Titik Nol 14: Altar Mao Zedong
Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet?
Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali.
“Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen.
Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi.
Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan kambing hanya pasrah menerima nasib. Saya pun pasrah memeluk tiang di pinggiran bak, berdoa semoga perjalanan ini cepat sampai.
Setengah jam jalan, truk langsung berhenti. Cuma sampai Barga, dua puluh kilometer di selatan Darchen. Saya melompat dari bak truk. Debu langsung mengepul. Setelah membayar dua puluh Yuan, sopir pun mematikan mesin.
Ini adalah desa kecil berdebu di dekat pos pemeriksaan tentara. Rumah berbentuk kotak-kotak dari tanah liat bertebaran di pinggir jalan. Bocah-bocah berjaket seragam sekolah, berkulit hitam terbakar matahari, langsung mengerubuti sambil tertawa senang. Wajah penuh debu. Ingus masih menempel di bawah lobang hidung, mengering. Mereka melompat-lompat riang sekali, melihat makhluk asing yang entah dari mana.
“Shushu…shushu… paman…. paman….” Saya langsung berasa tua dipanggil ‘paman’.. Sepasang petualang China tertawa terbahak-bahak.
“Mau ke Lhasa ya?” tanya Rui Liang, pria kurus ceking dan tinggi. “Dari sini tidak mudah. Kendaraan sangat jarang,” kata Paopao, si gadis berkaca mata besar, berjaket merah menyala.
Keduanya datang jauh-jauh dari Shenzhen, berkeliling Tibet selama berminggu-minggu dengan menumpang truk di jalan. Mereka dalam perjalanan yang berlawanan arah dengan saya, datang dari Lhasa lewat jalur selatan menuju ke Gunung Dewa.
Tak percaya menumpang truk itu susahnya setengah mati? Di Barga sudah ada seorang turis Hong Kong yang menginap dua hari, rambut sudah acak-acakan dan wajahnya kusut. Tak ada satu pun mobil yang lewat menuju Lhasa. Chung Manfai namanya, dahinya memantulkan sinar matahari yang terik.
“Hao nan o… Sangat susah… tak ada kendaraan sama sekali…,” katanya dalam bahasa Mandarin yang parah logatnya.
Saya memahami kejenuhannya. Tinggal sehari semalam di tempat seperti ini tentu membosankan. Selain rumah-rumah sederhana dan meja biliar di pinggir jalan, penduduk desa pun nyaris tak ada yang bisa bahasa Mandarin. Bahasa Tibet yang menggumam naik turun seperti mantra sama sekali tak dipahaminya. Selain kamera, buku, dan bocah-bocah yang ribut kegirangan, tak ada lagi hiburan lain.
Tiba-tiba debu mengepul dari arah Darchen. Suara truk bergemuruh. Asap hitam membungkus. Saya bangkit, merapikan kembali ransel untuk siap berangkat.
“Jangan keburu senang dulu,” kata Paopao. Itu truk orang desa. Tak mungkin pergi jauh dari sini.
Benar saja. Yang datang adalah truk penuh perabotan rumah tangga. Di atas lemari, meja, kursi, kompor, cerobong penuh jelaga, wajan, panci, semua ditumpuk di atas bak terbuka, duduk beberapa wanita Tibet berambut panjang berkepang dua, diikat jadi satu di bawah pinggang. Mereka berjubah panjang dengan pakaian penuh manik-manik. Ada pula anak kecil bertopi jiefangjun – tentara pembebasan komunis China. Kalau bukan karena truk yang bermesin butut, semua pemandangan ini ditambah dengan debu dan rumah lempung Barga pastilah pemandangan yang sama dengan zaman enam puluh tahun lalu.
“Tibet tak banyak berubah,” kata Paopao.
Orang di sini hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tak memikirkan sekolah, karir, tabungan, masa depan, investasi, dan segala beban dunia lain yang menindih pundak kita. Mereka hidup hanya untuk berbakti, bertakwa, bersembahyang, mengitari Gunung Dewa dan Danau Suci, melakukan perjalanan ziarah panjang sampai ke Lhasa dengan jalan kaki atau merangkak.
Tetapi siapa bilang tak ada yang berubah? Sejak pemerintah komunis China masuk sini, berapa ribu kilometer jalan beraspal dibangun, sampai Ali yang terpencil pun kini sedang sibuk membikin lapangan terbang? Saya teringat di sebuah puncak gunung Kunlun, di perkampungan mungil terpencil di salah satu tempat terliar untuk ditinggali manusia, ada sekolah reyot yang temboknya bertulis slogan-slogan mengagungkan Mao Zedong. Saya teringat mars komunis Hong Taiyang, Matahari Merah – pujian bagi Mao yang laksana mentari yang tak pernah padam di hati rakyat – bergema dari loudspeaker ringsek di sudut Darchen, beriringan dengan alunan mantra tanpa henti Om Mani Padme Hum.
Saya terhenyak menyaksikan altar keluarga Tibet di pinggir jalan berdebu Barga. Di pelosok Tibet ini foto Mao Zedong diletakkan di altar keluarga yang paling terhormat, bersama-sama dengan gambar Avalokitteshvara – Dewi Kwan Im, patung Budha Sakyamuni, lukisan suci Gunung Kailash dan Danau Manasarovar. Di hadapannya, ada barisan cawan sembahyang berisi lampu mentega. Air suci dipersembahkan, api suci dinyalakan, doa dilantunkan. Adakah tempat lainnya di Republik Rakyat China yang mengagungkan pemimpin besar komunis ini layaknya bodhisatva atau nabi?
Selama kuliah di Beijing, dari pergaulan dengan rekan mahasiswa, saya merasa respek terhadap Mao sudah jauh memudar bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mao bukan lagi figur manusia sempurna, apalagi dimistiskan dan dipuja bagai dewa.
Sebaliknya di Tibet, foto Mao disembahyangi di altar. Budha Tibet adalah aliran Vajrayana atau Tantrayana yang penuh dengan mistis, kepercayaan lokal, dan pemujaan figur orang suci. Namun di seluruh Tibet, Anda tak akan pernah menjumpai foto Dalai Lama. Pemerintah China melarang rakyat Tibet untuk menyimpan, apalagi menyembahyangi Dalai Lama. Mantan penguasa Tibet itu, walaupun masih hidup sebagai pemimpin spiritual, dianggap figur yang berbahaya bagi keamanan nasional.
Dulu orang Tibet selalu menyimpan gambar Dalai Lama, dibawa ke mana-mana bagai jimat. Dihormati, diletakkan di atas dahi – tempat tertinggi dan termulia bagi kaum Buddhis, dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Sekarang jangan kaget melihat sopir truk Tibet malah memasang foto Mao Zedong di samping kemudi dan percaya bahwa foto Mao akan menjauhkan mereka dari kecelakaan.
Tibet takkan berubah? Tekstur kehidupan di balik gunung ini masih langgeng. Kepercayaan, dunia spiritual, kosmos dan mandala mereka masih tetap sama. Lhasa, Gunung Dewa, Danau Suci, masihlah pusat dunia. Ritual ziarah, pengitaran tempat suci, sembahyang di depan altar, keyakinan, perputaran karma, alunan mantra, semuanya masih seperti ratusan tahun silam. Tetapi sekarang, Sang Matahari Merah turut bersinar di relung hati.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 21 Agustus 2008
Serasa aku berada di sana bersamamu Gus hehe 🙂
why u dont write english -,-
bergerunjal.. a new word for me.