Selimut Debu 93: Jangan Baca Buku
”Jalan Lintas Tengah” bagaikan parade bukit-bukit debu yang membentang antara Herat sampai ke Kabul, melintasi daerah kekuasaan dinasti kuno Ghorid yang tenggelam oleh ratusan pegunungan. Hanya mereka yang tangguh mampu bertahan di sini.
Garmao terletak di tengah jalan utama antara menuju Cheghcheran, ibu kota provinsi Ghor. Tetapi jangan bayangkan ”jalan utama” ini adalah jalan raya yang ramai dilewati segala macam angkutan. Sama sekali tidak. Ini adalah jalan sempit berdebu. Lumpur di sana-sini. Yang banyak melintas adalah keledai, kawanan domba, dan gembala padang.
Tengah hari, aku mulai bosan menghitung keledai lewat. Baru ketika aku berbalik ke arah warung, dari kejauhan terlihat debu mengepul.
“Truk datang! Truk datang!” bocah-bocah berlarian, berteriak kegirangan, seolah disiram debu yang beterbangan tergilas roda truk adalah hiburan di tengah kebosanan dusun sepi ini. Aku pun sama riangnya dengan mereka. Aku memanggil pemilik warung untuk berbincang dengan sopir truk.
Ini adalah barisan dua truk. Sopir dan keneknya meloncat turun untuk makan siang di warung seberang jalan. Kakek pemilik warung bermata satu juga bergegas menghampiri mereka, membujuk sopir untuk mengangkutku sampai Cheghcheran.
“Empat ratus Afghani!” kata sopir tegas. Delapan dolar. Sama sekali tak murah. Dia beralasan risiko mengangkutku yang orang asing ini begitu besar, ada Taliban yang mengincar orang asing bodoh yang berkeliaran di pedalaman provinsi ini. Pemilik warung dengan nyaring langsung membentak sopir, memaksa mereka untuk tetap mengangkutku apa pun alasannya. Suaranya dalam dan tegas, penuh karisma kekuasaan. Saking berkuasanya, bahkan sopir berjenggot lebat ini pun sampai takut dibuatnya. Keputusannya, aku boleh berangkat ke Cheghcheran hanya dengan seratus Afghani asal mau duduk di bak belakang. Di bak terbuka sudah ada empat atau lima penumpang pria berjubah dan beserban. Mereka tampak lusuh. Debu yang beterbangan setiap kali roda truk menggilas jalan meraupi wajah dan tubuh mereka. Wajah mereka pun sama kumalnya. Tetapi ada senyum yang terpancar, seakan tak percaya ada orang asing yang akan menjadi teman seperjalanan.
“Huh! Dasar tak berguna! Khareji! Orang asing! Kamu duduk di dalam saja!” teriak Jaffar, sopir Tajik bermata biru indah, melihat aku terjatuh ketika memanjat roda truk yang nyaris sama tingginya dengan badanku.
Dengan kecepatan rata-rata kurang dari tujuh kilometer per jam, pemandangan di luar sana berganti perlahan. Dari bukit tandus ke bukit tandus berikutnya, dari desa gersang ke desa gersang berikutnya.
Desa Ghouk, namanya berarti “kodok”, tapi aku tak melihat kodok berkeliaran. Letaknya cuma beberapa kilometer dari Garmao, tetapi karena kedua mobil Kamaz yang aku tumpangi ini jalannya seperti bayi yang merangkak dan terengah-engah, kami baru sampai sekitar dua jam kemudian. Seperti Garmao, desa ini juga miskin dan berdebu. Kedua truk berhenti di desa ini, untuk bernapas sejenak sebelum mendaki gunung tinggi yang menghadang setelah desa.
Aku duduk di emperan barisan kios, memandangi anak-anak desa yang bermain kejar-kejaran dengan menggelindingkan roda sepeda di lapangan. Bocah-bocah sepuluh tahunan bergulingan di atas rumput, tak peduli lagi ketika jubah panjang mereka sudah hitam legam oleh debu dan robek-robek. Yang ada hanya tawa lepas. Keledai yang diikat di tengah lapangan hanya memandang pasrah, sesekali meringkik nyaring menghasilkan suara hiik… hiiiik… hiiiiik… memekakkan telinga. Melihat orang asing datang ke desa mereka, bocah-bocah ini langsung mengerubuti sambil berjingkrak-jingkrak girang.
Hidup begitu simpel bagi mereka yang tak perlu banyak belajar di sekolah. Hayat melintas begitu saja dengan kegiatan yang selalu sama: mengumpulkan air, menggembalakan ternak, bermain seharian. Rutinitas yang sama pun terus berulang hingga mereka dewasa—minus bermain seharian, dan digantikan dengan mencari nafkah dari gunung-gunung debu dan padang belukar. Tak terasa, usia senja pun merambah.
Seorang kakek bungkuk berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya. Serban putihnya yang kini berwarna kecokelatan karena debu tergerai panjang hingga ke pinggang. Kerut-kerut di wajahnya menunjukkan sudah banyak musim yang dilaluinya. Seperti aku yang terkesima mengamatinya, ia pun terkesima mengamatiku, dari ujung kepala sampai ke ujung sepatu bot yang sudah jebol. Yang paling menarik perhatiannya adalah kaca mata yang bertengger di batang hidung pesekku.
“Kenapa kamu pakai barang aneh itu?”
“Tanpa ini, aku tidak bisa melihat apa-apa,” aku menjawab.
“Mengapa begitu?”
“Karena mataku sudah rusak.”
“Kenapa matamu rusak?”
“Karena aku banyak baca buku.”
“Hah. Kalau begitu jangan baca buku, bahaya buat kesehatanmu,” kata kakek tua memberikan solusi ampuh.
Kakek itu melanjutkan investigasinya. ”Berapa harga perempuan di negaramu? Butuh berapa duit untuk dapat perempuan?” tanyanya serius.
Setengah jam di Ghouk, para sopir memutuskan untuk berangkat. Mesin truk tua ini sudah cukup dingin untuk mendaki tantangan yang menghadang—gunung tinggi Ghouk dan Gazzak.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
anak-anak=keriangan
anak2=keriangan
hahahaaa… nasihat yg sungguh sederhana.
“Kalau begitu jangan baca buku, bahaya buat kesehatanmu”
Yg gue heranin, kenapa mereka tanya berapa harga cewek Indon. Padahal Islamnya kuat
Maksudnya bertanya seberapa byk biaya yg dibutuhkan utk menikahi perempuan di indonesia. Kenapa begitu ? Krn di afgan utk menikahi perempuan mahar nya mahal