Recommended

Selimut Debu 97: Tidak Takut Taliban

Angin berembus perlahan, namun sudah cukup untuk menebarkan debu ke seluruh pelosok kota ini. Rumah lumpur tersebar semrawut. Cheghcheran, walaupun tampak bak metropolis setelah perjalanan panjang di gunung-gunung tak bertuan, sejatinya adalah kota kecil yang merana.

Sebagai ibu kota provinsi Ghor, Cheghcheran sama sekali tak memancarkan kejayaan Dinasti Ghorid, yang berabad silam pasukannya tiba-tiba muncul dari gunung terpencil dan terlupakan, meruntuhkan kekuasaan Dinasti Ghaznavi yang ditakuti hingga ke tanah Hindustan. Dari pegunungan di jantung Afghanistan inilah, Ghiyasuddin Agung meluaskan wilayah negeri Afghan dari Irak hingga ke India, dari Kashgar di Turkestan hingga ke Teluk Persia.

Ghor adalah provinsi terisolasi, salah satu yang termiskin di seluruh negeri miskin ini. Cheghcheran, walaupun secara geografis terletak tepat di jantung Afghanistan, seakan terlupakan. Di seluruh provinsi tak ada semeter pun jalan beraspal. Kekeringan sering melanda. Ketika hujan tak juga turun, para penggembala yang kelaparan terpaksa menjual domba dan kambing dengan harga teramat murah di pasar kota ini, supaya tetap bertahan hidup. Jaringan listrik nihil. Semua penduduk harus bergantung pada generator untuk menonton televisi, menyalakan lampu, mendengarkan lagu-lagu India, dan menjalankan bisnis. Malam hari, yang ada cuma gelap total.

“Kami ini berada di pusat Afghanistan, tetapi kenapa kami miskin?” kata seorang lelaki pegawai pemerintah, gusar. Gedung tempatnya bekerja sangat sederhana di ujung kota. Hanya ada deretan matras di atas permadani buram. Tak ada kursi, ia bersila di lantai sepanjang hari.

Pasar Cheghcheran tidak terlalu sibuk, tak banyak penjual dan pembeli. Aku datang ke sebuah warung yang pemiliknya adalah kakek tua berjenggot putih. Dengan telepon genggam miliknya, aku menelepon lima menit ke Kabul. Ia meminta bayaran 100 Afghani, sekitar dua dolar, dengan perhitungan 20 Afghani per menit. Bukankah harga per menit di wartel umumnya 10 Afghani?

“Layanan telepon masih baru di Cheghcheran, jadi masih mahal,” alasannya.

Apakah karena aku orang asing jadi bayar lebih mahal?

“Tidak. Kamu tahu, untuk orang asing hitungannya 30 atau 40 Afghani per menit! Karena kamu bisa bahasa Farsi, aku kasih murah.”

Empat puluh Afghani! Bahkan jauh lebih mahal daripada menelepon ke luar negeri.

“Kamu bersumpah? Dalam nama Tuhan? Bilang Bismillah?” aku menantangnya.

Lelaki itu diam. Ia memalingkan mukanya.

Semenit kemudian ia berkata, “Baiklah. Bayar saja 50 Afghani.”

“Kejujuran macam apa ini?” aku menatapnya dalam-dalam, ”Bukankah agama mengajarkan kita untuk selalu jujur?”

“Aku hanya jujur kepada Muslim, tidak kepada kafir.”

Kejujuran mungkin masih mahal. Ketika aku kembali ke warung kemarin, tas yang kutitipkan terbuka. Semua barang diacak-acak. Tidak ada yang hilang, kecuali sebotol deodoran.

Kota ini pernah menjadi basis Taliban, yang juga tak segan membantai penduduk setempat. Setelah Taliban pergi, keamanan di provinsi ini menjadi tanggung jawab tentara ISAF dari Lithuania di bawah komando NATO. Aku diundang oleh Mirza Alam, komandan Tentara Nasional Afghanistan, berkunjung ke kantornya. Berikutnya aku malah diajak menginap di asrama tentara. Tempat ini lumayan modern. Lantainya dibalut karpet merah polos yang masih baru. Kamar mandinya bersih. Kamar tidurnya punya empat ranjang susun, bersih. Toiletnya pun masih mengilap. Tak banyak tentara yang menginap di sini. Sebenarnya ini adalah tempat persinggahan bagi para tentara yang akan dikirim ke Kabul untuk mengikuti pelatihan.

Hari ini ada lima orang pemuda—empat Hazara dan satu Tajik. Kelimanya direkrut menjadi anggota Tentara Nasional Afghanistan, yang kelak akan mengambil alih tugas tentara asing untuk menjaga keamanan di negeri mereka sendiri.

Sekarang di mana-mana di pinggir jalan tersebar pamflet bertuliskan, ”Wahai para pemuda yang cinta tanah air, bergabunglah bersama kawan-kawan di Tentara Nasional Afghanistan”. Lima orang pemuda di kamar ini pun antusias untuk menjawab ajakan itu. Mereka mengharapkan gaji 10.000 Afghani, atau sekitar 200 dolar, per bulan. Tetapi mereka terlalu optimistis. Menurut Mirza Alam, gaji rata-rata untuk tentara Afghan hanya 3.600 Afghani.

Qasim, bocah pesuruh di asrama ini, baru delapan tahun umurnya, tetapi celotehnya cerdas. Ia senang membaca, dan tak pernah ketinggalan satu edisi pun dari buletin ISAF News. Ia bahkan bisa menyebutkan nama pulau-pulau utama Jepang dan sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia. ”ISAF itu baik,” katanya, ”berkat ISAF sekarang provinsi kami aman.”

Si bocah kecil itu melanjutkan, “Dulu di sini dikuasai Taliban. Taliban bunuh banyak orang, dan mereka juga bodoh. Tetapi aku tak takut Taliban. Aku hanya takut Tuhan.”

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Pusat keramaian di ibukota provinsi (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Pusat keramaian di ibukota provinsi (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Kedai teh di lantai dua (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Kedai teh di lantai dua (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Indahnya perdamaian... dalam gambar (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Indahnya perdamaian… dalam gambar (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Komandan militer (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Komandan militer (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Bendera nasional (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Bendera nasional (AGUSTINUS WIBOWO)

1.Bocah-bocah Afghan jauh lebih tua daripada umur sebenarnya (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Bocah-bocah Afghan jauh lebih tua daripada umur sebenarnya (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Roti lezat (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Roti lezat (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 97: Tidak Takut Taliban

  1. Taliban tidak seperti itu,media kafir lah yang membuat fitnah jahat spt itu, mas agus bisa buka kisah ivonne ridley jurnalis dari perancis…ingat mas ini masa peperangan antara kafir dan muslim…selamat mencari mas.

  2. Di bawah kekuasaan Taliban terjadi kemunduran yg luar biasa di Afghanistan, terutama perlakuan terhadap perempuan sangat buruk. Syukurlah sekarang Taliban sdh mulai tersingkir dari Afghanistan, mudah2an negara yg pernah sophisticated secara budaya ini bisa kembali baik seperti dulu.

  3. Taliban sdh terbukti memporak porandakan Afghanistan, menjadi negara terbelakang

  4. Salut ko Agustinus, saya suka banget sama buku Selimut Debu, mayan susah carinya di ols krn udah langka. Awalnya saya cari buku ini sebagai supplement membaca novel The Kite Runner tapi akhirnya malah lebih jatuh cinta sama Selimut Debu. Kalimat2nya powerful, seringkali lebih tajam daripada foto2 yg ada. Mengupas hal-hal yang bahkan tidak diketahui media populer (bahkan lebih detail dari novel KR yg ditulis seorang Afghan). Mungkin bukunya bisa ditulis dalam English biar bisa menjangkau masy internasional…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*