Selimut Debu 40: Afghan Tourism
Nama “Afghanistan” dan kata “turisme” sepertinya memang bukan pasangan serasi. Yang satu tentang kemelut perang, yang satu tentang piknik suka-suka. Tapi toh kedua kata itu bertemu di papan gedung tua Afghan Tourism Office (ATO) di pinggiran rongsokan bangkai pesawat di jalan menuju bandara (peringatan seram buat siapa pun yang mau terbang dari bandara ini!). Hasilnya adalah sebuah pengalaman turisme yang khas Afghanistan.
Hari kedua mengurus surat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan ternyata berlangsung mulus-lus. Wakil Menteri kebetulan ada di kantornya. Dia mewawancaraiku, menanyakan tentang apa yang kulakukan di Kabul, di mana aku tinggal, kemudian menandatangani suratku, dan memintaku pergi langsung ke kantor ATO.
Masalahnya, tidak banyak sopir taksi yang sungguh tahu di mana itu kantor dinas pariwisata negeri Afghan. “Memangnya ada kantor seperti itu?” beberapa dari mereka bertanya. “Turis atau teroris?” tanya yang lain. Kedua kata serapan bahasa asing ini memang masih sulit diucapkan oleh lidah Afghan, tapi memang bisa saja turis menyambi jadi teroris, atau teroris menyamar jadi turis.
Aku memilih naik kendaraan umum, yang harganya cukup murah, 10 afghani. Bus berhenti tepat di bandara, yang ternyata masih cukup jauh dari kantor ATO. Kantor yang dimaksud adalah bangunan tua, suram, gelap tanpa lampu, bolong-bolong dan mau rubuh seperti baru saja diberondong peluru segar kemarin. Inilah sambutan buat para turis dan calon turis ke Afghanistan. Siapa tahu, kantor dinas pariwisata ini mungkin menyesuaikan diri dengan tema pariwisata negeri perang ini.
Aku langsung menemui direktur ATO. Aku menyerahkan suratku yang sudah ditandatangani Wakil Menteri. Surat sakti? Kaukira itu surat sakti? Bukannya memberikan izin, si direktur ATO malah sibuk menginterogasi.
“Berapa orang dari kalian yang mau ke sana?”
“Sendiri saja, Tuan.”
“Punya mobil?”
“Tidak.”
“Kamu butuh penerjemah?”
“Tidak, terima kasih. Saya bisa bahasa Farsi.”
“Ooo… jadi kamu butuh guide?”
“Tidak. Saya tidak punya uang untuk bayar guide.”
“Lah, kalau begitu bagaimana kami bisa menolong kamu?”
“Saya cuma butuh surat izin ke Wakhan, Tuan.”
“Kamu tidak menyewa jip, tidak pakai penerjemah, tidak mau guide. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menolong,” kata si direktur.
“Tuan, tolong beri saya surat yang bisa saya bawa pada petugas di Ishkashim sana, supaya saya bisa dapat surat izin masuk ke Wakhan.”
“Anak muda, kamu tahu, Ishkashim itu jauh sekali. Bagaimana mungkin saya bisa mengontak mereka? Saya sungguh tidak tahu bagaimana caranya menolong kamu.”
Tentu saja pria berkumis tebal ini tahu betul apa yang harus dia lakukan. Dia hanya ingin menawarkan jip, penerjemah, dan guide. Seperti itulah pekerjaan Kantor Turisme Afghanistan dalam pandangannya. Ia terus menerus menceritakan betapa seramnya kehidupan di Wakhan. Sangat susah. Tidak ada fasilitas. Terlalu bahaya bagi orang asing. Layak aku curiga kalau dia pun tidak tahu di mana Wakhan itu, apalagi pernah pergi ke sana. Tak henti-henti dia berkata, “I really don’t know how to help you.”
Setelah puas berceramah selama sepuluh menit tanpa disela sama sekali, ia akhirnya memberi kesempatan untukku bicara.
“Jadi, Tuan, just give me the letter!”
“Surat? Surat saja cukup? Cuma surat dari kantor ini?”
Dia menahan iri untuk tidak melanjutkan maksudnya yang tersirat: No jeep? No interpreter? No guide?
“Yes. It’s enough,” jawabku mantap.
Gurat kecewa terlukis di wajahnya. Dengan malas dia menulis sebuah memo dan diberikan pada seorang ibu tua pembersih ruangan. Perempuan berkerudung hitam itu kemudian membawa memo ke ruang ketik.
Cukup lama aku menunggu. Kantor ini sibuk juga, karena juga merupakan tempat perpanjangan visa. Banyak lelaki Nepal berwajah Mongoloid yang mengurus visa di sini. Mereka adalah tentara Gurkha yang direkrut sebagai petugas keamanan di berbagai kantor organisasi dan kedutaan.
Aku langsung menuju ke ruang ketik. Kenyataannya, para lelaki di ruangan mengetik ini malah sibuk mengobrol daripada mengetik surat izin untukku. Ketika aku masuk ke ruangan, mereka sangat antusias dan semakin bersemangat mengobrol. Seorang pemuda meminta tolong padaku untuk membantu menghubungkannya dengan gadis-gadis dari China, karena dia ingin melakukan “sesuatu”. Pastinya, itu tidak jauh-jauh dari urusan jijig. Aku bilang padanya, banyak gadis China di restoran China. Dia bilang, orang Afghan tidak diizinkan masuk restoran China sendirian, jadi dia membutuhkan bantuanku. Dia cerita, terakhir kali teman Indianya membantunya pergi ke tempat yang banyak gadis Chinanya, dan dia meniduri dua di antara mereka. Dia terus meyakinkanku bahwa dia punya uang.
“Allah tobah. Allah tobah. Ini haram,” kataku, dengan harapan dia berhenti mengoceh.
“Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Aku yang melakukan. Aku yang melakukan. Kamu hanya ke restoran itu untuk makan, dan aku akan membayarkan.”
Setelah lama berkutat dengan orang ini, akhirnya keluar juga surat memoku. Aku kira urusan selesai. Ternyata tidak. Surat ini harus ditandatangani oleh Wakil Menteri, jadi besok bos ATO akan membawa surat izin ini kembali ke Kementerian Informasi dan Kebudayaan, dan aku harus datang lagi lusa untuk mengambil surat. Rekor urusan mengurus sebuah surat pariwisata di Afghanistan: empat hari, dengan 3 kunjungan ke Kementerian Informasi dan Kebudayaan, plus 2 kunjungan ke kantor ATO.
Bicara tentang sudut pandang pariwisata, kebetulan sekali aku menonton siaran televisi Korea tentang wisata ke Jakarta. Para pembawa acara Korea itu menjajal menjadi joki 3-in-1, yang kedengarannya merupakan atraksi wisata seru nan menantang yang bisa disajikan ibukota kita. Mereka sama sekali tidak meliput tentang bangunan pencakar langit di Jakarta—itu sangat membosankan buat penonton Korea. Mereka malah menjajal berbagai makanan jalanan seperti rujak manis dan nasi goreng. Jelas terlihat, si pembawa acara Korea itu jijik dengan makanan “seram” yang harus mereka lahap di depan kamera, dikontraskan dengan warga Jakarta yang lahap (atau rakus?) menyantap makanan “kotor” itu.
Mereka juga mewawancarai orang-orang yang berbaris menunggu kemacetan. Menunggu kemacetan? Benar, orang-orang ini sungguh menunggu jalanan macet, karena itu kesempatan buat mereka bekerja. Para pemuda ini masing-masing membawa tas plastik. Pas jalanan macet, dan ada tanker atau truk minyak yang melintas perlahan, mereka berlari beriringan dengan kendaraan itu. Tangan kanan mereka membuka keran, tangan kiri menadahkan plastik pada minyak yang menetes dari tangki. Ini adalah pencurian minyak di siang bolong, di jalanan ramai, dibiarkan oleh semua orang yang melihat, dan bahkan si sopir truk minyak pun tidak peduli. Minyak yang ditadah ini akan dijual kembali. Tanpa malu mereka disyuting dan diwawancara jurnalis asing. Dan serunya lagi, ini menjadi tontonan menarik acara pariwisata bagi calon turis Korea!
Tak perlu jauh-jauh ke Afghanistan. Wisata di ibukota negeri kita pun bisa jadi penuh ironi.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
jadi indonesia dengan afganistan 11-12 untuk daya tarik pariwisatanya ya mas 🙂