Selimut Debu 64: Jembatan Menuju Impian
Jembatan kayu itu hanya tiga meter lebarnya, tak lebih dari dua puluh meter panjangnya. Sungai yang ada di bawahnya tak lebar, namun alirannya deras. Inilah jembatan tua yang akan mewujudkan impian orang-orang di lembah Wakhan ini.
Jembatan-jembatan kayu dan reyot di pedalaman Koridor Wakhan sudah tua umurnya, seperti halnya jalan berdebu dari Ishkashim hingga ke sini. Semua pernah jadi saksi bisu kedatangan barisan tank Soviet yang menginvasi Afghanistan. Wakhan adalah salah satu pintu masuk para penjajah. Puluhan jembatan kayu dibangun untuk memuluskan jalan serdadu.
Invasi itu mengubah jalan hidup Afghanistan, memundurkan peradabannya, membungkus kembali perempuan-perempuannya, mengawali pertumpahan darah berpuluh tahun, dan hidup manusia yang hanya digerayangi ketakutan dan kebodohan, hingga sekarang.
Di seberang jembatan tampak tentara berjaga-jaga di belakang barikade gulungan kawat besi. Di sebelah kiri ada gambar bendera Tajikistan, di sebelah kanan ada gambar lambang negaranya. Persis seperti pintu masuk gang kecil di Indonesia. Ini adalah pintu masuk negeri impian, yang butuh perjuangan sangat panjang untuk menembusnya.
Belasan tentara perbatasan anak buah Sakhi sibuk mempersiapkan prosedur—seperti layaknya operasi militer. Ada yang mengontak kantor pusat di Khandud dengan radio, ada yang mempersiapkan dokumen, tetapi kebanyakan hanya berkerumun, kemudian berpatroli sambil menenteng Kalashnikov.
Di seberang sungai sana, selain kawat besi dan dua orang tentara yang berjaga, tak tampak tanda-tanda kehidupan lainnya. Hanya barisan bukit-bukit gundul dialasi padang hijau. Kami menunggu cukup lama. Aku teringat perjuangan orang-orang penting Afghan yang datang ke sini, mulai dari Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad yang menumpang traktor, prajurit yang harus berjalan kaki pagi-pagi buta dari Qala Panja, hingga mobil Shah yang mesinnya kemasukan air sungai yang menutup jalan. Adakah mereka yang di seberang sungai juga mengalami nasib sama?
Dua jam berlalu begitu saja. Prajurit juga sudah mulai bosan. Shah berjongkok di bawah bayang-bayang, menunggu.
Apa saja acaranya hari ini?
“Tidak tahu,” jawab Shah.
Apakah kita akan ke Tajikistan hari ini?
“Tidak tahu,” jawab Sakhi.
Apakah bazaar hari ini jadi dilaksanakan?
“Tidak tahu. Tak ada kabar apa-apa dari Tajikistan,” kata Wali Muhammad.
Apakah orang-orang Tajikistan akan datang ke sini? Atau kita nanti yang ke sana? “Tidak tahu,” kata Khan Jon.
Semua orang penting ini bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Kemarin mereka begitu yakin tentang mimpi-mimpi mereka. Ada bazaar. Ada sekolah. Ada rumah sakit. Ada listrik. Ada jalan raya. Tapi seberang sungai sana tampak sepi dan dingin, tak ada siapa-siapa. Hanya ada gulungan kawat besi yang tak bersahabat. Hanya terlihat bukit-bukit gundul dan lembah hijau, kalau cuma itu, Afghanistan juga tidak kekurangan. Adakah harapan yang luar biasa itu mulai memudar?
Tidak tahu, tidak tahu, tidak tahu. Hanya itu jawabnya.
Setelah tiga jam menunggu, di seberang sungai sana mulai ada tanda-tanda kehidupan. Dua mobil datang beriringan. Penghalang kawat besi disingkap, dua tentara berseragam Tajikistan melangkah ke tengah jembatan kayu. Sakhi dan seorang komandan lain juga melangkah ke tengah jembatan. Aku akhirnya melihat orang-orang negeri seberang sungai begitu dekat. Komandan Tajikistan tampak sama, berpakaian loreng-loreng dengan warna hijau yang lebih pudar dari yang dikenakan tentara Afghan. Yang satu memakai topi, wajah dan postur tubuhnya mirip benar dengan Ghulam Sakhi, bak kembaran saja. Yang satunya lagi agak botak, dengan badan lebih gemuk, tampaknya pangkatnya lebih tinggi.
Gaya berjalan, mimik muka, sikap berdiri mereka, sudah benar-benar mirip orang Rusia. Walaupun katanya di seberang sana orang berucap bahasa yang sama, tetapi tampaknya mereka adalah makhluk yang jauh berbeda.
Sakhi dan kembarannya dari Tajikistan tak berkata-kata. Hanya berdiri saja di tengah jembatan. Komandan Tajikistan menunjukkan sebuah kitab, menjelaskan isinya kepada komandan Afghan yang hanya manggut-manggut. Mereka lalu datang ke arah kami. Orang-orang Tajikistan itu bersalaman, disambung berpelukan dengan Shah, Wali Mohammad, Khan Jon, dan orang-orang penting lainnya di sini. Shah mengucapkan selamat atas keberhasilan ini. Komandan Tajik menyampaikan undangan resmi pemerintah Tajikistan kepada para petinggi Afghan.
Khan Jon, Wali Muhammad, dan kepala desa Goz Khan, seakan bersahut-sahutan mencurahkan semua mimpi mereka. Tentang sekolah. Tentang rumah sakit. Tentang pasar. Tentang modernitas Tajikistan yang sebentar lagi akan segera terengkuh. Komandan Tajikistan itu hanya mencatat.
Sekarang, penjelasan resmi. Besok warga Afghanistan, setelah melewati prosedur lintas batas, boleh menyeberang untuk menghadiri bazaar mushtarak—pasar bersama—di seberang sungai sana, tepat di sebelah jembatan. Tapi cuma sampai di situ, tidak boleh jalan lebih jauh lagi. Yang ingin melanjutkan ke pedalaman Tajikistan harus mendapat persetujuan Dushanbe. Orang Tajikistan juga tidak boleh menyeberang sungai ke arah Afghanistan. Bazaar ini rencananya akan diadakan tiap bulan. Besok, 1 Agustus 2006, adalah pelaksanaan perdana.
Kedua komandan Tajikistan itu kembali menyeberangi sungai meninggalkan Afghanistan.
Wali Muhammad langsung mengumpat. ”Tajikistan ini memang negara dengan qanon-e-sag, hukum gaya anjing!” Hukum gaya anjing yang dimaksudnya, di mataku, justru adalah hukum dari negara yang sistemnya jauh lebih mapan.
Shah berkomentar lebih bijak, ”Ada manfaatnya atau tidak, saya belum tahu. Sekarang terlalu pagi untuk mengatakan baik-buruknya. Besok baru akan kita lihat sama-sama.”
Besok, orang-orang Afghan ini akan melihat Tajikistan serta mimpi-mimpi indah yang ditawarkannya.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
love the pic! when i read the book i always wondered what it looks like. Thanks for sharing, mate.