Selimut Debu 51: Peninggalan Gerilyawan
Apakah jatuhnya Taliban sudah berarti Afghanistan siap menyongsong era damai? Kering berpuluh tahun tidak bisa dihapus dengan hujan sehari. Perang berpuluh tahun tidak bisa terhapus dengan damai yang cuma sekejap.
Kunduz adalah ibukota dari provinsi Kunduz, terletak hanya 60 kilometer dari perbatasan Tajikistan. Perjalanan dari Kabul ke Kunduz melewati gunung-gunung tinggi dan sejuk, tapi Kunduz sangatlah panas. Untuk datang ke sini, bus berjalan menembus gunung melewati Terowongan Salang, yang dibangun tahun 1960-an sebelum perang mencabik-cabik Afghanistan. Terowongan ini sangat panjang dan modern. Bisa dilihat, betapa dulu Afghanistan adalah negara yang begitu kaya dan maju.
Udara panas di Kunduz sebanding dengan Kandahar atau Jalalabad, terkenal karena gelombang panas yang sangat parah di puncak musim panas. Ketinggian Kunduz hanya 400 meter di atas permukaan laut, sebuah penurunan drastis dari Terowongan Salang yang mencapai 3.363 meter. Kunduz seperti dasar sebuah mangkuk di Asia Tengah, tidak heran juga panasnya bisa menjadi-jadi seperti ini.
Memasuki Kunduz, kita sebenarnya sudah memasuki Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan sudah sangat dekat. Tetapi bukannya orang Uzbek dan Tajik yang mendominasi kota ini, justru orang Pashtun yang berasal dari Afghanistan selatan.
Aku disambut oleh Rohullah Arman, wartawan Pajhwok yang bertugas di daerah ini. Dengan sepeda motor superbesarnya, Arman segera membawaku ke Bala Hissar (Benteng Atas), yang pernah menjadi benteng tua di kota ini, dan masih merupakan peninggalan sejarah penting di sini.
Benteng ini dulunya adalah kediaman Murad Beg, raja Uzbek yang berkuasa di Kunduz pada pertengahan abad ke-19. Sekarang, hanya lapangan kosong dan gersang yang dipenuhi bangkai-bangkai tank, mortir, dan sisa perang lainnya. Ada lobang-lobang panjang yang berbaris di sini, semuanya berisi tumpukan amunisi. Shafiqullah, polisi muda yang bertugas menjaga daerah ini mengatakan, barang-barang ini dikumpulkan dari para komandan perang yang menyerahkan senjata mereka. Semuanya ditaruh di lubang ini hanya sekitar seminggu lalu. Setiap lubang bertuliskan nama siapa komandan yang menyerahkan. Ada Komandan Daud, Komandan Amin, dan lain-lain. Aku takjub melihat ukuran bom, granat, peluru, dan benda-benda logam seram lainnya. Banyak yang produksi Rusia (atau negara yang menggunakan huruf Sirilik), banyak juga yang dari Pakistan.
Apakah mereka tidak takut meletakkan semua senjata aktif ini di lapangan terbuka seperti ini? Tidak takut dicuri? Shafiqullah bilang polisi selalu berpatroli di sini selama 24 jam, dan mereka bersenjatakan senapan AK-47. Lagi pula, sekeliling benteng ini telah ditanami ranjau.
Benteng ini pernah menjadi garis depan medan perang, mulai dari perang melawan Rusia, perang saudara Mujahiddin, dan perang melawan Taliban pada November 2001. Kunduz berperang habis-habisan melawan Taliban. Bala Hissar adalah saksi bisu dari semua pertempuran itu. Bangkai tank milik Taliban berceceran di sini. Ranjau yang masih belum meledak dikubur di bawah tanah. Para pembersih ranjau sudah menyelesaikan tugas, tapi tetap ada risiko aku menginjak ranjau yang belum meledak.
Usia Arman 35 tahun, pernah menjadi pengungsi di banyak negara. Mulai dari Pakistan tahun 1966, juga beberapa tahun di Ukraina dan Denmark. Dia pernah lancar berbahasa Rusia dan Denmark, tapi sekarang hampir tidak bisa sama sekali. Karena tinggal di Eropa, pandangannya tentang Islam sangat berbeda dengan Amin si orang Pashtun di Kabul yang kuceritakan kemarin. Arman mengizinkan istrinya keluar rumah sendiri, dan istrinya juga tidak memakai burqa. Tapi istrinya tidak bekerja, itu soal pilihan. Arman dan istrinya berada di Denmark saat puncak-puncaknya Taliban berkuasa di Afghanistan.
Saat mengajukan suaka, Arman tidak berjenggot, dan dengan mudah dia melewati wawancara lalu mendapatkan izin tinggal dua tahun. Tapi temannya yang berangkat bersama tidak seberuntung itu. Temannya itu juga terus bicara bahwa dia tidak suka Taliban, Taliban begini, Taliban begitu. Tapi polisi Denmark tidak yakin dengan jawabannya, karena teman Arman itu berjenggot lebat sampai ke dada, juga memakai serban. Polisi Denmark menunjukkan foto seorang pejuang Taliban. “Lihat! Kamu persis seperti mereka. Lalu kenapa kamu di sini? Kamu pulang saja ke Afghanistan!”
Seperti Taliban yang menilai orang dari penampilan, negara-negara Barat pun sama. Jenggot dan serban yang di negeri ini dinilai sebagai simbol ketakwaan, di negeri lain justru dipandang sebagai ancaman terorisme.
Taliban mengklaim dirinya sebagai yang paling Islami di antara umat Muslim. Mereka bahkan mengatakan, orang Arab tidak seislam Taliban. Arman berkata, “Negara kita malah jadi negara sejarah, bukannya negara yang menuju modernisasi.” Taliban melarang furnitur di kantor, karena itu tidak Islami. Nabi dulu duduk di lantai, bukan di kursi, dan itu mereka sebut harus dicontoh umat Muslim. Nabi juga tidak pakai komputer, apakah komputer pun haram? Dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, tentu saja kekuasaan Taliban sangat membatasi kebebasannya menulis.
Sekarang era jurnalisme kembali lagi ke Afghanistan. Para jurnalis muda seperti Arman sangat antusias untuk belajar hal baru dari dunia yang baru. Arman ikut kelas jurnalisme investigasi. Para pelatihnya berasal dari Nepal dan Afghanistan. Ada 20 jurnalis yang ikut kelas itu, tetapi tidak semuanya benar-benar tertarik. Para jurnalis perempuan sering membolos. Arman memaklumi, karena kelas ini terlalu sulit diterapkan di Afghanistan. Jurnalisme investigasi menuntut si jurnalis membaca banyak bahan, berpikir kreatif dan kritis, juga harus berani. Berani menghadapi bahaya bukan hal baru di Afghanistan, tapi harus banyak membaca itu tantangan berat.
Para pelatih memberikan tugas bagi peserta untuk menginvestigasi mengapa para penjahat perang dan komandan perang masih belum juga menyerahkan senjata mereka, padahal pemerintah Afghanistan sudah memberikan ultimatum untuk menyerahkan semua senjata dan amunisi ilegal untuk memulai era damai di negeri ini.
Ini bukan tugas yang mudah. Untuk mewawancara penjahat perang yang ganas, seseorang perlu keberanian luar biasa, penyamaran yang hebat, jaringan yang kuat, dan juga keberuntungan yang tidak sedikit. Ancamannya bisa saja kematian. Dan buat jurnalis yang punya keluarga seperti Arman, ancaman kematian hanya demi sebuah tugas kelas pelatihan sungguh tidaklah sebanding.
Dari 20 peserta pelatihan, tidak ada seorang pun yang menyerahkan tugas ini.
“Mengapa para penjahat perang itu tidak juga menyerahkan senjata mereka?” Ini masih merupakan pertanyaan gamblang tanpa jawaban yang jelas.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
bagus banget