Titik Nol 11: Om Mani Padme Hum
Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan.
“Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan.
Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti.
Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam.
“Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.”
Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet menyebutnya Mampham-Yutso, danau yang tak tertaklukkan. Sedangkan Danau Setan, dikenal dengan nama Rakas Tal atau Langak-Tso, tempat bersemayamnya Rahwana. Di Danau Setan, walaupun bersebelahan saja dengan Danau Suci, sama sekali tak ada tanda kehidupan karena menurut legenda danau ini diliputi kuasa roh jahat.
Semakin saya berjalan, semakin berat rasanya. Seperti ketika kita sudah puas menikmati kesenangan duniawi, perjalanan batin menemukan cahaya terang sangat menyakitkan. Hari ini kami sudah berjalan hampir dua puluh kilometer. Sebenarnya bukan jarak yang jauh, tetapi karena oksigen di ketinggian lebih dari 4000 meter ini membuat siapa saja yang tidak biasa pasti terengah-engah.
Seum dengan sabar menuntun si Kim, gadis Korea kekasih hatinya itu, yang sudah pucat pasi. Kakinya hanya bisa menyeret. Berbekal tongkat kayu ia melangkah perlahan. Dari arah berlawanan, para peziarah Tibet melintas dengan penuh semangat. Bahkan nenek-nenek umur 80 tahunan masih lincah meloncati batu-batu besar sepanjang jalan.
Kim sudah nyaris tak kuat lagi, ketika kami memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai kecil. Tak kurang dari setengah jam kami duduk di sini, sampai Yan Fang, si gadis China yang jadi pimpinan rombongan kami, mengajak kami berangkat.
Aneh sekali. Kim yang semula tertatih-tatih, kini malah melesat cepat dengan tongkatnya. Bahkan saya tak sanggup mengejarnya. Si gadis Korea yang pucat pasi itu sudah jauh meninggalkan kami.
“Biarkan saja,” kata Yan Fang, “ini mungkin gejala keanehan di tempat tinggi. Bukan hanya otot dan paru-paru yang terpengaruh, bahkan terkadang kita tak bisa mengontrol saraf kita lagi.”
Di sini, oksigen kurang dari separuh kadar oksigen di permukaan laut. Bernafas susah, otak pun tak bekerja sempurna. Kalau kita yang dari tempat rendah akan mengalami gejala Altitude Sickness, orang pegunungan Tibet kalau dibawa ke dataran rendah pun akan mengalami pusing dan mual. Setiap manusia punya habitat hidupnya sendiri-sendiri.
Saya jalan seorang diri, karena kawan-kawan yang lain sudah jauh di depan. Punggung saya mulai terasa ngilu. Tas saya cuma berisi dua buku, makanan, dan air. Kaki saya sudah mulai menyeret. Mata berkunang-kunang. Tetapi justru dalam keadaan seperti ini saya melihat lebih jelas, walaupun bukan dengan mata.
Saya berpapasan dengan para peziarah Tibet. Mereka melintas, serombongan demi serombongan. Kulit wajah mereka hitam, dengan kulit pipi yang menebal terbakar sinar matahari. Sebagian melindungi hidung dan mulut mereka dengan masker, seperti dokter yang hendak mengoperasi pasien. Pakaian mereka eksotis, tidak pernah saya lihat sebelumnya. Jaket panjang sampai ke lutut, hanya satu lengannya. Topi koboi juga sangat populer. Kalung, gelang, dan beragam aksesoris menjadikan wajah dan tubuh mereka seperti kanvas dengan lukisan mozaik yang indah. Tetapi yang membuat saya takjub adalah tekad untuk terus maju, maju, dan maju.
Kakek tua berjalan dengan lincah, dengan tangan kanan memutar roda sembahyang. Satu putaran roda silinder ini berarti satu kali bacaan doa Om Mani Padme Hom yang tertulis di permukaan roda. Sepanjang perjalanan suci ini, roda doa terus diputar, mantra suci terus dilantunkan, menggumam naik turun dalam kemonotonan. Setiap kali saya mendengar mantra itu, selirih apa pun, hati saya bergetar.
Saya terus bertahan, menyeret kaki hingga ke puncak.
Saya berhasil menyusul kawan-kawan yang sudah jauh di depan. Rupanya, semangat ‘ekstasi’ yang dialami Kim sudah menguap. Kini kembali gadis yang pucat pasi itu kehilangan tenaga dan harus dituntun dengan sabar oleh pacarnya. Sungai mengalir deras di akhir perjalanan. Kami harus menyeberangi sungai ini untuk sampai ke Kuil Drira Phuk, tempat kami beristirahat malam ini.
Sungai ini cukup dalam. Gemuruhnya bergemeretak, menandakan batu-batu pun terhantam oleh kuat arusnya. Seum dengan sabar menata batu-batu besar untuk membuat jembatan, walaupun akhirnya selalu ambrol diterpa aliran sungai. Kaki saya tercelup dalam airnya yang langsung membuat beku. Sungai ini berasal dari lelehan salju di puncak Kailash. Bagi orang Tibet, apa pun yang berasal dari Kailash adalah suci.
Punggung saya terasa remuk ketika kami akhirnya sampai di tenda kecil di samping Drira Phuk. Gurat garis-garis sejajar horizontal menghiasi wajah utara Gunung Kailash. Tiang doa didirikan di hadapan Gunung Dewa. Para peziarah bersujud dan bersembah, hingga posisi benar-benar tertelungkup di atas tanah, di hapadan gunung. Dengan penuh takzim mereka memasangkan bendera doa yang mereka bawa dari jauh. Bintang kelap-kelip mulai bertaburan di langit cerah.
Sebuah keluarga Tibet membuka tenda peristirahatan di sini, menyewakan ranjang di kemah dan menyediakan makan malam. Menunya cuma satu – mi instan. Bahkan di tempat seterpencil dan setinggi ini, barang China pun sudah menjadi makanan pokok.
Aneh, walaupun sudah terlalu lelah dan berat, saya tak bisa tidur.
“Istirahatlah,” saran Yan Fang yang sudah berpengalaman, “Karena besok perjalanan lebih berat lagi.”
Dari ilusi padang rumput yang indah, saya menyadari bahwa perjalanan penemuan dan penyucian ini penuh derita.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 Agustus 2008
Happy Vesak Day, mas.. 🙂
Tibet adalah impian seumur hidupku
Kereeen bgt.
pengalaman yang menakjubkan
Keren.