Selimut Debu 45: Di Balik Burqa
Pernahkah kau berimajinasi ala film animasi Jepang, menjadi manusia tembus pandang? Ada selimut ajaib yang begitu kaupakai, wusss, tubuhmu jadi tak kasatmata. Kau berubah jadi makhluk yang melayang-layang bersama udara. Kau bebas pergi ke mana saja kau suka. Tak ada yang melihat, apalagi mengenalimu. Tak ada yang peduli padamu. Begitu bebas. Lepas. Selimut ajaib membungkus tubuhmu, mereduksi semua jati diri dan wujudmu menjadi nihil.
Selimut ini bukan fantasi. Di Afghanistan, kaum perempuan memakainya. Burqa namanya. Hanya ada lubang-lubang kecil di bagian mata, tempat si perempuan itu bisa mengintip dunia. Semua mengenakan model yang sama, seperti seragam, dengan warna-warna yang itu-itu saja.
Itulah impresi utama perempuan Afghan yang dikenal dunia. Burqa membungkus sekujur tubuh, mulai dari kepala, rambut, leher, wajah, dan bahkan mata. Semua bentuknya sama, dengan mode yang itu-itu saja, dengan variasi warna yang juga itu-itu saja. Pemakai burqa menjadi sosok anonim.
“Mereka justru merasa nyaman dengan menjadi tak kasatmata,” kata Lam Li.
Ini adalah kesimpulan Lam Li setelah tinggal cukup lama di Pakistan dan Afghanistan, khususnya di Peshawar dan Kandahar, dua di antara yang paling konservatif di dua negara.
Sebelumnya aku pernah berjumpa Lam Li di Peshawar, Pakistan. Dia menyatakan gagal paham mengapa para perempuan di negeri ini selalu dirundung ketakutan, menyembunyikan diri di balik kain purdah.
Tetapi setelah tinggal dua bulan di Kandahar, jantung bangsa Pashtun, dan setelah interaksi cukup lama dengan keluarga perempuan sahabat baiknya di Kandahar, Lam Li menyadari bahwa burqa bukanlah sepenuhnya sebagai penjara ataupun simbol tekanan (walaupun dia sendiri tidak akan menerima kalau dipaksa memakainya). Burqa, ternyata juga menyediakan jaminan keamanan bagi para pemakainya.
Menjadi tak kasatmata, anonim, tak dikenali, justru membuat perempuan pemakai burqa merasa aman.
Tetapi tetap saja, rasa aman yang didapat dari selembar kain itu intinya berasal dari sebuah tekanan. “Mengapa mereka merasa aman justru dengan bersembunyi?” kata Lam Li, “Tentu ada sesuatu yang menimbulkan ketakutan, sehingga mereka harus bersembunyi dan mencari perlindungan dari anonimitas.”
Bagi para lelaki, lain lagi ceritanya. Burqa adalah simbol kehormatan. Menurut tradisi Pashtun yang konservatif, tidak ada bagian dari tubuh perempuan yang boleh dilihat lelaki lain. Bahkan nama perempuan pun tidak boleh sembarangan disebut di depan para lelaki yang bukan mahram.
“Sampaikan salamku untuk istrimu, ibumu, dan anak-anak perempuanmu,” misalnya, masih jauh lebih layak diucapkan daripada mengatakan, “Sampaikan salamku untuk Anisa dan Samira.” Kalimat kedua ini bahkan bisa dinilai kurang ajar oleh kalangan tertentu. Dalam kartu undangan pernikahan, sering kali bahkan nama pengantin perempuan pun tidak disebutkan. Yang disebut justru adalah nama bapak dari si pengantin perempuan. Jadi tulisannya semisal ini: “Si Ahmad menikah dengan putri dari Bapak Mahmud.” Dari sini kita bisa melihat pandangan tradisi atau religius dari keluarga pengantin.
Burqa adalah bagian dari tradisi kehormatan mereka, yang mereka sebut sebagai nang dan namus (kebanggaan dan kehormatan). Burqa, kata mereka adalah untuk melindungi perempuan, seperti halnya melindungi bunga-bunga indah rumah mereka supaya tidak dipandangi oleh tatapan mata kotor lelaki liar.
Tetapi apakah semua orang menerima tradisi ini?
Para perempuan usia lanjut umumnya iya. Masyarakat konservatif seperti di Kandahar juga mayoritas mendukung tradisi ini. Tapi “pemberontakan” selalu ada.
Lam Li bercerita tentang pesta pernikahan yang dihadirinya. “Kamu selalu bisa melihat hak tinggi itu, baju sari ala India, parfum yang mahal-mahal, … itu hak tingginya…, oh my God!” Saking takjubnya, bahkan Lam Li yang tidak bertuhan pun menyebut nama Tuhan.
“Pemberontakan” itu adalah semakin muda usianya semakin tinggi sepatu haknya, semakin ketat celana jinsnya, semakin keras bau parfumnya, semakin rendah belahan sarinya, semakin tebal bedak dan lipstiknya.
Lam Li sendiri berjiwa pemberontak. Bosan dengan gosip-gosip membosankan yang terus beredar di zanana (zona khusus perempuan), ia nekat menuju tempat tamu laki-laki. Di sini pestanya jauh lebih menarik. Pria-pria beserban berputar-putar menari atan diiringi tabuhan rebana dan kendang. Para pria menari berputar membentuk lingkaran, kadang cepat, kadang melambat, merancak, melompat, berpusing bak gasing, bertepuk tangan, mengiringi alunan musik tradisional yang dinamis dan rancak. Pemandangan atan ini sama sekali tidak terlihat di zanana, tempat para perempuan menikmati pesta hanya dengan mengobrol dan bergosip. Lam Li sangat menikmati ”pemberontakan”-nya, melintas garis batas pemisah gender.
Tiba-tiba si tuan rumah datang, memohonnya dengan segala hormat untuk segera kembali ke zanana. Kehadirannya, seorang perempuan, sudah mengganggu konsentrasi para tamu laki-laki, begitu alasannya.
Apa? Siapa mengganggu siapa? Lam Li terbelalak. Hanya bisa patuh, dia pun kembali ke zona perempuan.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
suka sekali foto-foto di bukunya…:p
Islam is perfect, but muslims r not. dont judge Islam only by something had done by muslims. but, really, burqa is our dignity. I agree with that 🙂
Very nice. i like Pashtun Culture. 🙂
Mas Agus,
Senang sekali aKhirnya saya dapat juga buku selimut debu di Gramedia.
Dah membayangkan gak perlu lagi baca lewat internet bikin mata amat lelah. Tapi yg terjadi ternyata susunan buku tersebut loncat2. Misal setelah di Khiber Pass langsung ke tempat dugem expatriate di Kabul. Oh sangat tidak nyaman.
Saya tahu loncat karena saya dah baca di blog sampai Selimut Debu 46.
Gimana ya Gramedia kok asal aja gitu. Mo beli Garis batas juga jadi ragu.