Recommended

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO)

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk.

Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap.

Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya.

Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya di rumah ini adalah sebagai pembantu.

Rumah panggung Donchuk sederhana. Tak ada listrik di sini. Kalau malam langsung gelap pekat, seperti seluruh desa Shegar yang ditelan kelam. Tak ada air juga. Donchuk jarang mandi. Anaknya mandi dengan air sebaskom besar saja. Kalau urusan toilet, tinggal turun ke jalan dan membuang hajat di pinggir jalan. Di sini hal yang sangat biasa.

Di bawah kelap-kelip lampu minyak, kami menikmati makan malam buah tangan ibu Donchuk. Bakmi panjang dan lebar dengan sayur-sayuran. Bukan makanan tradisional Tibet, mungkin juga khusus dimasak karena ada saya yang menginap di rumah ini.

Kemarin, sebelum saya berangkat ke Everest bersama Donchuk dan sepeda motor tuanya, saya sempat menitipkan tas ransel saya di rumah ini. Hari ini, pelayan Donchuk menyodorkan kembali tas ransel besar itu.

Betapa terkejutnya saya ketika melihat tas saya sudah berubah wujud. Talinya copot. Isinya pun sudah teracak-acak.

Donchuk pun sama terkejutnya dengan saya.

“Tak mungkin. Tak mungkin. Shushu, periksa lagi, apa ada barang yang hilang. Periksa. Periksa.”

Ia begitu cemas. Tetapi sekarang sudah terlalu gelap, saya pun tak tahu barang apa yang kurang.

Paginya, hal pertama yang ditanyakan Donchuk apakah ada barang yang hilang.

“Tak apa, cuma satu baju dan satu celana saja,” jawab saya dengan bodohnya.

Bagi saya kedua barang itu tak begitu berarti, dan maksud saya supaya Donchuk tak perlu terlalu memikirkan kejadian ini lagi.

Hasilnya sungguh di luar dugaan. Seisi rumah langsung kalang kabut, terobrak-abrik kedamaiannya.. Mereka mencari di kolong-kolong, membalik semua selimut, membuka lemari, mencari-cari baju dan celana kumal saya yang hilang.

“Tak perlu dicari, tak perlu dicari, cuma baju saja. Saya tak ada masalah sama sekali,” saya berusaha menghentikan kekacuan di rumah ini.

Donchuk menangis. Matanya sembab. Air mata membasahi pipinya yang keras.

ShushuShushuNga ini bukan pencuri. Nga tidak pernah mencuri, barang apa pun. Nga ini orang jujur, bekerja jujur, makan jujur. Shushushushu coba pikir-pikir lagi, mungkin ketinggal di losmen kemarin.”

Sungguh sedih rasanya melihat keramahtamahan keluarga ini langsung berubah drastis menjadi kekacauan, penyesalan, rasa bersalah, hanya gara-gara saya tak bisa jaga mulut.

Shushu, kalau tak percaya, shushu geledah sendiri rumah kami. Geledah shushu, cari sendiri, buka semua lemari, periksa semuanya. Nga bukan pencuri. Kami bukan pencuri,” air mata Donchuk meleleh. Saya semakin larut dalam keharuan.

“Tak perlu dicari, Donchuk, cuma baju saja… itu bukan apa-apa. Biarlah hilang.”

Bukan baju atau apa pun sebenarnya yang menjadi kekhawatiran Donchuk, melainkan aib tertuduh sebagai pencuri – walaupun saya sama sekali tak menuduhnya. Aib ketidakmampuan melindungi tamu – walaupun sama sekali bukan kesalahannya. Aib tak mampu menepati janji sendiri – walaupun ia sepanjang waktu hanya menemani saya. Rasa malu, bersalah, kehilangan martabat, membuat Donchuk semakin histeris.

Ia menangis sesenggukan,

Shushu jangan pergi ke Tingri, jangan ke Nepal. Periksa dulu rumah ini. Nga bukan pencuri… keluarga nga tidak pernah mencuri….”

Suasana rumah ini menjadi begitu kikuk. Saya tak bisa bertegur sapa dengan siapa pun. Ibu Donchuk hanya membisu. Pelayannya juga terus menghindar. Seorang bocah sudah berangkat sekolah, satunya hanya diam duduk disudut ruangan.

Hanya adik Donchuk yang menenangkan saya,

“Tak apa. Memang seperti ini kultur orang Tibet. Kami tak pernah menipu, tak pernah mencuri. Ini aib besar. Sebenarnya, kemungkinan si pelayan yang mengambil. Tapi kami tak punya bukti.”

Saya tertunduk, penuh penyesalan. Reaksi orang Tibet terhadap kejadian remeh seperti ini sungguh di luar dugaan. Adik Donchuk menyarankan saya untuk tenang, nanti kakaknya juga akan reda sendiri. Sementara ini sebaiknya jangan bicara apa pun dengan Donchuk.

Saya mengemasi barang saya, merapikan kembali tas ransel yang sudah morat-marit, mencangklong, menuruni tangga kayu, menuju jalan raya Shegar, menunggu tumpangan truk menuju ke Nepal. Hati saya masih berantakan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 September 2008

Di dalam rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di dalam rumah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bersama tetangga di Shegar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bersama tetangga di Shegar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan desa baru pulang dari ladang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan desa baru pulang dari ladang. (AGUSTINUS WIBOWO)

7 Comments on Titik Nol 28: Air Mata

  1. menggugah..terharu. tak mampu berkata-kata

  2. Hidup adalah perjalanan. Dan perjalanan adalah hidup.

  3. Seandainya semua orang di muka bumi ini seperti keluarga yang Anda ceritakan di atas….

  4. lg di mana posisi bang ? sy lg baca garis batas ni, di web nya abg

  5. Saya bisa membayangkan perasaan Mas Agustinus ketika meninggalkan rumah tersebut. Maksud hati, tidak mau merepotkan. Akhirnya malah bikin repot satu rumah.
    Menyentuh sekali.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*