Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?
“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan.
Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai.
Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini?
Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak.
Ini adalah konvoi Kamaz orang Hazara yang dipimpin oleh Cheragh. Satu Kamaz melewatiku, melaju begitu saja. Khaliq mulai marah.
“Apa-apaan ini? Sekarang mereka bertemu kamu lagi, dan mereka tak mau berhenti sama sekali?” umpatnya.
Khaliq berdiri di tengah jalan, menghadang Kamaz berikutnya.
Sopir Kamaz kedua adalah Azizullah, pemuda Hazara yang tadi pagi mengejekku karena tidak menunaikan salat. ”Tidak ada tempat!” jawabnya singkat. Ia langsung tancap gas lagi, meninggalkan Khaliq yang semakin marah demi aku.
Kamaz ketiga melintas. Sopirnya Ibrahim, yang jenggotnya sejumput dan wajahnya selalu cemberut. Bibirnya tipis, menyeringai licik. Ia tak menghentikan truknya sama sekali. Ia bahkan tak sudi menengok. Debu beterbangan dilempar oleh gerusan roda truk, menghujani tubuhku. Betapa sakitnya dibohongi. Betapa teganya mereka menyuruh menunggu sejak pukul empat, dan kini hanya diabaikan begitu saja di pinggir jalan. Tentu saja banyak tempat di dalam truk, mereka tak mengangkut penumpang satu pun.
Hanya dua menit berselang, melintas sebuah Falang Coach. Sopirnya pria Pashtun, dengan serban putih, jenggot yang rimbun seperti belukar, dan tangan yang tak henti memutar tasbih. Melihat aku sendirian di jalan, ia langsung berhenti.
“Mengapa masih di sini? Bukankah sopir-sopir Hazara itu sudah berjanji mengangkut kamu?”
Ia terkejut setelah mendengar ceritaku. ”Apa?! Dasar Hazara keparat! Omongan mereka memang tak bisa dipercaya. Aduh, bocah malang. Tentu saja aku senang sekali kalau bisa menolongmu. Tetapi kamu lihat sendiri, di mobilku sama sekali tak ada tempat.”
Pria Pashtun ini adalah pedagang hewan. Hanya ada satu tempat duduk untuknya di samping sopir. Badan mobil dipenuhi belasan kambing yang dijejalkan, mengembik memelas. Selain kambing, ada seekor anjing galak. Aku mengintip kaca jendela, anjing itu langsung menyalak garang. Semula aku berniat merayunya untuk mengizinkan duduk bersama kambing, tetapi begitu melihat anjingnya, aku mengurungkan niat. ”Terima kasih. Tak perlu repot. Semoga sebentar lagi ada mobil lain melintas.”
“Jangan khawatir. Allah Mahabesar. Tuhan melindungimu!” jawabnya sambil merangkulku. Falang Coach itu pun terbungkus debu, hilang di kelokan jalan di ujung desa. Aku melangkah gontai kembali ke tepi jalan menunggu turunnya keberuntungan.
Begitu banyak sebenarnya orang yang mau menolong. ”Jangan khawatir,” kata pemilik kios kelontong di pinggir jalan Shinia, “kalau sampai malam tak ada kendaraan kamu tidur saja di rumahku. Jadilah tamuku.”
Penduduk desa ini memang miskin, tetapi mereka senang melayani tamu. Aku terbayang kembali Khaliq yang dengan segala upaya mengajakku datang ke desanya dan menginap di rumahnya. Bagi mereka, melayani tamu adalah kehormatan.
Pemilik kios kasihan dengan nasibku yang terdampar di sini. ”Penduduk Cheghcheran memang terkenal zalim. Itu sudah sejak dulu. Mereka sering berbohong, kalau berdagang pun menipu. Pantas saja tempat ini selalu miskin. Mungkin hukuman Tuhan,” katanya.
Sebagai wujud iba, ia ikut menunggu mobil bersamaku. Setiap ada debu mengepul di kejauhan, ia langsung siap di tepi jalan untuk bernegosiasi dengan sopir. Empat jam menunggu ini, hanya ada tiga mobil lewat. Semuanya penuh. Ghor bukan tempat bagus untuk berbisnis. Arus barang yang lewat sini sangat jarang. Daripada harus bersakit-sakit lewat pegunungan Ghor, orang yang mau ke Kabul lebih memilih menempuh jalan berbahaya lewat Helmand dan Kandahar yang dikuasai Taliban. Keterpencilan dan kemiskinan desa-desa di sini semakin bertambah parah karena para pedagang pun enggan menggunakan jalan ini.
Aku sudah hampir putus asa. Sebentar lagi langit gelap. Di kejauhan, sekali lagi asap mengepul dari arah barat. Yang datang adalah Falang Coach. Tempat penumpang tak diduduki orang, tetapi diisi berbagai perabot seperti lemari, bilah kayu, kursi, dan tripleks. Sopirnya meloncat keluar, berbincang dengan pemilik kios.
“Empat ratus Afghani,” kata sopir itu, ”Sebenarnya sudah tak ada tempat lagi. Tapi aku kasihan padamu.”
Empat ratus, delapan dolar, sama sekali bukan harga yang didasari rasa kasihan.
Para pemilik kios keluar semua, mengelilingi sopir dan menghujaninya dengan permohonan. ”Kasihanilah dia,” kata salah seorang dari mereka, ”Orang asing ini terdampar di desa miskin ini. Tak bisakah kauberi tumpangan gratis?”
“Sudah dari pagi dia di sini. Dia sendirian di negara kita. Sudah seharusnya kita menunjukkan bahwa orang Afghan adalah bangsa yang mulia,” kata yang lain.
Sopir itu tergerak. ”Sudah. Ini harga terakhir. Dua ratus Afghani sampai ke Sar Jangal!” Aku setuju. Tak masalah walaupun harus duduk di tempat barang di bagian belakang, dijejalkan dengan bilah kayu. Aku duduk meringkuk. Falang Coach memang bukan kendaraan yang nyaman untuk dipakai di jalan seperti ini. Guncangannya begitu hebat. Berkali-kali kepalaku terantuk. Benjol. Perut pun mual karena belum diisi sedari pagi.
Langit semakin gelap. Walaupun terantuk-antuk, akhirnya aku jatuh tertidur. Ketika membuka mata, Lal sudah terpampang.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
panen apa? gandumkah?
fantastic
Mantap mas agus
Sopir Hazara kan orang2 syiah,pantas aja sukanya ber taqiyah/dusta
tersentuh pada bagian terakhirnya, “Sudah dari pagi dia di sini. Dia sendirian di negara kita. Sudah seharusnya kita menunjukkan bahwa orang Afghan adalah bangsa yang mulia,”