Selimut Debu 94: Parade Gunung-Gunung
Seperti keledai tua dengan bawaan berat di punggungnya yang terengah-engah, truk Kamaz perlahan mendaki pinggang gunung.
Truk merayap perlahan menyusuri tebing curam. Jalan berbelok ke kanan, naik sedikit, balik ke kiri, naik sedikit lagi, berbelok ke kanan lagi. Setiap belokan truk harus berhenti. Perjuangannya sungguh tak mudah. Matahari membakar, debu halus membungkus rapat-rapat. Bahkan di dalam badan mobil pun aku merasakan mesin truk sudah begitu panas, seperti hampir meledak.
Keringat menetes di pelipis Jaffar. Gas sudah ditekan keras-keras, Kamaz tak mau juga merangkak naik. Kendaraan ini mengeluarkan bunyi keras menjengkelkan. Semburan asap hitam bercampur dengan debu halus beterbangan. Sekarang jalan pun tak terlihat, tertutup rapat oleh selimut debu dan gas beracun. Kenek berlari ke arah kepulan debu. Dengan gerakan tangannya, ia menunjukkan ke mana truk harus membelok. Jalanan ini sangat curam sehingga Kamaz harus berhati-hati mendaki. Sedikit halangan saja, kendaraan raksasa ini bisa meluncur kembali ke bawah.
Di dalam badan truk, kami gerah. Mesin truk ini sudah luar biasa panas sehingga udara pegunungan yang sejuk pun terasa begitu membakar. Setiap tikungan truk harus berhenti beberapa menit, mendinginkan mesin, persiapan untuk tanjakan berikutnya. Setapak, setapak, setapak… pendakian ke puncak Gazzak seperti tak kunjung berakhir.
Jaffar berjingkrak kegirangan, dua jam kemudian. Emosinya bagaikan pendaki kelas dunia yang menaklukkan Puncak Everest. Ya, dua jam pendakian! Itu sudah menguras hampir semua energinya. Demikian pula dengan mesin truk yang sudah nyaris ambrol kepanasan.
Kami berhenti di puncak untuk mendinginkan kembali mesin kendaraan. Walaupun namanya tak begitu enak didengar, Gazzak sebenarnya tempat yang indah. Langit biru membentang luas. Angin bertiup kencang namun menyejukkan. Di segala penjuru terlihat lekukan demi lekukan perbukitan, sambung-menyambung. Di kejauhan tampak asap mengepul. Ada truk Kamaz lain yang terengah-engah merayap, mencoba menaklukkan tingginya Puncak Gazzak.
Rintangan seperti ini harus dilalui sopir truk rutin setidaknya sekali seminggu. Mengendalikan Kamaz bukan pekerjaan mudah. Uang yang didapat pun tak seberapa.
Langit mulai gelap. Kami masih berada di tengah padang gunung kosong. Desa berikutnya masih dua jam perjalanan lagi. Semakin gelap langit, semakin cemas Jaffar menyetir. Di sini malam adalah kegelapan total, tak ada penerangan apa pun. Menyetir di pinggang-pinggang bukit, menyusuri tepian jurang, sungguh berbahaya. Aku pun hanya bisa pasrah setiap kali Jaffar berusaha mengebut, walaupun itu hanya berarti menaikkan kecepatan menjadi 15 kilometer per jam.
Tak ada bulan bersinar. Pukul sepuluh malam desa Burkhul terbungkus oleh gelap yang pekat. Angin dingin bertiup kencang, membawa bulir-bulir debu ke segala arah. Hanya ada dua remang-remang cahaya yang berasal dari kedai teh. Di sini tak ada listrik sama sekali, bahkan bisingnya generator pun tak terdengar. Remang-remang berasal dari lampu minyak.
Kelelahan setelah perjalanan berat hari ini, sopir dan awaknya langsung duduk di atas matras. Pemilik warung segera menggelar taplak panjang di lantai. Tak ada pilihan menu hari ini, cuma sup sherwa yang berminyak.
“Alangkah mudahnya hidup di Iran,” kata si kenek tambun etnis Hazara, ”Di sana semua jalan beraspal. Tidak ada perjalanan gila seperti di sini. Afghanistan perang terus. Negara ini semakin lama semakin hancur.”
“Pernah tinggal di Iran?” aku bertanya.
“Are. Ya. Sepuluh tahun.”
“Di Teheran?”
“Are. Di Teheran. Di daerah Tajrish,” katanya.
“Jangan kau bilang are, are terus,” kata Jaffar kesal, ”Bilang ‘baleh’. Kamu ini orang Afghan, bukan orang Iran! Aku tahu orang Hazara juga bilang are, tetapi sekali lagi kamu bilang are kamu langsung aku tonjok!”
Si kenek Hazara hanya tertawa. ”Are. Are. Aku sedang bicara bahasa Hazara, bukan bahasa Iran. Aku juga tidak suka orang Iran. Mereka adalah orang-orang busuk yang suka berbohong. Are?”
Energi kami sudah banyak terkuras dalam perjalanan panjang ini. Begitu pemilik warung menggelar tikar di tanah, kami langsung bersiap-siap tidur. Tidak banyak tempat di warung kotor ini. Tak banyak pula tikar dan selimut apaknya. Kami tidur berjajar, berdesak-desakan. Jubah-jubah kami bersinggungan. Bau napas penumpang yang tidur di sebelah pun tercium begitu keras.
“Jangan lupa! Besok pukul lima kita harus siap berangkat!” Jaffar mengingatkan. Nadanya seperti perintah.
Aku meringkuk, menutup mata.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
fellowship
Seperti hidup 14 abad yg lalu
Aku ngerti juga beda kata are dan bale,artinya sama2 iya, karena kawanku ada yg orang hazara dan ada juga yg orang tajik…