Titik Nol 30: Nyaman di Nyalam
Jalan raya Friendship Highway yang menghubungkan negeri China dengan Nepal beraspal mulus, walaupun masih ada perbaikan jalan di sana-sini. Ukuran keberhasilan negeri ini adalah pembangunan di mana-mana, merambah semua sudut negeri, meningkatkan kesejahteraan dan memperadabkan penduduknya. Bahkan gunung dan padang di kaki Himalaya pun kini sudah terjamah listrik dan jalan raya.
Di padang rumput yang menghampar itu, air sungai bergemericik. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tepi sungai, menceburkan diri dalam airnya yang segar. Tak ada malu, tak ada sungkan. Mereka hidup dalam surga mereka yang tak terjamah.
Sementara kami, di dalam truk Dongfeng yang penuh sesak, dihantui kecemasan menuju Nyalam. Baru saja saya memberitahu Ding bahwa sejatinya saya orang asing. Di Nyalam, ada pos pemeriksaan besar. Orang asing yang tanpa permit akan kena hukuman. Sopir truk yang nekad memberi tumpangan pada orang asing juga akan didenda.
“Jangan kuatir,” kata Ding menghibur, “kamu adalah mahasiswa Tsinghua. Langit pasti akan menolongmu.”
Langit senja kemerahan, membilas puncak salju Himalaya yang berbaris di hadapan. Salju putih berubah menjadi kuning kemerahan, cantik sekali. Ding sering menghentikan mobilnya hanya untuk memberi kesempatan untuk memotret.
“Mobil ini adalah punyamu, tak perlu berterima kasih. Justru saya merasa sangat terhormat mengangkut seorang anak Tsinghua.”
Menjelang malam, kami hampir sampai di kota Nyalam, kota perbatasan yang penuh dengan tentara dan polisi. Truk kami dihentikan di sebuah pos. Setiap melewati pos polisi, hati saya selalu gundah. Itulah perasaannya menyelundup, seperti seorang pencuri yang selalu dikejar ketakutan.
Tetapi bukan karena saya yang jadi masalah. Tentara baru saja menangkap seorang penyelundup dari Nepal dan meminta kami menyerahkan pria malang itu ke pos polisi di Nyalam, sepuluh kilometer jauhnya dari sini.
Ini pertama kali saya melihat wajah orang Nepal. Pria ini tertunduk pasrah. Tubuhnya pendek sekali, sekitar satu setengah meter saja. Kulitnya hitam, bukan karena terbakar matahari seperti orang Tibet, tetapi hitam gelap yang sebenarnya. Tubuhnya kurus, kumisnya tebal. Dari tadi hanya tertunduk tak berkata apa-apa.
“E…. saathi…teman…,” Ding berusaha mengajaknya berbicara dengan kosa kata bahasa Nepalnya yang cuma itu.
Penyelundup itu diam saja. Saya mengajak bicara bahasa Hindi, juga tak ditanggapi. Terkadang ia menggumam sendirian. Ia tertunduk lesu di samping saya. Tangannya tidak diborgol, tetapi ia sendiri pun tak tahu nasib apa yang akan dialami.
Penduduk Nepal di perbatasan boleh melintas ke Tibet tanpa visa dan dokumen, tetapi hanya sampai ke Zhangmu dan Nyalam. Lebih dari itu, mereka harus punya dokumen lengkap. Nampaknya pria ini berusaha masuk lebih jauh ke dataran China lewat Nyalam. Sungguh nekad, karena tentara, polisi, dan mata-mata China tersebar di seluruh penjuru Tibet.
Menjelang tengah malam kami baru sampai ke Nyalam. Pos polisi memasang portal, kota ini sudah tertutup untuk perlintasan kendaraan apa pun. Pertama-tama kami sibuk menyerahkan tangkapan Nepal ini. Tentara pun sebenarnya bingung mau diapakan orang Nepal ini. Orang itu akhirnya dibiarkan berkeliaran bebas di Nyalam. Kemudian Ding merayu polisi untuk diizinkan lewat. Karena sibuk, polisi pun lupa memeriksa dokumen para penumpang. Saya yang juga penyelundup malah melenggang nyaman di kota Nyalam.
“Setiap hari ada kuota jumlah truk yang boleh lewat sampai Zhangmu,” kata Ding, “cuma sepuluh per hari, dan kita terlambat. Malam ini terpaksa kita menginap di sini.”
Kami mencari rumah makan dan penginapan Sichuan. Xiao Bai dan pasangannya datang belakangan. Kami makan bersama, semua Xiao Bai yang bayar.
“Kamu sudah tak ada uang lagi. Namanya sesama tukang jalan, kita harus saling tolong-menolong.”
Ding makan di meja sebelah. Dengan pemilik hotel yang sesama orang Sichuan, dengan bangga Ding bercerita tentang anak Tsinghua yang menumpang truknya.
“Dari sepuluh juta orang, hanya dua yang bisa masuk Tsinghua! Satu anak Tsinghua masih jauh lebih berharga dari seluruh kota Nyalam beserta segala isinya!” Pujian yang terlalu tinggi, diulang-ulang tanpa henti. Saya sampai tak enak hati mendengarnya.
Bahkan tanpa sepengetahuan saya, Ding sudah membayar kamar saya menginap di losmen ini.
“Tak apa. Menolong seorang anak Tsinghua, bagi saya sudah merupakan guangrong – kehormatan.”
Nyalam, sebuah pos perbatasan seram bagi para penyelundup, kini malah menjadi nyaman berkat bantuan Ding dan kawan-kawan yang baru saya kenal di jalan.
Pagi hari, kami berangkat ke Zhangmu, kota perbatasan Tibet dengan Nepal. Nama aslinya sebenarnya Dram, terlalu susah untuk lidah orang China. Jaraknya hanya 30 kilo di selatan Nyalam, jalanan terus menurun. Di pinggir jalan ada penunjuk kilometer, sudah menunjuk angka 5300 lebih. Jalan raya ini adalah yang terpanjang di seluruh China, yang konon angka nol nya berasal dari kota Shanghai.
Setelah melintas Nyalam, pemandangan Tibet yang bergunung salju dan berpadang menghampar sudah tinggal kenangan. Gunung-gunung Himalaya kini digantikan bukit yang sambung-menyambung.. Padang rumput digantikan hutan lebat berwarna hijau pekat, sehijau warna pepohonan di Indonesia. Gemericik sungai kecil kini berganti air terjun yang mengalir deras. Alam berubah drastis, seperti spektrum yang tiba-tiba saja berganti babak.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 September 2008
SIP