Selimut Debu 41: Ketika Semua Telah Menjadi Normal
“Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.”
Kandahar adalah kota terbesar kedua di Afghanistan, telah membayangi imajinasi para musafir sejak ratusan tahun silam. Deskripsi dari kisah-kisah kuno tentang Kandahar berkutat pada gelombang panas yang mematikan, gurun yang kejam, juga tentang keramahtamahan bangsa Pashtun yang tiada bandingannya. Anehnya, deskripsi itu masih tetap valid hingga hari ini, walaupun perang berkepanjangan dan fundamentalisme telah mengubah wajah kota ini.
Hidup di Kandahar di tengah puncak dari tren “war on terror” tentu didominasi perhatian pada masalah keamanan. Bom bunuh diri dapat terjadi di mana pun. Juga penembakan di jalanan bisa terjadi secara random, langsung mengirimkan peluru melesat ke sebelah kakimu. Taliban adalah pihak yang selalu dituding berada di belakang semua teror ini, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti siapa dalang sesungguhnya. Politik di Afghanistan sangatlah rumit. Bukan hanya para ekstremis religius yang mengenakan topeng agama pada setiap aksi mereka, Afghanistan juga merupakan medan permainan dan incaran banyak negara yang mencampuri politik dalam negeri mereka.
Hidup di Kandahar banyak berubah setelah itu. Sejak akhir 2004, situasi di kota ini memburuk dan hanya memburuk. Banyak penduduk setempat yang bahkan tidak berani pulang ke kampung mereka di provinsi ini, dan lebih memilih tinggal di kota, di dalam rumah yang dikelilingi tembok padat dan tinggi, serta dikawal ketat oleh satpam bersenjata.
Risiko keamanan tertinggi dihadapi oleh para warga asing, juga orang-orang Afghan yang bekerja untuk pemerintah, LSM asing, dan media. Ketika aku berada di kota ini, dua warga asing diculik, dan salah satunya adalah warga Saudi Arabia. Punya wajah dengan jenggot dicukur juga merupakan ancaman yang bisa diganjar kehilangan nyawa.
Seorang lelaki yang mencukur jenggot melakukan perjalanan dengan mobil melintasi jalur selatan negeri Afghan. Mobilnya dihentikan di tengah perjalanan di Provinsi Helmand, tetangga Kandahar. Jalur selatan Afghanistan ini menghubungkan Kabul di timur dengan Herat di barat, melintasi provinsi-provinsi berbahaya seperti Zabul, Kandahar, Helmand, dan Nimruz. Keadaan jalan di jalur selatan ini sebenarnya sangat baik, beraspal mulus dan merupakan jalan lintas cepat di seluruh negeri. Jarak 800 kilometer dari Kabul ke Herat bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh jam dengan bus umum—asalkan tidak dicegat teroris. Amerika berupaya keras agar jalur ini menjadi urat nadi utama transportasi di Afghanistan, tetapi separuh jalan dari Kandahar menuju Herat belum sepenuhnya diperbaiki dan para bandit di daerah ini sudah sangat terkenal bahkan sejak ratusan tahun lalu.
Si lelaki berwajah mulus dengan jenggot dicukur itu secara kebetulan dihentikan mobilnya oleh para anggota “gerakan pemberontakan religius”. Dia ditanyai, “Kamu lelaki atau perempuan?” Kalau laki-laki, maka dia harus menjelaskan kenapa tidak ada jenggot. Setelah itu, gerombolan itu membuat lobang besar dengan pisau di telinga lelaki malang itu, lalu memasang sebuah gembok besi dan berat pada lobang daun telinga itu, dan menguncinya. Lelaki itu kini punya cincin dari gembok besi berkarat! Para anggota gerombolan itu tersenyum puas dan berkata, “Kamu sekarang sudah lebih pantas terlihat sebagai perempuan. Kamu boleh pergi!”
Di Kandahar, aku berjumpa dengan Abdullah Ilham. Dia seorang jurnalis Pajhwok Afghan News Agency—kantor berita terbesar di Afghanistan saat ini—sudah terbilang teramat beruntung. Dia bekerja di Nimruz, tetangga sebelah barat Provinsi Helmand. Dia baru saja mendapat promosi pekerjaan di provinsi Badakhshan, yang letaknya jauh di utara sana.
Hari ini, 4 Juli 2006, adalah tanggal yang akan diingatnya seumur hidup. Dia memulai harinya dengan penuh bahagia di Nimruz, sambil membayangkan akan segera sampai di Kabul sore harinya, dan berkumpul dengan keluarganya di kampung halamannya di Wardak keesokan harinya untuk merayakan kebahagiaan ini.
Tetapi hidup ternyata tidak seindah angan. Minibus yang ditumpanginya dicegat para perampok yang sudah tersohor di bagian selatan negeri ini, ketika melintasi jalanan rusak di provinsi Helmand. Uang yang dia bawa, sejumlah US$1.200 dirampok, juga beberapa ribu uang afghani, satu koper penuh dokumen dan pakaian, telepon genggam, dan bahkan sampai arlojinya. Bersih. Dia terpaksa berhenti di Kandahar, tanpa uang sepeser pun, menumpang di rumah rekan kerja jurnalis Pajhwok yang meliput kawasan Kandahar bernama Saeed Zabuli. Tidak ada apa-apa lagi yang tersisa, selain baju yang melekat di badan. Oh ya, masih ada sejumput nyawanya. Yang disebut terakhir ini, barang paling berharga dalam hidupnya, membuatnya masih bersyukur pada “keberuntungan” yang baru dia alami.
Helmand saat ini adalah pusat pergerakan Taliban, dan juga merupakan medan perang utama antara tentara gabungan internasional dalam misi war on terror mereka. Kandahar, tetangga sebelah timur Helmand, sedikit lebih aman. Hanya sedikit. Bom sangat lazim di sini, seperti kata seorang warga Kandahar padaku, “Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia!”
Orang Kandahar bahkan sudah mulai bisa menertawakan realita hidup mereka. Mereka mengisahkan lelucon percakapan seseorang yang pergi ke pasar membeli kepala kambing.
”Berapa harganya ini?” tanya si pembeli.
”Lima puluh afghani,” jawab si penjual.
”Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja,” si pembeli menawar.
”Apa? Dua puluh afghani? Kamu gila? Kamu kira ini kepala manusia?”
Di zaman perang Mujahiddin dulu, buku matematika anak sekolah diisi soal-soal aritmetika seperti ini: ”1 Kalashnikov + 2 Kalashnikov = …”, atau ”Jika aku bunuh tiga Rusia, kamu bunuh dua Rusia, berapa orang Rusia yang kita bunuh?” Nuansa perang sudah mendarah daging sejak kedatangan Rusia, dan tiga puluh tahun berselang kebencian dan kekerasan tak pernah benar-benar surut di negeri ini.
Aku pun mencatat tanggal. 2 Juli 2006 adalah hari pertama aku mengalami bom di Kandahar. Aku berjumpa dengan Lam Li, kawan Malaysiaku yang kini tinggal di Kandahar. Kami berbincang di sebuah kompleks rumah yang dikelilingi tembok tinggi nan padat. Ini adalah tempat kami berlindung di Kandahar. Tiba-tiba terdengar suara ledakan, dengan sedikit getaran seperti gempa kecil.
Aku mengira itu adalah bom.
“Jangan khawatir,” kata Lam Li menenangkan, “Itu cuma latihan.” Rumah tempat kami menginap ini berdekatan dengan basis latihan tentara, dan mereka sering mengadakan latihan ledakan dan penembakan.
Tapi itu tadi sungguhan adalah bom.
Lokasi insiden adalah tepat di depan rumah gubernur, dengan 1 korban tewas, 6 luka-luka. Angka, angka, angka. Seperti biasa, insiden seperti ini diukur dengan statistik berapa orang tewas, berapa yang luka, dan apakah ada orang asing yang jadi korban.
Teman Kandahar kami yang menyampaikan kabar ini bicara dengan raut wajah sangat datar, seperti bukan kabar penting yang bisa membangkitkan ketakutan. Bom dan pembunuhan seperti ini adalah hal yang teramat biasa di Kandahar, bisa terjadi dengan frekuensi setiap dua hari sekali. Efek dari mendengar berita seperti ini bisa dibandingkan, atau bahkan masih kurang, dengan efek kita orang Indonesia yang mendengar ada ayam tetangga yang dicuri. Ya, mungkin kita bisa terkejut setengah detik, lalu “oh… iya ya?”, dan setelah itu, hidup pun kembali normal.
Hidup selalu kembali ke normal.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Ngilu bacanya