Titik Nol 5: Meja Biliar
Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam.
Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi.
Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam.
Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung jempol. Boleh dibilang, neraka paling seram di seluruh China adalah WC umum, lebih-lebih di pedalaman terpencil seperti ini. Hanya sebuah lobang dalam di atas permukaan tanah yang entah berapa puluh tahun sekali baru disiram. Baunya tak perlu ditanya. Saya tak pernah bernafas dengan hidung kalau masuk toilet. Seperti danau yang menjadi surga burung, toilet pinggir danau ini adalah surganya lalat.
Tibet memang bukan untuk petualang manja. Di sini kita tak boleh menuntut terlalu banyak dari alam dan lingkungan. Tak ada air, tak ada listrik, sudah menjadi hukumnya di alam liar seperti ini. Apalah arti diri kita yang cuma sebuah noktah kecil dibandingkan barisan gunung bertudung salju, danau raksasa, dan hamparan padang rumput luas yang mengkarpeti bumi? Manusia hanya bisa bertahan, di sini alam yang berkuasa.
Tak banyak mobil yang melintas. Dari pukul 6 pagi sampai 11, hanya ada tiga truk. Itu pun tidak ada yang mau mengangkut. Menjelang tengah hari, baru ada truk Dongfeng datang dari Kargilik yang kebetulan bisa ditumpangi hanya sampai ke Rutog.
Sebuah gerbang merah bertudung seperti kuil tiba-tiba muncul di tengah kepungan gunung raksasa. Sebuah jalan beraspal tiba-tiba muncul dari balik debu. Sebuah kejutan yang memberontak di tengah kerumunan keganasan gunung batu dan padang rumput, ada barisan gedung-gedung kota China tertata rapi, berbaris sepanjang jalan dalam keteraturan yang paling tidak natural.
“Ritu Huanying Nin” – Rutog Menyambut Anda – demikian tulisan huruf China besar di atas gerbang kota. Selamat datang di Rutog. Kota baru made in China bagi pemukim Tibet, Han, dan Uyghur, menyambut Anda yang baru turun dari puncak Kunlun.
Di kota ini, gedung-gedung bertingkat berjajar sepanjang jalan beraspal. Tiang listrik berbaris. Semua seperti baru saja dibangun kemarin sore. Penampilannya aneh, kemodernan yang dikontraskan dengan tebing tinggi di seluruh penjuru.
Orang Han dan Uyghur yang mendiami kota ini, kaum pendatang, menikmati kemakmuran kota ilusi di tengah gunung. Mereka mayoritas datang dari Xinjiang, Sichuan, Gansu, dan propinsi-propinsi tetangga Tibet.
Orang Uyghur kebanyakan supir truk dan pemilik restoran halal. Kalau buat orang China Han – bangsa mayoritas di negara ini, semua pekerjaan bisa dilakukan, mulai dari buka restoran, bisnis pertokoan, reparasi ban, jualan VCD, membangun gedung, jadi tentara, dan sebagainya.
Bagaimana dengan orang Tibet?
“Zangmin – orang Tibet – itu sangat malas,” kata Karim, seorang pendatang Uyghur dari Kashgar dalam bahasa Mandarin yang beraksen berat, “mereka tak melakukan apa-apa. Mereka tak mau bekerja. Sepanjang hari hanya bermain.”
Baru pertama kali ini saya melihat pemukiman orang Tibet, dan itu pun kesannya aneh. Pria-pria berkulit gelap terbakar sinar matahari, berambut panjang, dikepang, lalu digulung di atas kepala, gagah memakai jubah berlengan satu, berjalan penuh keyakinan. Tangan kanannya memegang tongkat biliar.
Wanita bertopi koboi, wajah tak terlihat karena dibalut masker yang menutup ujung hidung dan mulut, mata yang cuma segaris, pakaian yang berat karena terlalu banyak perhiasan dan manik-manik. Tangan pun memegang tongkat biliar.
Bocah-bocah menginjak umur belasan, dengan pipi yang mulai mengeras terbakar matahari, berlarian ke sana ke mari, juga memegang bola biliar. Kakek tua bertopi koboi, berkacamata hitam, gigi kuning tanggal semua, tersenyum lebar setelah menyodok bola dengan tongkat biliar terbalik.
Belasan meja biliar teronggok di pinggir jalan, dikerebuti pria, wanita, tua, muda, anak-anak. Mereka berbicara dalam bahasa yang berat, keluar langsung dari tenggorokan. Orang Tibet di sini tak terlalu banyak bersuara. Kalau pun tertawa tak keras bunyinya, hanya sunggingan bisu memamerkan barisan gigi kuning. Apalagi yang perempuan, menggumam dari balik masker. Sinar matahari di atap dunia yang dingin ini bisa menembus lapisan udara yang tipis, kena kulit langsung membakar. Tetapi semua itu tak menghalangi mereka menikmati keriangan di sekeliling meja biliar.
Kakek tua masih menyodok bola dengan tongkatnya yang terbalik. Tampaknya ia terbilang jago biliar dari Rutog. Berkali-kali masuk. Ia bersorak, tetapi nyaris tanpa suara. Kerumunan orang-orang Tibet ini bermain biliar dengan khusyuk.
Seorang pria suku Han mengeluhkan betapa kerasnya alam di sini. Orang suku Uyghur mengeluhkan betapa malasnya orang-orang di sini. Orang Tibet, tanpa beban, tenggelam dalam permainan di atas meja biliar pinggir jalan.
“Kamu harus cepat-cepat pergi dari sini,” rombongan pesepeda Perancis yang baru saja sampai dari Danau Pangong memberitahu, “di Rutog benar-benar ada polisi. Kami juga langsung berangkat ke arah Ali.”
“Mashang. Mashang,” kata pemilik truk etnis Uyghur, “Segera. Segera. Truk segera berangkat.” Tetapi saya masih tak faham apa makna ‘segera’ di sini. Saya sudah duduk lima jam di pinggir truk, yang kadang berangkat ke pasar, kadang dipompa bannya, kadang teronggok di pinggir jalan.
“Kami segera berangkat,” kata sopir, “Mashang. Mashang.”
Langit sudah gelap. Saya masih di Rutog.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Agustus 2008
Ei, penasaran nih
Maaf, Pak agus gg marah ya istrix klo terus berpetualng jauh2
Super 😉
“: Titik Nol 5: Meja Biliar – selengkapnya: http://t.co/8X1dFI82Vw”<– bacaan yang menarik