Titik Nol 19: Biksu Muda
“Tashidelek!” dua orang biksu muda menghentikan saya yang sedang berjalan di jalan raya Lhasa.
“Budha memberkati.” Mereka membungkuk. Saya ikut membungkuk, membenturkan kepala kami sebagai tanda salam yang paling terhormat.
Jalanan kota Lhasa tak pernah sepi. Bendera warna-warni menghias sepanjang jalan, merayakan 40 tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet. Empat puluh tahun ini, sudah begitu banyak perubahan di atap dunia ini. Mobil hilir mudik di jalan utama yang lapang dan beraspal mulus. Toko-toko berbaris, menunjukkan ekonomi yang sedang berkembang. Restoran Sichuan menebarkan aroma masakan Tiongkok yang menggoda. Orang-orang berpakaian trendi, bersepatu hak tinggi atau bersemir hitam mengkilat, berjalan di ruas jalan yang sama dengan para biksu, pria berjubah bulu, atau perempuan berpakaian tradisional.
Lhasa adalah percampuran berbagai unsur kehidupan. Para lama atau biksu hilir mudik di jalanan yang kelap-kelip oleh lampu neon modern, sibuk berbicara dengan telepon genggam mode terbaru. Ada pula yang menikmati jalan-jalan sore di kota, membeli yangrouchuan – sate kambing, dari sebuah warung Sichuan. Para biksu muda di ibu kota ini cukup berduit juga rupanya. Selain membaca sutra dan mantra di dalam kuil, mereka pun keluar merambah kesenangan duniawi di kota ramai.
“Tashidelek,” dua biksu berambut pendek nyaris botak ini membuyarkan lamunan saya.
“Beramallah, beramallah.. Kami datang dari kuil. Kamu boleh memberikan sumbangan sukarela, demi amal baik, karma bagus, dan keberuntungan.”
Saya membuka dompet saya, mengeluarkan selembar uang 2 Yuan, dan memberikan pada salah seorang biksu muda itu.
“Tuocetse. Terima kasih,” sekali lagi mereka menunduk.
Salah seorang merogoh sesuatu dalam lipatan jubah merah marunnya, mengeluarkan batu hitam kecil.
“Terimalah ini, jimat dari kuil kami. Dengan menyimpan jimat ini, Budha akan melindungi kamu dari kekuatan jahat.”
Saya sebenarnya tak percaya dengan jimat-jimatan, tetapi saya terima juga pemberian mereka sebagai kenang-kenangan. Biksu yang satunya mengeluarkan buku tebal.
“Sekarang kamu isi buku sumbangan,” perintahnya, “Tulis nama, alamat, dan besar sumbangan.”
Saya melihat daftar penyumbang lainnya. Semua menulis angka besar-besar – lima puluh, seratus, dua ratus, lima ratus Yuan. Saya hanya menyumbang dua Yuan, pantaskah menulis di sini? Lagi pula, saya tak yakin dua biksu pinggir jalan ini bisa menerima sedekah sampai ratusan Yuan.
Setelah saya menulis buku itu, kedua drapa – biksu yunior – meminta saya menyumbang lagi.
“Bukankah tadi katanya sukarela? Bukankah tadi kamu bilang berapa pun tak masalah? Dua Yuan adalah yang mampu saya berikan,” saya mengelak.
Kedua biksu tak mau tahu, mereka setengah memaksa meminta saya memberi lebih banyak lagi.
Saya berbalik arah, meninggalkan mereka cepat-cepat. Sungguh tak disangka, kedua biksu itu mengejar.
“Kembalikan! Kembalikan!” kata seorang dari mereka dengan kasar.
Setelah batu hitam itu berpindah tangan, kembali lagi ke tangan biksu itu, mereka langsung ngeloyor pergi. Tanpa ucapan terima kasih apa pun.
Seburuk inikah moral biksu di sini, menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk memeras orang?
“Kamu harus berhati-hati di Lhasa,” kata Man Fai si turis Hong Kong, “di sini yang berpakaian biksu bukan semuanya biksu. Banyak lama palsu yang pekerjaannya menipu, menggunakan nama Budha untuk mengeruk keuntungan!”
Walaupun demikian, bukan berarti yang memeras orang, belanja sate kambing di jalan, berkutat di toko celana jeans, atau asyik memilih-milih handphone semuanya adalah biksu palsu. Biksu asli pun mungkin berbuat demikian, apalagi sekarang para biksu sudah punya uang.
“Kami berasal dari sebuah kuil kecil di Qinghai,” kata seorang biksu muda bertopi segitiga, “Kuil kami tak terkenal, di desa terpencil. Setiap bulan kami mendapat uang 150 Yuan dari pemerintah untuk biaya hidup. Kalau di Lhasa atau Shigatse, di kuil-kuil besar, gaji biksu dan lama jauh lebih mahal lagi, bisa sampai ribuan Yuan.”
Biksu muda ini, bersama keempat rekannya, datang dari kampung halaman mereka di provinsi Qinghai sampai ke Lhasa dengan berjalan kaki. Pilgrimage, ziarah, adalah bagian penting dalam ritual Budha Tibet. Ziarah ke tempat suci adalah perjalanan pembersihan diri. Lhasa, dengan istana Potala, adalah salah satu tujuan ziarah terpenting seumur hidup.
Yang mampu, berjalan kaki dari rumah, menempuh ribuan kilometer pegunungan tinggi. Yang lebih religius lagi, menyembah dan merangkak sepanjang jalan. Sesampai di hadapan Potala, mereka menyembah dengan menjatuhkan tubuh di tanah. Walaupun di dalam Potala sudah tak ada Dalai Lama, hanya kumpulan turis yang membayar mahal dan patung-patung yang dipajang.
“Perjalanan ini begitu berarti buat kami,” kata drapa itu, “Kami datang dengan jalan kaki selama tiga belas hari, tinggal di penginapan murah, dan pulang menumpang kendaraan. Uang kami tak tersisa banyak. Tetapi setidaknya, salah satu keinginan hidup – melihat Potala dengan mata kepala sendiri – sudah tercapai.”
“Saya ingin ketemu Dalai Lama,” kata biksu muda lainnya, umurnya baru 20 tahun, “Tahun kemarin, saya sudah mencoba menyelundup, dari Qinghai hingga ke Tibet, berusaha keluar dari negeri China. Tetapi sial, di perbatasan Nepal saya tertangkap tentara China.. Akhirnya saya dikirim balik ke Lhasa, dipulangkan ke Qinghai, dipenjara, dapat peringatan keras. Tetapi saya tak takut, suatu saat nanti akan saya coba lagi.”
Menyebut nama Dalai Lama di Tibet adalah hal yang teramat sensitif. Menyimpan fotonya bisa masuk penjara. Tetapi di luar garis batas Tibet, di provinsi Qinghai aturannya lebih longgar. Walaupun di sana komunitas orang Tibet juga cukup besar, tetapi tidak ada larangan untuk menyimpan foto Dalai Lama. Para biksu muda ini memendam kerinduan yang mendalam untuk bergabung dengan sanak saudara Tibet dan Dalai Lama di pengasingan.
Mereka masih muda. Ziarah bagi mereka bukan hanya perjalanan spiritual, tetapi juga melihat warna-warni ibu kota yang megah dan modern ini. Di hadapan Potala mereka tersenyum bahagia, memanggil fotografer keliling untuk memotret mereka berpose di hadapan Istana Potala – perjalanan yang telah lama mereka impikan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 Agustus 2008
Jadi inget jalan2 ke Dharamsala, berbincang ama @DalaiLama Alhamdullilah ada teman kasih buku titik nol di India, baca lagi 🙂
suwi ora posting. kadingaren posting sore (wib) biasaè isuk.
Saya sedang membaca titik nol nih gus
Yakin, yg difoto biksu beneran? Kq nggak botak eh gundul mas..? Ups! Maaf.. 🙂
Om mani padmi hum
Pengendali angin. Avatar Aang.