Port Moresby 15 Agustus 2014: Sebuah Akhir Pekan di Permukiman
Port Moresby, metropolitan terbesar di Pasifik Selatan, bisa jadi kota yang menegangkan dan mengintimidasi. Untuk merasakan kehidupan Port Moresby, tidak mungkin bagi saya untuk mengelana sendirian ke daerah permukiman mereka.
Saya perlu pintu masuk. Melalui beberapa kontak dari Kedutaan, saya mendapat kesempatan menginap dengan sebuah keluarga di Koki, sebuah kampung atas air. Saya dan perempuan bertubuh tambun bernama Rawa yang bekerja di kediaman duta besar RI, berjalan bersama melintasi pasar dan jalan kampung sebelum kami mencapai perkampungan di atas air itu.
Sore hari, jalanan begitu ramai oleh manusia. Berbeda dengan jalanan di Jakarta di mana orang-orang berjalan menuju suatu tempat, di sini orang-orang hanya memenuhi jalanan dan berjalan seperti tanpa arah. Saya tidak pernah melihat jalanan beraspal nyaris tanpa mobil tetapi begitu ramai oleh manusia berserakan yang bergeming atau bergerak secara acak. Para lelaki duduk melingkar di lapangan sambil bermain judi kartu dengan uang receh dan mengunyah pinang, lalu meludahkannya dan meninggalkan bercak-bercak seperti darah di mana-mana. Banyak pula dari mereka yang duduk di samping rongsokan mobil menghabiskan waktu. Para perempuan duduk di pinggir jalan merumpi dan tertawa-tawa. Anak-anak, yang mendominasi pemandangan, hampir delapan puluh persen dari manusia yang terlihat di sini dan banyak dari mereka yang bertelanjang kaki, bertelanjang dada, atau bertelanjang sama sekali, memanjat-manjat tiang dan pagar, meloncat-loncat, berjingkrak-jingkrak, berkelahi.
Dan begitu melihat saya membawa kamera, para lelaki itu, para perempuan itu, para anak-anak itu, semuanya memanggil saya meminta saya memotret mereka. Dan mereka pun bergaya sambil mengacung-acungkan simbol Victory pada kedua tangan, atau simbol Metal. Melihat keramaian yang semakin membesar ini, juga seseorang bermata merah yang menawari saya untuk membeli mariyuana, Rawa memberi kode pada saya untuk buru-buru pergi. Terlalu berbahaya, katanya.
Di sudut lapangan, kami berjalan ke atas sebuah jembatan dari balok-balok kayu yang memanjang ke arah pantai. Jembatan ini adalah “jalan raya” di kampung air Koki ini. Jembatan ini juga bercabang-cabang, membentuk sebuah jaringan jalan. Rumah-rumah dibangun di sisi kiri dan kanan jembatan, di atas topangan tiang-tiang kayu yang menancap di atas laut dangkal. Laut yang paling dekat dengan darat bukan lagi sebuah lautan air, melainkan telah menjadi lautan sampah karena semua penduduk membuang sampah langsung di bawah rumah mereka.
Tuan rumah saya malam ini adalah Helen, saudara ipar Rawa. Di rumah yang terbuat dari kayu dan seng tetapi memiliki oven microwave, tiga pesawat televisi, dan kipas angin baling-baling besar di langit-langit ini, Helen tinggal bersama tiga anaknya, menantunya, juga adik perempuan bersama suami bersama anak-anak mereka. Total sembilan orang tinggal berdesakan di sini. Suami Helen yang sudah meninggal empat tahun lalu karena serangan jantung itu berasal dari daerah ini, sedangkan dia sendiri dari Aroma di daerah pesisir selatan Papua Nugini. Sejak menikah dengan suaminya, Helen menjalani hidup di atas air; dan sejak suaminya meninggal, anak laki Helen tidak mau lagi bersekolah.
Port Moresby pada awalnya dimulai dari kampung-kampung nelayan di atas air seperti di Koki ini. Yang paling awal adalah perkampungan Hanuabada (yang namanya berarti “Kampung Besar”), yang dihuni oleh orang-orang Motu. Bagi Helen, tinggal di rumah atas laut seperti ini hanyalah sebuah “gaya hidup”, yang dia pun tak tahu kenapa orang memilih gaya hidup ini. Sebagian orang yang tinggal di sini, berbeda dengan perkiraan saya, bukanlah nelayan; Helen sendiri adalah pekerja kantoran (“I do all kinds of job”) sedangkan suaminya pernah bekerja di maskapai Air Niugini dan perusahaan pelayaran. “Kami hanya suka tinggal di atas air,” katanya.
Membangun rumah di atas air membutuhkan kerja keras, ketika para lelaki membawa kayu-kayu gelondongan untuk ditancapkan ke dalam air, meratakan permukaannya, sebelum mendirikan rumah di atasnya. Tergerus air laut, kayu-kayu penopang itu aus dan bagian yang terendam air akan semakin menipis, sehingga harus sering diganti, setidaknya dua atau tiga tahun sekali. Pernah terjadi rumah yang ambrol ke dalam air karena kayu penopangnya sudah terlalu tipis dan patah. Ketika air laut pasang, tidur di ranjang rumah ini seperti tidur di atas kapal, bergoyang-goyang.
Bahaya lain tinggal di sini adalah tercebur ke laut (yang kotor penuh sampah dan lumpur hitam), dari jalanan “jembatan kayu” yang lumayan sempit dan tanpa pelindung di sisi kiri maupun kanan. Ini sering terjadi pada orang-orang mabuk atau orang yang berkelahi. Juga anak-anak. Adik perempuan Helen juga pernah mencebur ke laut untuk menyelamatkan anak Helen yang tidak sengaja tercebur.
Rumah-rumah ini tidak mendapatkan layanan penuh dari pemerintah. Air harus dikongsi bersama beberapa keluarga dari satu keran dan pipa, lalu disimpan di timba-timba. Toilet hanya berupa lubang di atas lantai; semua kotoran langsung dibuang ke laut tanpa hambatan. Dan sore ini listrik tiba-tiba mati, yang tidak pernah menyala lagi sampai saya meninggalkan rumah ini keesokan harinya. Helen bilang, hal ini sudah biasa di sini. Remang-remang, kami berbincang tanpa bisa melihat wajah satu sama lain.
“Kamu tahu kenapa Rawa tadi buru-buru mengajak kamu masuk ke rumah?” tanya Helen. Saya menggeleng. Dia melanjutkan,“Karena sebentar lagi, jalanan akan sangat penuh dengan manusia, dan mereka akan menjadi gila. Coba kamu tunggu beberapa menit lagi. Dengarkan baik-baik.”
Saya mendengar suara tembakan, tiga kali. “Apa itu?” saya bertanya, membayangkan perkelahian para mafia yang berdarah-darah.
“Itu adalah petugas NCDC,” katanya. Seperti Satpol PP di negara kita. “Mereka mengusir para pedagang buai di pasar buai di ujung kampung.”
Buai, atau pinang, hampir selalu ada di mulut orang-orang Papua Nugini, yang mereka kunyah sepanjang hari hingga membuat gigi mereka merah. Masalah utama dari buai adalah karena itu mengotori lingkungan. Di mana-mana kita lihat kulit buai berserakan sampai menggunung, juga bercak-bercak merah darah di jalanan dan tanah, yang diludahkan oleh para pengunyah buai sembarangan. Karena sudah tidak sabar lagi, pemerintah melarang penjualan buai. Menjelang malam akhir pekan yang merupakan waktu puncak dari kegiatan “bermalas-malasan tanpa tujuan” (loafing around menurut Helen), para petugas datang untuk membubarkan kerumunan di pasar buai dengan menyemprotkan gas air mata dan meletupkan tembakan. Pedagang buai yang tertangkap akan dipenjara, dan dibebaskan lagi setelah mereka membayar denda.
Jo, menantu Helen yang berambut gimbal seperti Bob Marley dan bertubuh gempal seperti pegulat, mengeluhkan tingginya inflasi di Papua Nugini sekarang, yang membuat hidup semakin sulit, dan harga sebutir buai yang semula 20 toea kini menjadi 1 Kina.
Bersama Jo, saya kembali turun ke jalan besar beraspal. Kami loafing around bersama. Di kota yang keamanannya selalu mencekam kalangan orang asing ini, berjalan kaki di jalan raya adalah hal yang tidak pernah mereka bayangkan untuk dilakukan, apalagi di tengah malam gelap dan kerumunan massa lokal ini. Tetapi bersama Jo, aku aman. Keamanan di Port Moresby sangat terlokalisasi. Tidak cukup bagi saya sebagai orang asing hanya berkunjung ke sebuah permukiman ditemani orang Papua Nugini, tetapi harus orang Papua Nugini dari permukiman itu. Orang yang sama sekali tidak dikenal sangat berisiko untuk diserang.
Di bawah sinar lampu jalan yang sangat redup, jalanan didominasi bocah-bocah kecil yang bermain dan berteriak-teriak. Dalam bahasa Tok Pisin, bocah kecil disebut sebagai mangi, sebuah korupsi dari kata bahasa Inggris “monkey”. Bahasa Pisin adalah sebuah pidgin bahasa Inggris yang diciptakan oleh para budak Papua yang dipekerjakan di Australia sehingga mereka yang berbicara ratusan bahasa itu bisa berkomunikasi satu sama lain. Para tuan-tuan kulit putih menyebut mereka para budak kulit hitam sebagai “monkey”, dan itu yang membuat mereka mengira “mangi” itu sebagai kata untuk menyebut bocah. Melihat bocah-bocah bertelanjang badan dan kaki berjingkrak-jingkrak itu, saya memang langsung terbayang kerumunan monyet kecil. Jo menghalau para mangi yang mengerumuni saya dan berteriak-teriak “Boss! Boss! Photo me!” atau “China! China! Mipela!” (Mipela adalah Pisin untuk me fellow, “kami”).
Untuk orang dewasa, kegiatan penting untuk loafing around ini adalah mengunyah buai. Jo membeli sekantong plastik buai. Yang berukuran besar seharga 1 kina, yang sedang 50 toea, sedangkan untuk saya Jo membelikan buai yang sudah dikupas dan diiris kecil-kecil seharga 20 toea. Saya menggigit satu potongan kecil, merasakan pahit yang membuat saya sampai meringis, lalu air mata menetes dan tenggorokan seperti terbakar. Kepala begitu pening, saya sudah mabuk hanya dalam satu gigitan. Jo buru-buru memberikan saya minum. “Don’t swallow the buai juice. Spit it out!” Justru rasa mabuk dan melayang-layang itu yang mereka nikmati dari buai.
Seorang pemuda lokal mengatakan padaku, tidak mungkin pemerintah Papua Nugini bisa melarang penjualan buai. Itu karena buai adalah identitas Papua Nugini, budaya Papua Nugini. Apalagi, katanya, buai dan serbuk kapur yang menemaninya itu penuh dengan kalsium, bisa menyehatkan gigi. Mengunyah buai adalah seperti sikat gigi.
Malam akhir pekan seperti ini adalah saat-saat paling berbahaya di Port Moresby. Para pekerja mendapatkan gaji mereka yang diberikan tiap dua-mingguan (per fotnight) dan banyak dari mereka yang langsung membelanjakan uang itu untuk membeli bir. Hasilnya, banyak orang mabuk dan banyak perkelahian. Kami, sebagaimana ratusan orang lainnya, berkerumun mengelilingi dan menonton dua lelaki gempal yang berkelahi di tengah jalan.
Sekembalinya di rumah, kami berbincang tentang keadaan Papua Nugini sekarang. Barang-barang begitu mahal. Pengangguran di mana-mana, sementara begitu banyak pekerjaan sederhana dilakukan oleh orang asing yang membuat harga-harga semakin mahal lagi.
“Kenapa bisnis di negeri ini hampir semuanya dikuasai orang asing?” saya bertanya.
Jo si mahasiswa ilmu fisika itu mengatakan, itu karena orang Papua Nugini tidak punya cukup modal untuk memulai bisnis. Kebanyakan orang asing memulai bisnis karena mereka punya koneksi dengan pemerintah. Perusahaan asing merekrut lebih banyak orang asing daripada penduduk lokal, Jo menduga itu karena orang Papua Nugini terlalu bersahabat sehingga kurang bagus untuk bisnis.
Di Papua Nugini, begitu banyak lulusan universitas yang hanya duduk-duduk di pinggir jalan menghabiskan waktu, loafing around, karena mereka tidak bisa menemukan pekerjaan. Sementara banyak orang asing yang bekerja sebagai kuli bangunan atau pekerjaan kantoran.Saya juga mendengar perusahaan konstruksi Indonesia mendatangkan ratusan kuli dari Indonesia dan selesai membangun sebuah gedung modern di Port Moresby hanya dalam dua bulan, yang membuat warga lokal terbengong-bengong. Sementara di supermarket, orang asing dipekerjakan hanya untuk berdiri dan mengawasi dan membuka kunci mesin kasir.
“Masa, mereka bahkan merekrut orang Filipina hanya untuk membukakan kunci kasir atau menjadi supervisor dari para kuli? Pekerjaan seperti itu juga bisa kami kerjakan sendiri!” kata Jo. “Saya sedikit kecewa dengan keadaan ini tapi semua ini di luar kendali kami rakyat kecil.”
Helen, mertua Jo, bekerja di perusahaan Australia. “Saya tidak yakin apakah orang PNG akan menjadi tuan di tanahnya sendiri,” katanya, “We are just slaves on our own land.”
Saya pernah berbicara dengan seorang manajer Indonesia yang bekerja di sebuah supermarket milik orang Indonesia di Port Moresby. Dia mengatakan, merekrut warga asing, walaupun gajinya jauh lebih tinggi daripada penduduk lokal, justru lebih efisien. Satu pekerjaan yang dilakukan dua staf lokal dalam satu hari, bisa dikerjakan satu anak magang warga asing hanya dalam dua jam.
Kebanyakan orang asing mengeluhkan masalah keamanan di Port Moresby. Tetapi sebenarnya, target serangan bukan hanya warga asing, melainkan juga warga lokal. Jo pernah dirampok oleh raskol (rascal, perampok). Hari itu dia keluar dari kantor untuk membawa uang tunai 300.000 kina menuju bank, dan mobil yang akan mengantarnya terletak 10 meter di sebelah kanannya. Tiba-tiba, begitu dia keluar dari pintu, sebuah mobil mendesaknya dari sebelah kiri, dan meloncatlah tiga raskol menodongnya dengan senjata. Jo menyerahkan uang itu, para raskol lari. Polisi menginvestigasi Jo dan sopir, lalu perusahaan memecat dirinya. “Kenapa saya yang diinvestigasi?” tanya Jo, “Kenapa bukan para raskol itu yang ditangkap dan dihukum?”
Karena keamanan yang sangat buruk, perusahaan, toko, hotel, dan segala jenis bisnis di sini seperti penjara—dikurung tembok, menggunakan pengamanan pintu berlapis-lapis, dan dijaga pasukan pengaman swasta yang membawa bedil dan anjing. Perusahaan pengamanan bisa dikatakan adalah bisnis terbesar di PNG sekarang, memberikan kesempatan kerja terbesar bagi warga kota. Seorang petugas keamanan digaji hanya 200 kina per dua minggu, atau sekitar 200 dolar sebulan. Tetapi perusahaan harus membayar ribuan sampai puluhan ribu kina kepada perusahaan keamanan. Perusahaan keamanan yang terbesar sekarang di sini, G4S, adalah perusahaan Inggris. Sedangkan Perdana Menteri O’Neill dicurigai memiliki andil dalam perusahaan keamanan premium Blackswan International.
Saya melihat ada sebuah lingkaran setan di sini. Akibat dari banyaknya orang asing yang bekerja, harga barang semakin mahal, dan mengakibatkan semakin banyak pengangguran di negeri ini, yang menyebabkan kriminalitas semakin merajalela dan keamanan memburuk, sehingga banyak bisnis asing yang harus meningkatkan penjagaan keamanan dan itu juga menaikkan harga. Pelaku bisnis asing juga semakin mengurung diri dalam zona-zona aman mereka, menggambarkan Port Moresby sebagai kota paling mencekam di dunia, dan semakin tidak memercayai penduduk lokal apalagi untuk merekrut mereka. Pengangguran, inflasi tinggi, hanya akan terus meningkatkan kriminalitas. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa di seluruh negeri hanya ada antara lima hingga enam ribu polisi.
World Bank baru saja menurunkan laporan bahwa kriminalitas dan kekerasan telah menghambat pertumbuhan ekonomi Papua Nugini. Berselang beberapa hari, Perdana Menteri Peter O’Neill langsung mengeluarkan bantahan, yang mengklaim bahwa kriminalitas di Papua Nugini telah menurun drastis dalam tiga tahun terakhir, dibuktikan dengan jumlah narapidana yang berkurang dari 1000 napi menjadi 450 napi. Pertanyaannya, apakah itu bukti kriminalitas menurun, ataukah menurunnya kemampuan polisi memberantas kejahatan?
Malam gelap begitu syahdu. Di luar bangunan rumah Helen terdengar denting gitar dan nyanyian para anak-anaknya dan keponakannya. Mereka mengagungkan Tuhan.
Tuhan akan datang// Kami tahu Tuhan akan datang// Bersihkanlah gereja // Karena Dia Yang di Atas ada dalam gereja.
Luar biasa pengalaman dik Agus Wibowo. Saya aja sampai tua begini cuma bermimpi saja mau jalan-jalan ke luar negeri. Di PNG ada kebiasaan mengnyah pinang. kalau di Jawa, mengunyah sirih.Entah siapa yg mengawali. tetapi mungkin orang Indonesia. Karena bangsa kita sejak dulu memang perantau ulung.
pengalaman yang sangat menarik mas…
AKu melok dolen mas agus…. sangune piro?
kapan aku bisa melepaskan diri dari rutinitas ini…..ingin ku jelajahi dunia di luar tembok hari2 membosankan dalam pekerjaan ini……hehehe,tp bagaimana dan darimana aku hrs memulainya?Nepal…..inginsekali ku memulainya dari negeri yg bernama Nepal….
Iya yah…., Rasanya saya juga terkungkung di sebuah negara besar di dunia. Dari kecil sudah sangat ingin pergi ke luar negeri, meskipun hanya ke negara tetangga seperti Malaysia.
Keren sekali idealisme dan konsistensinya sama suhu yang satu ini
Aku ingin melihat dunia dan meninggalkan kehidupan membosankan ini 😩 bagaimana caranya