Port Moresby 17 Agustus 2014: Merah Putih di Papua Nugini
Banyak pembaca yang menanyakan apakah saya berada di Papua Nugini saat ini adalah untuk menulis buku baru. Saya memang mempunyai ide menulis buku tentang Nusantara. Namun fokus pembahasan Nusantara ini adalah bagaimana melihat Indonesia melalui garis terluarnya dengan menyusuri semua perbatasannya: Papua Nugini dan Papua, Timor Leste dan NTT, Sangihe Talaud dan Mindanao, lalu Kalimantan dan Sabah Sarawak. Saya juga tertarik mempelajari Nusantara dalam arti luas yang meliputi lingkup budaya Melayu, yang termasuk juga Singapura, Brunai, Thailand Selatan, bahkan sampai India yang menjadi akar budaya Nusantara kita. Saya ingin mengetahui apa yang menjadi alasan bangsa ini ada dan tetap bertahan, kekuatan atau mitos apa yang bisa merekatkan bangsa dengan ratusan bahasa dan puluhan ribu pulau ini sebagai sebuah negara. Ini adalah proyek besar, yang membutuhkan waktu, energi, dan dana dalam jumlah besar. Saya sendiri tidak tahu kapan proyek pribadi ini akan selesai, dan apakah saya memiliki kemampuan finansial untuk menyelesaikannya.
Tapi tak mengapa, setidaknya saya berusaha menyelesaikan kedua sisi perbatasan garis lurus yang ada di ujung timur negeri kita ini, yang mungkin akan menjadi bab pertama dari buku masa depan itu. Papua Nugini adalah tetangga dekat yang begitu jauh. Dia adalah sebidang putih sempit di ujung paling kanan peta nasional Wawasan Nusantara kita, di sebelah timur garis batas yang melintang lurus pada garis bujur 141 derajat (kecuali satu kelokan kecil mendekati ujung selatan, seolah-olah ada kerusakan pada penggaris si pembuat garis batas). Wilayah itu tidak pernah digambar utuh, bahkan sering pula tidak dinamai. Banyak orang Indonesia yang bahkan tidak tahu bahwa Papua Nugini adalah sebuah negara. Seorang kawan pernah bertanya pada saya, apakah Papua Nugini itu terletak di provinsi Papua atau Papua Barat.
Sama halnya dengan Papua Nugini. Di peta nasional negara ini, Indonesia hanya digambarkan sebagai sebidang vertikal sempit di batas paling baratnya. Orang Papua Nugini mungkin lebih banyak mendengar tentang Indonesia daripada orang Indonesia mendengar Papua Nugini. Bagi banyak orang Indonesia, tentang Papua Nugini hanya sekadar ketidaktahuan; tapi bagi sebagian orang Papua Nugini, Indonesia identik dengan perjuangan saudara-saudara sesama ras Melanesia di Papua Barat, kekerasan militer, Islam, ancaman, keagresifan.
17 Agustus 2014, di halaman Kedutaan Indonesia di Port Moresby, puluhan warga Indonesia memperingati 69 tahun kemerdekaan RI. Peringatan dibuka dengan para pengibar bendera melakukan upacara tradisi berlutut dan mencium bendera Merah Putih dengan takzim, sebagai bukti loyalitas mereka kepada negeri. Para peserta upacara kemudian menghormat sepanjang pengibaran bendera, dan Duta Besar membacakan teks proklamasi seperti halnya Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI 69 tahun lalu.
Di antara para peserta upacara itu, saya menemukan Dolf Marjen, seorang warga negara Papua Nugini yang berbaju batik dan fasih berbahasa Indonesia.Dolf lahir di Biak, pada tahun 1957, sebelum Papua menjadi wilayah Indonesia dan masih bernama Nugini Belanda. Ayahnya berhijrah ke Nugini Inggris pada tahun 1962, hanya satu tahun sebelum Indonesia mengibarkan Merah Putih di Papua. Dolf tetap tinggal di Biak, bersama kakek dan neneknya.
Jauh dari orangtua, Dolf hanya bisa membayangkan tentang ayahnya. Kakek dan neneknya hanya nelayan, sering mereka kehabisan uang. Dolf muda hanya bisa membayangkan: Ah, andaikan Ayah ada di sini, betapa mereka tidak perlu merasakan kemiskinan ini lagi.
Papua Nugini mendapat kemerdekaan dari Australia tahun 1975. Saat itu, ayah Dolf ikut rombongan delegasi Menteri Luar Negeri Papua Nugini berkunjung ke Biak. Dolf belajar di SMEA, meringkuk ketakutan ketika TNI mendatangi ruang kelasnya, khusus untuk mencarinya. Ketakutan terhadap tentara Indonesia adalah hal yang banyak dirasakan kaum minoritas di zaman Orde Baru. Tetapi para tentara itu mengatakan, “Jangan takut! Ayahmu ingin bertemu denganmu!” Para tentara itu membawa Dolf bertemu ayahnya. Sebuah pertemuan yang penuh air mata, tanpa banyak kata terucap. Bapak Eli, ayah Dolf, berjanji akan membawa Dolf ke Papua Nugini, menjalani hidup yang tanpa ketakutan di sisi timur pulau. Dolf berangkat pada tahun 1978 dan bekerja di badan keamanan maritim Papua Nugini hingga sekarang. Tetapi dia sudah merencanakan untuk pulang ke Biak. Di sana, dia sudah memiliki tanah dan sedang membangun rumah. Ketika rumah ini selesai nanti, Dolf akan kembali menjadi WNI. Menjadi WNI adalah juga impian ayahnya yang tidak kesampaian hingga akhir hayatnya. “Bagaimana pun juga Indonesia adalah rumah kami, akar kami,” katanya.
Mengenai akar ini, saya bertanya bagaimana pendapatnya dengan realita bahwa di Papua Indonesia sana telah dipenuhi orang-orang berbagai suku dan bangsa dari berbagai penjuru Indonesia, sebagaimana para penyeru Papua Merdeka mendengungkan bahwa orang Melanesia sudah bukan lagi tuan rumah di tanah mereka sendiri. Dolf mengatakan dia juga sering berdebat dengan orang-orang yang berpindah dari Papua Indonesia ke Papua Nugini untuk alasan ini (Di sini, mereka disebut sebagai “orang-orang West Papua”). “Saya tidak sama dengan orang-orang West Papua itu,” katanya, “Saya datang ke Papua Nugini dengan paspor Indonesia, saya bukan pengungsi. Saya kira, tidak masalah jika semua bangsa saling membangun dan saling menguntungkan. Apa artinya mengurung diri tapi menjadi terbelakang?” Dolf justru tidak ingin Papua merdeka, karena hasilnya pasti adalah kekacauan. Dia sudah melihat itu terjadi pada Timor Leste.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 telah melakukan repatriasi terhadap ribuan “orang West Papua” di Papua Nugini yang ingin kembali menjadi warga Indonesia. Seorang diplomat di KBRI mengatakan, sekarang bendera bintang kejora (bendera Papua Merdeka) yang berkibar di Port Moresby sudah jauh lebih sedikit daripada dulu. Dia juga mengingatkan saya, tidak semua pengungsi West Papua di Papua Nugini adalah para pemberontak, tetapi banyak pula para pengungsi yang takut terhadap tentara Indonesia.
Sejumlah pemerintah daerah di Papua bahkan memberikan fasilitasi terhadap para repatrian itu, termasuk menyediakan rumah dan tanah sampai dua hektar. Seorang pejabat dari Jayapura yang menghadiri Border Liason Meeting di Port Moresby pada 13 Agustus lalu mengatakan pada saya, di satu sisi program ini membantu mereka untuk kembali ke tanah air, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan penduduk asli yang tidak pernah mengungsi. “Apakah orang harus “memberontak” dulu baru mendapat tanah dan didengar pemerintah?” katanya. Masalah repatriasi dan pengungsi masih termasuk isu penting perbatasan kedua negara.
Para diplomat Indonesia di Port Moresby antusias menceritakan the 5th Melanesian Festival of Arts and Culture yang digelar 28 Juni hingga 11 Juli 2014 lalu. Ini adalah even besar di kawasan Pasifik Selatan, dan selama dua minggu lebih berita tentang Melanesian Festival mendominasi pemberitaan di surat kabar maupun televisi nasional. Ini juga adalah untuk pertama kalinya Indonesia berpartisipasi dalam festival bangsa-bangsa Melanesia itu, dan sangat memiliki arti politis bagi Jakarta. Sayang, kita di Indonesia tidak mendengar kabar mengenai even ini sama sekali, karena pada saat itu seluruh Indonesia tenggelam dalam ingar-bingar Pemilihan Presiden.
Festival bangsa Melanesia ini dihadiri Papua Nugini, Fiji, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, Australia (Selat Torrent), dan Indonesia. Di antara negara-negara Melanesia, hanya Vanuatu yang secara resmi mendukung kemerdekaan West Papua, karena ini termasuk dalam program politik kepala negara mereka. Walaupun pemerintah Papua Nugini mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia, Gubernur Port Moresby secara terang-terangan mendukung kemerdekaan West Papua.
Delegasi Indonesia membawa para artis dan penari suku-suku Melanesia dari Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua. Pihak Indonesia juga mengingatkan pembawa acara untuk berhati-hati dengan istilah “West Papua”, yang harus disebut sebagai “West Papua, Indonesia”, karena Papua Barat adalah satu provinsi di Indonesia dan dalam ajang ini Indonesia hadir sebagai delegasi nasional, bukan provinsi.
Pada saat delegasi Maluku tampil—orang-orang Melanesia yang berpakaian seperti Melayu dan menyanyikan lagu-lagu Melayu—banyak penonton Papua Nugini yang merasa orang Melanesia Indonesia ini begitu asing mereka. Hanya warna kulit yang serupa, tetapi budaya sudah terlalu berbeda, sudah bukan Melanesia lagi. Koran The National menampilkan foto mereka dengan caption “An Asian Touch”, juga menurunkan laporan tentang orang-orang West Papua di Papua Nugini yang membawa bendera bintang kejora dan foto-foto kekejaman TNI di Papua ke arena festival serta mengkritik penampilan Indonesia ini:
Tiga lelaki muda West Papua menangisi kebudayaan mereka yang mati pada perayaan Melanesian Festival of Arts and Culture di Port Moresby kemarin. … Mr. Papuanus mengatakan sangat sedih dan menangisi kebudayaannya karena mereka melihat budaya West Papua yang asli sudah dipinggirkan oleh orang Indonesia dalam penampilan mereka. “Yang ditampilkan Indonesia dalam Festival bukanlah budaya West Papua atau bahkan Melanesia, karena mereka memakai baju dan make-up yang dibuat dengan bahan Barat,” katanya. Dia mengatakan, bangsanya memiliki pakaian tradisional, budaya, kerajinan, tarian dengan musik, juga lukisan wajah yang sebenar-benarnya, untuk menunjukkan warna Melanesia yang asli, tetapi mereka dilarang tampil dalam festival ini.
Sambutan terhadap delegasi Indonesia berubah ketika pada hari terakhir mereka menampilkan tarian dari Tolikara, Papua. Para lelaki telanjang hanya dengan koteka membuat para penonton Papua Nugini terbelalak. Si perempuan pembawa acara bahkan begitu high ikut menari bersama. Para perempuan yang menonton juga tersorot pada bola kemaluan para lelaki Tolikara, bahkan ada yang mendatangi anggota menari itu dan minta izin mencabut bulu dari kemaluan si lelaki penari.
Festival ini, bagi Indonesia, adalah untuk menunjukkan posisinya dalam masalah West Papua. Indonesia juga mendatangkan gubernur Papua yang dalam pidatonya menegaskan Papua mengalami kemajuan dan kedamaian sebagai bagian dari Republik Indonesia. Seorang diplomat Indonesia mengatakan pada saya, kehadiran dan pidato gubernur Papua ini diyakininya telah melunakkan sikap gubernur Port Moresby terhadap masalah West Papua.
Indonesia juga telah mengubah pola diplomasinya dengan Papua Nugini. Sejak pembukaan kedutaan di tahun 1976, Jakarta sudah mengirim selusin duta besar, yang hampir semuanya berasal dari tentara. Hanya dua duta besar yang berasal dari sipil, termasuk duta besar sekarang, Andreas Sitepu. Beliau mengatakan, pola diplomasi dengan Papua Nugini berbeda dengan kalau kita berhubungan dengan negara lain. Tangan kita harus berada di atas. Hubungan bertemu muka langsung teramat penting, juga “berminyak air” yaitu berbagi dengan mereka apa pun yang kita bisa. Dan formula diplomasi yang terakhir namun terpenting adalah sabar, sabar, dan sabaaar.
Isu West Papua mendominasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Papua Nugini selama berpuluh tahun, tetapi belakangan ini sudah mulai berkurang seiring dengan meningkatnya kontak perdagangan dan hubungan people-to-people yang semakin dekat. Sejak tahun lalu, baru dimulai penerbangan langsung antara Port Moresby dengan Bali (seminggu sekali, Air Niugini). Berbagai produk Indonesia sudah membanjiri pasar Papua Nugini (mereka menyantap Indomie dan meminum Indomilk, walaupun banyak warga yang tidak menyadari bahwa “Indo” itu adalah “Indonesia”), mulai banyak pula perusahaan Indonesia yang berinvestasi di sini. Setiap tahun, Indonesia juga memberikan beasiswa bagi puluhan pelajar Papua Nugini, sebuah investasi pemerintah untuk menghasilkan duta persahabatan kedua negara di masa depan. Dalam daftar pencapaian pemerintahan yang diumumkan Perdana Menteri Peter O’Neill, salah satunya adalah “menjalin hubungan baik dengan Indonesia, negara tetangga yang selama 37 tahun ini terabaikan”. Indonesia adalah satu-satunya nama negara yang disebut secara eksplisit dalam daftar pencapaian itu.
juara banget tulisannya, sangat mencerahkan
fotonys kok gk di edit???
Aqu harap indonesia jangan terpecah belah … Karena kalau terpecah blah … Akan ada sewatu negara yang di untung kan …. Dari … Keterbelahan negara …
papua nugini buat isman komunis
papua nugini tuk isman
Musingi temen kie
Bang Agustin, di tunggu buku selanjutnya. tulisan abang sangat menghibur dan menghidupkan imajinasi saya akan negara-negara di balik garis-garis batas itu. di tunggu sekali Papua Nugini nya ^_^
Indonesia tanah air beta. Korang juga.
Kami sangat terkesan dgn tulisan Agustinus Wibowo, semoga dengan pena Pak Agus dapat menambah kesadaran manusia bhw mereka itu diciptakan oleh Tuhan YME, Allah Swt sebagai SATU SAUDARA, tanpa ada sekat Agama,Ras, kepercayaan, Dan batas negara itu adalah wilayah adm saja, tapi saudara kami Di Papua, Papua Nugini adalah satu ,dalam perjuangan dalam mengangkat harkat dan martabat sebagai manusia penyelamat bumi dr kerusakan dan keserakahan; Dari Ketum Relawan Bangsa ( diskriminasi No ,kesetiakawanan Yes
Tetap jaga nkri tetap utuh indonesia menjadi negara yg besar dan lbh maju dgn negara yg lain jngan ada lg negara yg merdeka yg msh wilayah indonesia
Sungguh mengesankan artikel ini, semoga papua tetap menjadi dari kesatuan NKRI.
Saya suka tulisan-tulisannya sangat mengesankan hati pembaca.
Saya suka tulisan-tulisannya. Sangat mengesankan
tancapkan cakar garuda (dalam arti baik) ke tanah papua nugini sebelum dibabat habis oleh sang naga (Cina daratan)