Selimut Debu 88: Belajar Membaca
”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal.
Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?”
“Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.”
Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan.
”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir.
Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang.
Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan datangnya rombongan truk ini lengkap dengan para penumpangnya, berarti semakin banyak pelanggan yang memesan nasi putih dan kari dagingnya. Hingga larut malam, generator di warung Iqbal terus menyala, memutar televisi yang menayangkan sinetron India favorit — mertua dan anak menantu.
Tikar digelar berjajar. Satu demi satu pengunjung warung bersiap tidur. Karena tak banyak tempat yang tersedia, kami tidur berdesakan.
Ketika aku bangun, yang kudapatkan adalah kejutan.
“Bukankah mereka berjanji untuk membangunkanku kalau berangkat? Bukankah mereka akan berangkat jam delapan?” Aku mendapati warung Kakek Iqbal sudah lengang, padahal hari masih pagi. Sopir berikut kenek dan puluhan penumpang sudah berangkat begitu saja, tanpa mengangkutku.
“Ah, kamu juga… mengapa tidak bangun? Apakah kamu tidak mendengar mereka bersalat dan ribut sekali subuh tadi? Mereka sudah berangkat sejak pukul empat!” Kakek Iqbal menyalahkanku.
Aku sebenarnya sempat tersadar subuh tadi. Tapi aku kembali lagi menarik selimut dan memejamkan mata. Lagi pula aku tak mengira kalau mereka akan berangkat sepagi itu. Apa daya, aku ketinggalan truk.
”Sudahlah,” kata Kakek Iqbal, ”Nanti pasti ada kendaraan lain. sebenarnya sopir juga tidak berniat membawa kamu. Kamu mesti belajar membaca gelagat.”
Yang dimaksud dengan gelagat adalah kultur sopan santun ala Persia, ta’arof. Kultur ini sangat kental di Iran. Adat ini juga ada di Herat, yang juga kental pengaruh budaya Persianya. Ta’arof mengatur bagaimana cara bertingkah laku untuk tak menyakiti hati orang yang diajak bicara sekaligus menunjukkan bahwa pembicara punya kesopanan yang tinggi. Mereka tidak mengatakan ”tidak” secara frontal. Misalnya sopir truk yang menunjukkan keengganannya mengangkut dengan cara meminta bayaran yang tak masuk akal dan membuat janji palsu untuk berangkat siang hari sehingga aku ketinggalan kendaraan.
Di Iran aku sempat frustrasi karena tidak biasa dengan ta’arof. ”Tak perlu membayar. Saya sangat senang berkorban untuk Anda. Jadilah tamuku hari ini. Anda adalah tamu yang paling mulia,” kata sopir taksi kepada kawanku yang orang Guinea di kota Mashhad. Kawanku itu begitu terpesona oleh ”keramahtamahan” orang Iran ini, mengucap terima kasih, dan langsung turun dari taksi tanpa membayar. Baru ia melangkah dua langkah, sopir taksi menampilkan wajah aslinya, meneriakinya kencang sekali, ”HEI! Ke mana kau mau pergi? Masa menumpang taksi tak bayar? Bayar dulu!”
”Tak usah membayar. Kau adalah tamuku!” kata sopir taksi.
”Tolong, Tuan. Terimalah uang ini!” begitulah aku harus menjawab.
”Tak perlu. Sungguh senang berkorban untukmu.”
”Tuan. Tolonglah. Terimalah uang yang tak seberapa ini. Kalau tidak hatiku akan merana.”
”Benar. Jadilah tamuku. Senang untuk menjadi pelayanmu.”
”Tuan….”
”Ah… baiklah. Aku terpaksa menerima uangmu.” Sopir taksi tampak begitu enggan menarik bayaran setelah menolak sedikitnya tiga kali. Dan tahu-tahu ia memungut ongkos dua kali lipat lebih mahal daripada seharusnya. Dan dalam posisi ini, ketika masing-masing pihak bersaing menunjukkan kesopanan yang paling tinggi, sudah tidak mungkin lagi untuk menawar harganya.
Seperti itulah ritual sehari-hari di Iran dengan kultur ta’arof mereka yang penuh dengan kata-kata manis, namun maknanya tak harus dipercaya seratus persen. ”Membaca gelagat”, seperti anjuran Iqbal, adalah untuk belajar membedakan mana yang tulus mana yang hanya pemanis bibir.
Sopir lain datang ke warung Kakek Iqbal waktu sarapan. ”Delapan ratus Afghani,” katanya. Enam belas dolar hanya untuk ke Kamenj, yang cuma seratus kilometer jauhnya dari Chisht?
Aha, aku tahu artinya.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Sebenernya sm ma org jawa ya…kadang2 penuh basa basi tau2 basi beneran deh…