Selimut Debu 78: Laila dan Majnun
Alunan musik lagu Uzbek mengalun dari tape di dalam mobil Tuneis yang kutumpangi, melintasi padang gurun yang menjadi latar belakang kisah Laila dan Majnun.
Penumpang bertepuk tangan, mengiringi musik yang rancak. Sopir pun menyetir sambil berjoget, sambil berteriak. Sementara itu, jalan beraspal mulus sudah berganti dengan padang pasir yang membentang. Udara panas menyengat. Debu beterbangan.
Serba salah. Jendela ditutup, kami semua bisa mati kepanasan. Angkutan umum di Afghanistan tidak ber-AC, sementara matahari gurun gersang jauh lebih terik daripada panasnya kota Mazar. Kalau jendela dibuka, angin sepoi-sepoi memang masuk, tetapi membawa pula siraman debu yang melapisi wajah. Untunglah, tepuk tangan para penumpang dan tarian sopir seakan menghapuskan kesusahan hidup di sini. Betapa pun beratnya, mereka selalu tahu cara untuk menikmatinya.
Ternyata tidak semua mampu membangkitkan suka ria di tengah beratnya perjalanan. Duduk di belakangku adalah seorang perempuan yang terbungkus burqa. Ia memang tak perlu khawatir debu mengotori wajahnya. Tetapi pengap dan sesaknya kungkungan burqa membuatnya terus meratap, ”Tolong buka jendelanya. Tolong buka….”
Begitu jendela kaca bergeser, angin sejuk menerpa wajah. ”Fiuhhh…. Fiuhhh….” suara perempuan dari balik burqa mengembus lega. Giliranku sekarang yang harus membungkus wajah dengan kain serban untuk menyelamatkan diri dari bulir pasir yang menerobos hingga ke rongga hidung.
“Pasir adalah makanan kami di sini,” kata penumpang yang duduk di sampingku, ”Pagi, siang, malam, kami hanya makan debu.” Ucapan ini sudah kudengar sejak sebelum menginjakkan kaki di Afghanistan.
Dasht-e-Laili, Padang Laili, demikian gurun ini dikenal. Laili, berasal dari Laila Majnun, sebuah kisah cinta ala Romeo dan Juliet dalam hikayat Arab dan negeri-negeri Muslim. Konon, justru kisah Laila dan Majnun yang mengilhami Shakespeare menulis kisah cinta Romeo dan Juliet.
Alkisah, pemuda Majnun—yang namanya berarti ”orang gila”—jatuh hati pada Laila. Laila berarti malam, yang kegelapannya terlukis pada rambut Laila yang hitam legam dan bola matanya yang berbinar. Siapa yang tak luruh hatinya melihat kecantikannya yang laksana malam indah berhias purnama? Majnun pun tergila-gila padanya. Namun sayang, ayah Laila tak mengizinkan putrinya berhubungan dengan Majnun. Putus asa, Majnun kemudian mengembara ke gurun panas ini, dan sengatan matahari membuatnya semakin lama menjadi semakin gila. Laila dipaksa menikah dengan lelaki lain, kemudian mati karena memendam cinta. Bertahun-tahun kemudian Majnun, yang akhirnya berhasil menemukan makam Laila, juga mati di pusara kekasih hatinya ini.
Konon Laila mengejar Majnun hingga ke jantung gurun. Ia berkawan dengan anjing peliharaannya yang mampu mengendus aroma tubuh Majnun. Majnun, Laila, dan si anjing berkumpul kembali di tengah padang. Akhir kisah yang indah, bukan? Namun kenyataannya mereka tak berbahagia, karena Majnun benar-benar jadi gila seperti namanya, sangat mungkin karena sengatan matahari gurun yang tanpa ampun ini. Bukannya bercinta dengan Laila, Majnun malah jatuh hati pada si anjing. Laila tak punya pilihan selain terpaksa pulang membawa kekecewaan hati ke istananya, lalu menikah dengan pria pilihan ayahandanya.
Panas yang membuat Majnun menjadi gila itu pun masih bisa dirasakan sampai hari ini. Fiuh… fiuh…. Perempuan di belakang sudah tak tahan lagi oleh panasnya udara di dalam mobil. Aku terpaksa menutup kembali jendela, karena perut kosong aku sudah kenyang oleh pasir. Perempuan itu pun terpaksa menyibakkan burqa-nya, membiarkan wajah putihnya bersinggungan dengan udara. Ia menghirup udara dalam-dalam. Lega.
Setidaknya kami masih beruntung bisa duduk nyaman di dalam mobil ini. Kami tidak perlu benar-benar mandi debu seperti penduduk desa yang bepergian. Lihatlah para pengendara sepeda motor yang kepalanya dibungkus serban rapat-rapat sampai ke batang leher, dan menerawang dari balik kacamata hitam yang trendi. Jubah lusuh berkibar diterpa angin gurun. Tak terbayang bagaimana kalau kendaraan ini mogok atau kehabisan bensin di tengah padang luas. Tentu masih lebih aman kalau kembali ke alat angkut tradisional—keledai, yang masih mendominasi Dasht-e-Laili.
Mayoritas penduduk lainnya bepergian dengan menumpang truk, duduk di atap kendaraan kuno yang tampaknya sudah ada sejak zaman baheula, didesakkan di bak truk bersama dengan tumpukan kulit domba qaraqul yang akan dijual di pasar.
Tanah segersang ini ternyata masih mampu menghidupi domba-domba berbulu tebal. Di tengah gurun sering kali tampak kemah-kemah hitam bangsa penggembala, bersama kawanan ternak yang jumlahnya ratusan, digiring melintasi kekosongan padang.
“Itu karena kami punya iman,” kata penumpang di sebelahku, ”kami selalu percaya bahwa Allah melindungi semua makhluk ciptaannya. Lihat, bahkan ia pun memberi makan hewan-hewan di gurun ini.”
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Subhanallah…………. Very very Nice and Love It… hahaa… Afghanistan has an Amazing 🙂