diagungkan. Celah yang kini semakin angker dengan adanya tamu-tamu militan dari Afghanistan, serta gerakan-gerakan perang suci dunia. Semuanya kini terpampang nyata di hadapanku. Cerita masa lalu dan realita masa kininya, kebingungan antara fakta, rumor, dan imajinasi, semua itu membuatku terpana tanpa mampu berkata apa-apa.
Tentara Pakistan itu menawarkan senapan miliknya kepada kami. Aku harus berpikir panjang-panjang sebelum mengangguk setuju. Sebenarnya sejak dulu aku ingin mengalami keganasan Peshawar, namun aku belum sempat mengunjungi desa Darra yang memproduksi senjata secara massal. Kini aku ditawari untuk meletupkan senapan, tidak main-main, Avtomat Kalashnikov 47! AK-47! Dan bukan lagi di lapangan latihan, melainkan menembakkan langsung di alam nyata, Celah Khyber!
DUARR…..!!!
Letupan pertama dari senapan Adam. Aku sempat terlompat karena terkejutnya.
Dan, duar...!!! lagi. Kali ini dari senapanku. Satu letupan, yang tak ingin kucoba lagi dalam hidupku, menyentakkan tubuhku jauh-jauh ke belakang. Hukum fisika akan kekekalan impuls dan momentum yang dulu hanya berlaku dalam buku-buku hitungan dan ujian sekolah, kini kurasakan sendiri. Begitu dalam, begitu tajam. Seolah membawaku berkenalan dengan sang maut. Inilah letupan, yang begitu mudahnya bisa mencabut nyawa dari raganya. Inilah senjata, yang menyebabkan perang berkepanjangan dan darah terus mengalir di penjuru-penjuru dunia. Pengalaman pertamaku menginjakkan kaki menuju negeri perang, sudah dimulai dengan sepucuk senapan di pundakku, dan sebutir peluru terempas dari laras.
Cukup sekali ini saja! Aku sungguh tak ingin mendengar lagi bunyi letusan senapan dalam hidupku.
Perjalanan pun dilanjutkan, sementara jantungku masih berdegup kencang, mengiringi suara letupan yang terus terngiang-ngiang di benakku. Tak jauh kemudian, sudah tampak korban lain dari celah Khyber. Sebuah truk besar pengangkut minyak terguling di dekat tikungan tajam. Tentara pengawal kami tertawa terbahak-bahak. Dengan bahasa Inggrisnya yang pas-pasan, dia berkata bahwa truk itu pasti mengangkut minyaknya Amerika, sehingga kualat.
Setelah perjalanan sekitar dua jam, kami sampai di perbatasan yang memisahkan Pakistan dan Afghanistan. Perbatasan ini, benar-benar memberi arti pada kata gerbang negara.
Dua buah gerbang, satu di Pakistan, satu lagi di sana di pintu masuk Afghanistan. Ratusan orang hilir mudik dengan mudahnya tanpa pemeriksaan dokumen sama sekali. Andaikan aku tidak bertas ransel seperti ini, dan andaikan aku berwajah Pakistan, tentulah mudah bagiku untuk menyeberang ke Afghanistan tanpa birokrasi paspor dan visa. Aku pernah membaca catatan perjalanan turis Hong Kong yang menyelinap tahun lalu dari Peshawar sampai ke Kabul, tanpa mengurus surat izin Tribal Area, dengan membungkus diri rapat-rapat dalam syal tebal dan duduk meringkuk di kursi bus umum. Mana mungkin ada negara yang tidak waswas kalau bertetangga dengan Afghanistan— negara perang yang kacau balau dengan pos perbatasan yang begitu longgar sehingga semua efek negatif dari perang begitu mudahnya menyebar?
Kami digiring masuk ke sebuah kantor gelap dan pengap, di mana puluhan orang, lelaki dan perempuan, duduk menunggu giliran sambil mengipas-ngipas wajah mereka, mengusir panas dan menguapkan keringat. Paspor kami pun diantre dengan paspor-paspor yang lain. Namun karena kami orang asing, kami tidak perlu menunggu lama. Nama kami dicatat pada buku tebal berlembar-lembar itu, dan kemudian diketikkan pada surat lainnya. Mesin ketik yang dulu sering aku lihat di Indonesia waktu aku masih SD, kini menjadi pemandangan biasa bagiku yang harus tiap hari berurusan dengan birokrasi di kantor-kantor Pakistan.
Tak lebih dari dua puluh menit, paspor kami sudah dikembalikan lagi. Cap “Exit from Torkham” tertera manis di pasporku. Torkham, gerbang yang memisahkan kedua negeri ini, adalah titik terakhir dari Pakistan. Di pintu gerbang ini pada sebuah papan hijau tertulis besar-besar, “Welcome to Pakistan, Keep to the Left.”
Ucapan selamat datang justru ketika kami hendak meninggalkan Pakistan.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
nice pic mas, –salam dr padang–