Titik Nol 4: Surga Burung
Pegunungan Kunlun membelah dunia. Di utara, Xinjiang dibungkus debu yang beterbangan dari gurun Taklamakan. Kering dan panas. Begitu melewati puncak Satsum La, dunia berubah menjadi padang rumput hijau menghampar di kelilingi gunung salju, ditangkupi langit biru. Tibet adalah sebuah dunia lain.
Di sini banyak kisah tentang kehidupan di puncak bumi, di tanah yang dipeluk langit dan mega. Ada Parit Kematian yang menghantar maut, ada gunung tak berpenghuni dengan desingan angin lembah, dan sekarang, saya tiba di sebuah danau yang terhampar laksana lukisan surgawi.
Danau Pangong, atau Pangong-Tso, bukan sembarang danau. Terletak pada ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut, panjangnya sekitar 150 kilometer, lebar rata-ratanya cuma empat sampai lima kilometer. Pada bagian tersempit lebarnya cuma lima meter saja.
Dengan bentuknya yang mirip lidah panjang, danau ini terbentang dari pegunungan Tibet sampai ke Kashmir. Sekitar 100 kilometer danau ini masuk wilayah China, sisanya lagi di seberang perbatasan India. Yang membuat danau ini tak biasa adalah di sisi China airnya tawar dan segar, sedangkan di sisi India berubah menjadi air asin.
Hanya saya dan Deng Hui yang turun di tepi danau ini. Kernet bus Tibetan Antelope menurunkan tas ransel kami berdua dari bagasi. Dua hari perjalanan dengan bus sudah menyulap tas ransel saya yang kumal menjadi jauh lebih kumal lagi. Warnanya yang semula hitam sekarang jadi coklat, terbungkus debu gurun pasir dan gunung batu. Bus melanjutkan perjalanan terus ke Ali, mengepulkan debu yang melapisi wajah dan sekujur tubuh saya.
“Tak apa, nanti kalau sudah sampai di Ali, kamu bisa mandi. Di sana ada air panas,” hibur Deng Hui.
Saya sebenarnya tak terlalu memikirkan mandi. Perjalanan berat seperti ini sudah pernah saya alami di Mongolia dan Afghanistan, di mana berminggu-minggu saya tak menyentuh air sama sekali.
Danau Pangong berwarna biru kelam. Gunung-gunung yang mengitarinya dibilas sinar keemasan mentari senja. Ratusan burung beterbangan di atas permukaan air. Burung-burung ini berwarna putih, dengan ujung sayap hitam. Paruhnya merah, dan kakinya pun merah. Ukurannya mungil, tubuhnya gemuk. Dalam bahasa Mandarin namanya adalah hongzhui ou – camar paruh merah.
Mereka terbang berombongan, mendarat di air bersamaan, berkitaran seperti bebek ke sana ke mari, lalu terbang ke angkasa berbarengan membentuk parade burung yang menantang kebesaran gunung-gunung bertudung salju yang mengelilingi bibir danau.
“Sayang sekali kamu datang terlambat,” kata pemilik warung sederhana di pinggir danau, “coba kamu datang sebulan lalu. Tempat ini penuh oleh burung. Danau Pangong adalah surganya segala jenis burung. Sekarang karena sudah mulai dingin, burung bangau sudah berangkat terbang ke selatan.”
Di tengah danau Pangong ada Pulau Burung. Di sanalah puluhan jenis burung menghabiskan waktu di alam surgawi. Di atas ada langit biru, di bawah ada danau luas dengan ikan besar. Di sekeliling ada gunung salju. Mega berarak lambat. Tak ada keributan, hanya ada kedamaian sepanjang masa. Manakah lagi surga yang lebih indah bagi burung selain di atap dunia ini?
Bangau Siberia punya jadwal bermigrasi yang tetap. Ketika musim dingin mulai berhembus, mereka berombongan terbang melintas ke selatan, sampai ke Teluk Bengala. Ketika musim panas datang, kawanan ribuan burung bangau mengepakkan sayap yang lebar, menjejakkan kaki mereka yang panjang, beriringan menuju Danau Pangong. Di sini mereka bertelur, beranak, menikmati alam surga.
Burung pun punya jalan hidup yang boleh membuat manusia iri. Betapa bebas mereka menikmati surga-surga di muka bumi. Mereka bebas terbang ke mana pun mereka suka, tanpa perlu pusing paspor dan visa. Sedangkan manusia, menyusuri Danau Pangong pun tak mungkin.
Tentara perbatasan China berpatroli di tengah danau. Karena letaknya yang dekat dengan perbatasan India, daerah ini adalah wilayah sensitif. India mengklaim sebagian daerah yang dikuasai China di sini. Kalau dilihat di peta, garis batas India dan China di sini adalah garis putus-putus, menandakan perbatasan masih dalam status sengketa. Rakyat jelata paling jauh cuma boleh ke sekitar Pulau Burung. Nelayan juga berkutat tak jauh dari kampung. Hanya burung yang boleh terbang bebas melintas gunung, menyusuri danau panjang.
Siapa sebenarnya yang menggambar garis-garis batas negara di muka bumi, yang kemudian mengatakan sebagian danau ini punyaku dan sebagian itu punyamu? Siapa yang membuat alam raya ini terpetak-petak dibatasi berbagai dinding tak kasat mata, namun menjadi penentu takdir manusia yang hidup di sisi-sisinya?
Kampung di pinggir danau hanya terdiri dari dua atau tiga rumah sederhana milik pemancing. Selain penghuni gubuk dan beberapa tentara, tak ada lagi manusia lain yang hidup di sekitar sini. Danau air tawar ini menyuguhkan ikan yang lezat, bertubuh gemuk namun berduri kecil. Ikan dari danau ini boleh dimakan. Ada ratusan danau besar dan indah di Tibet, tetapi tak banyak yang boleh disantap ikannya.
Kebanyakan danau di Tibet adalah danau suci. Mereka mendirikan altar dan bersembahyang dengan cara berkeliling. Ikan-ikan di danau suci juga sama sucinya. Tak boleh dimakan. Danan Bangong mungkin adalah perkecualian, karena di sini tak nampak orang Tibet sama sekali.
“Makanlah sepuasnya,” kata pemilik warung, “kalau kurang, nanti kami buatkan lagi.”
Ikannya ditangkap dari danau saat itu juga ketika kami datang. Pemilik warung ini jauh-jauh datang dari Sichuan sampai ke tempat yang seterpencil ini untuk mencari uang. Tetapi ia memang sudah tersohor keahlian memasaknya. Segala jenis masakan lezat berbahan ikan bisa dibikin, mulai dari digoreng, dibikin sup, bumbu merah, bumbu asam manis. Berapa pun banyaknya yang kita makan, harganya cuma 20 Yuan per orang.
Di bawah kelap-kelip lilin, dengan sumpit yang beradu liar karena perut yang keroncongan, dalam sekejap masakan ikan berubah menjadi tumpukan duri kecil di pinggir piring. Walaupun tak bisa melihat jelas apa yang saya makan – karena tidak ada listrik – tetapi lidah ini puas.
Saya tidak sendiri. Ada pula empat pemuda Perancis yang datang ke tempat ini dengan bersepeda. Mereka berangkat dari Perancis, melintasi Eropa dan Rusia, menyeberang ke padang rumput Kazakhstan, Uzbekistan, pegunung Kyrgyzstan, sampai ke gurun Xinjiang, dan akhirnya melintasi Pegunungan Kunlun di atap dunia ini, semuanya dengan kayuhan sepeda mereka. Tujuan akhirnya adalah Singapura. Perjalanan panjang sudah mengubah tubuh mereka menjadi orang–orang berwajah keras, berbalut daki dan debu. Mereka juga masuk ilegal, dan perbincangan kami pun tak jauh seputar tips menghindari polisi.
“Dengar-dengar di Rutog ada pos pemeriksaan polisi. Hati-hati!” kata Pierre, salah seorang pesepeda itu.
Tetapi saya sudah tak peduli lagi dengan polisi. Damainya Danau Pangong, hanya secuil dari misteri Tibet, sudah membuat saya puas dengan segala pengorbanan dan jerih payah sampai ke sini. Polisi, permit, tentara, visa, perbatasan, segala remeh-temeh egoisme manusia yang mengotak-kotakkan bumi, tak bisa membendung gelombang kebahagiaan yang terpancar dari surga sunyi ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Agustus 2008
Leave a comment