Titik Nol 15: Balik Haluan
Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan.
Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya.
Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya.
“Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…”
Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti di Barga sudah membuat takjub. Saya pun tergoda untuk kembali ke Ngari. Siapa tahu malah bisa sampai ke Lhasa lebih cepat.
Baru saja kami naik, bus jalan dua ratus meter, langsung mogok. Setengah jam lebih baru jalan lagi. Sampai di Darchen direparasi. Xiao Wang melihat saya kembali lagi ke dusun ini hanya tersenyum.
“Tak ada mobil ya? Memang untung-untungan. Begitu sampai Barga, angkutan berikutnya susah sekali.” kata dia.
Baru pukul sembilan malam, ketika langit mulai gelap, bus beranjak meninggalkan Darchen. Saya penat sekali, memaksa tidur tapi tak bisa. Sopir menyalakan lagu pop Mandarin keras-keras, sepanjang malam. Saking kerasnya, saya sampai harus berteriak untuk ngobrol dengan Man Fai yang duduk di sebelah. Anehnya, dalam keributan musik amburadul ini, penumpang lain malah pulas tidur.
Bus lanjutan berangkat dari Ngari menuju Lhasa sore hari. Konon perjalanannya memakan waktu 48 jam. Selama ini rekor saya menumpang kendaraan umum adalah 52 jam nonstop, dari Beijing menuju Kunming dengan kereta api kelas ekonomi. Tetapi perjalanan itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bus trayek Ngari – Lhasa ini.
Tak ada tempat duduk. Semua penumpang diberi sebuah kasur yang berjajar dalam tiga saf, tersusun atas dan bawah. Setiap kasur lebarnya hanya 40 sentimeter dan panjangnya 125 sentimeter. Karena terlalu pendek, lutut terpaksa harus ditekuk sepanjang jalan.
Karcisnya pun sebenarnya tak murah. Untuk tempat di depan, yang katanya lebih nyaman, 720 yuan. Di belakang 600 yuan. Paling belakang, di mana lima orang penumpang dijejalkan tanpa kasur, 550 yuan. Angkutan sangat mahal di Tibet. Selain karena minyak harus didatangkan dari pedalaman China, medan pegunungan di sini pun berat untuk dilalui kendaraan.
Sejak meninggalkan Ngari, jalan gunung bergerunjal hebat. Lhasa 1760 kilometer jauhnya, sedangkan kecepatan bus cuma 15 sampai 20 kilometer per jam. Tiap jalan tiga jam, langsung rusak. Diservis sampai satu jam. Entah kapan sampainya.
Dua puluh jam berlalu, kami baru sampai di kota Gertse. Kalau dilihat di peta, masih baru 400 kilometer, tak sampai pula seperempat perjalanan. Tubuh rasanya sudah remuk. Di kota ini, banyak penumpang naik, sampai tak ada lagi tempat tidur tersisa. Bau apek mulai menyelimuti bus ini. Akankah saya bertahan sampai tujuan akhir?
Dalam perjalanan seperti ini, yang susah adalah makanan. Dari Ngari saya cuma membawa beberapa botol minuman bersoda – bukan pilihan bagus untuk daerah seperti ini. Yang ada saya terus merasa haus, sedangkan selama di perjalanan tak mungkin membeli apa-apa. Di luar sana tak ada orang. Cuma puncak gunung, padang rumput, kegersangan, danau, awan, mendung, rintik hujan, sambung-menyambung. Kekosongan yang maha luas.
Bosan? Tentu saja. Di tempat tinggi ini, tubuh kita bisa menjadi lemah. Saya sudah tak kuat lagi untuk berjalan, mengobrol dengan penumpang lain. Sopir menyalakan lagu pop Mandarin keras-keras. Saya terbaring, sesekali belajar kitab bahasa Urdu – bahasa yang akan dipakai di negara-negara berikutnya.
Hari ketiga, kami seharusnya sampai di Lhasa hari ini. Tetapi, jangankan Lhasa, separuh perjalanan pun belum kami lewati. Empat puluh jam perjalanan sudah berlalu, kami baru sampai di Coqen, baru 600 kilometer dari Ngari.
Kota ini sudah lebih China daripada Tibet. Walaupun masuk wilayah Tibet, orang asli sudah tergusur oleh kaum pendatang. Jalan beraspal, barisan tiang listrik, toko-toko, restoran Sichuan, bahkan ada juga karaoke dan klub malam. Sesekali tampak orang Tibet melintas di jalan.
“Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa” dan slogan-slogan sejenis bertebaran di seluruh penjuru kota. Tentara dan polisi di mana-mana, kebanyakan juga orang Han.
Yang membuat saya semakin teringat akan revolusi kebudayaan adalah pagi-pagi begini, ketika matahari baru terbit dengan sinarnya yang keemasan, sudah ada suara pengumuman melengking dengan loudspeaker.. Suara melengking ini begitu khas, suara seorang komrad wanita yang menggelorakan semangat revolusi, semangat untuk bangkit, semangat bersatu, pembebasan Tibet, pembaharuan, mars komunis, anti feodalisme, dan warna merah yang menyelimuti seluruh negeri.
Nuansa revolusi, propaganda loudspeaker pagi hari yang menggebu-gebu, sudah jadi barang langka di kota-kota besar China. Tetapi di sini, di tempat terpencil dikelilingi gunung dan padang di atap dunia, semangat itu masih menemani keseharian.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 Agustus 2008
sdh beli, lagi baca…asyyiikk
Aku nyilih oleh pa ?
dina iki cak agustinus postinge rombongan. nyaur sing 2dina wingi 😀
great composition and so detailed! look at the brown wall!