Selimut Debu 89: Kebakaran
Kalandar adalah jenis orang yang kucari-cari sejak tiga hari terakhir—sopir truk.
Dia sedang sibuk memperbaiki truknya yang rusak. Truk miliknya itu adalah jagoan, Kamaz, truk berbodi hijau buatan Rusia yang terkenal ketangguhannya di medan berat, sangat cocok untuk jalanan Afghanistan yang bergerunjal di lintasan pegunungan. Entah sudah berapa puluh tahun umur kendaraan ini.
“Jangan khawatir,” katanya, ”kamu boleh menumpang.” Ia hanya meminta ongkos seratus Afghani untuk membawaku sampai ke Kamenj. Bukan basa-basi, semoga.
Sejam berikutnya, aku sudah duduk di badan truk di samping sopir dan rekan-rekannya. Ini adalah tempat kehormatan karena para penumpang lain harus duduk di bak terbuka bersama tumpukan barang yang berkarung-karung.
Kalandar orang Tajik. Ia membawa tiga awak. Yang satu mekanik, dalam bahasa Dari disebut masteri, tetapi semua orang di sini memanggilnya dengan lafal Misteri. Namanya sudah tenggelam oleh profesinya. Masteri kami adalah orang Tajik, bertubuh tambun dan berjenggot kriwil-kriwil. Kalau mobil rusak di jalan, ia bertanggung jawab memperbaiki karena dia yang paling mengerti soal mesin. Dua awak lainnya adalah kenek, asisten sopir. Kenek bertugas mengangkut atau menurunkan barang, membantu sopir dan mekanik kalau ada kerusakan, memasak makanan, menunjukkan jalan waktu menyeberang sungai atau mendaki tebing terjal, dan segala pekerjaan tetek-bengek lainnya. Umumnya mereka masih muda dan gajinya paling minim. Kenek di mobil ini yang satu Qurban, 18 tahun, orang Hazara, satunya lagi bernama Rafiq, orang Pashtun yang seumuran.
Kamaz memang tangguh. Tapi laksana seekor gajah tua, raksasa jalanan ini tidak bisa melangkah cepat. Untuk jarak 40 kilometer dari Chisht hingga dusun Der-e-Takht memakan waktu lebih dari dua setengah jam. Kecepatan rata-rata truk hanya sekitar 15 kilometer per jam. Itu pun sudah hampir membunuh mesin yang keluar asapnya nyaris terbakar.
Di tengah sungai kecil, Kalandar menghentikan mobilnya. Ia mendinginkan mesin dengan menyiramkan air sungai. Saking panasnya, suaranya seperti minyak mendidih yang disiram air. Asap mengepul. ”Mesin perlu istirahat,” katanya, ”Kita pun perlu istirahat.” Inilah saat yang ditunggu-tunggu, mengisi perut yang keroncongan di kedai teh yang diselimuti semerbak aroma kebab.
Setelah melintasi jembatan Der-e-Takht, kami meninggalkan Herat yang makmur, memasuki salah satu provinsi termiskin dan paling terpencil di Afghanistan. Selamat datang di Ghor.
Sekarang giliran Masteri yang menyopir. Qurban tidur di kasur belakang. Kalandar, Rafiq, dan aku berdesakan di bangku penumpang. Rafiq kali ini teramat sibuk. Ia membawa botol kecil berisi minyak. Di atasnya dinyalakan api kecil. Dengan batang panjang, ia membakar opium di ujungnya. Ah… baunya sungguh memuakkan.
Aku terlelap.
Tiba-tiba aku terbangun oleh teriakan histeris dari mulut si Qurban.
“Api! API!!!”
Rafiq menarik syal yang melingkar di leherku hingga aku nyaris tercekik. Aku membuka mata, langsung terbelalak melihat Rafiq yang dengan kasar menarik syal kotak-kotak kesayanganku dan membuangnya ke luar jendela truk.
Di bawah sana, belukar yang semula kuning hijau langsung menjadi hitam. Syalku itu tamat riwayat. Terdengar bunyi gemeretak rumput terbakar api.
“Kamu gila!” bentak Qurban, ”Mengapa kamu lempar korek sembarangan di dalam mobil? Kamu mau bunuh kita semua? Hah? Apa jadinya kalau aku terlambat?”
Qurban yang semula tidur di kasur belakang, antara sadar dan tidak, melihat tubuhku berasap. Ia mengucek-ucek matanya. Bukan, ini bukan mimpi. Bajuku sudah mulai terbakar. Ia menjerit histeris. Teriakan itulah yang kemudian membuat Rafiq menarik syal dari leherku dan refleks melemparkannya ke luar. Syal itu bahkan sudah hancur dimakan api sebelum mencapai tanah.
Coba kalau respons Qurban dan Rafiq terlambat setengah detik saja, bukan rumput yang hangus, melainkan aku. Aku sekarang tahu, orang kecanduan opium bisa jadi sangat bahaya. Rafiq hanya terkekeh tanpa dosa, melanjutkan ritual bakar-membakar dan isap-mengisapnya. Aku sudah tak berani lagi tidur apabila duduk di sampingnya.
Hari ini, truk sudah lima kali rusak.
Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, asap yang dihasilkan mesin di bagian depan mobil sudah hitam pekat tak tertembus. Aneh, bukankah mesin yang tepat berada di bawah tempat duduk kami ini seharusnya tak berasap? Tak heran sedari tadi rasanya seperti duduk di atas kompor.
Knalpot juga menyemburkan asap pekat. Frekuensinya tinggi. Gas beracun ini pahit kalau terhirup. Sekarang Kamaz seperti pasien kritis, tak bergerak sama sekali di tengah jalan sempit tikungan bukit.
Kami melompat dari badan truk. Kalandar dan Masteri sama sekali tidak panik. Mereka berdua turun, melenggang santai, lalu membalik badan depan mobil untuk memeriksa mesin yang tepat berada di bawah tempat duduk. Peralatan reparasi hanya seadanya.
”Aki rusak,” kata Kalandar datar. Parah, mesin sama sekali tak bisa berputar. Bakal butuh waktu berjam-jam untuk memperbaikinya. Dan kami terdampar di tengah pegunungan gersang.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
menguatkan imagi cak, tulisan dan foto2nya garakno mupeng