Titik Nol 36: Dimabuk Arak
Pushkar Baral adalah pegawai Radio Nepal. Wajahnya bersih, dahinya lebar, dan tubuhnya kekar. Sore ini, ia mengajak saya ke rumahnya di Patan.
Perkenalan saya dengan Pushkar sebenarnya tak sengaja. Seorang kawan, wartawati di Indonesia, pernah ikut pelatihan jurnalisme di Eropa dan berkenalan dengan seorang jurnalis Radio Nepal. Saya diberi alamat emailnya, lengkap dengan ucapan basa-basi titip salam dan apa kabar, dengan harapan bisa membantu saya menambah kawan di Kathmandu.
Alamat email yang dipakai adalah email kantor, Radio Nepal. Jurnalis yang dimaksud sudah tidak bekerja di sana lagi, dan penggantinya, Pushkar Baral, sama sekali tidak tahu-menahu ke mana rimbanya kawan itu. Akhirnya, setelah berulang kali berbalas email, saya malah berkawan dengan Pushkar.
“My friend, kalau memungkinkan saya ingin berbagi pengalaman denganmu dan masalah yang kau hadapi di Kathmandu ini.”
Sehabis tutup kantor, jam 6 sore, Pushkar menjemput saya di losmen. Kami berangkat bersama ke rumahnya di Patan, kota kuno yang masih di lingkungan Lembah Kathmandu.
“Jadi jurnalis di Kathmandu gampang-gampang susah,” katanya, “Di sini kita harus berhati-hati kalau berurusan dengan kabar kerajaan. Kebebasan pers memang ada, tetapi ada batasnya.”
Pembantaian besar keluarga kerajaan Nepal, tanggal 1 Juni 2001, adalah kejutan besar di awal milenium. Dalam tragedi ini, raja, permaisuri, pangeran, putri, dan anggota keluarga kerajaan lainnya terbunuh. Keterangan resmi pemerintah Nepal, Pangeran Dipendra yang mabuk berat membantai ayah, ibu, kakak dan adiknya sendiri ketika keluarga itu sedang berkumpul. Pangeran Dipendra sendiri tewas.
Tragedi itu seketika mengubah sejarah Nepal. Negeri yang semula nyaris tak terdengar, tersembunyi di kaki gunung tinggi Himalaya dalam kedamaian dan kebisuan, kini menjadi perhatian dunia.
Raja baru, Raja Gyanendra, kurang disukai rakyat. Segala macam gosip, rumor, dan teori konspirasi berhembus di kalangan rakyat jelata. Tak banyak orang yang percaya dengan keterangan resmi pemerintah.
“Bagaimana pun kejadiannya, jelas hanya Raja Gyanendra yang paling diuntungkan dalam peristiwa ini. Saya tak berani cerita tentang konspirasi atau menuduh apa-apa, yang jelas kepercayaan rakyat Nepal terhadap raja sangat rendah.”
Berita miring tentang raja baru tak mungkin disiarkan. Gumaman orang-orang di jalan tentang buruknya perekonomian, berkurangnya kebebasan, merajalelanya korupsi dan kecurangan, memburuknya keamanan, ditambah lagi gerakan Maois yang semakin menghebat, menunjukkan ada rasa tidak puas dan kecewa di kalangan rakyat jelata.
Radio Nepal, radio resmi pemerintah, berkantor di Singha Durbar. Durbar ini adalah pusat pemerintahan Nepal, tempat kedudukan perdana menteri dan parlemen.
“Setiap saat saya juga bisa bertemu Perdana Menteri,” kata Pushkar, “karena tempat kami yang sangat sensitif, untuk masuk ke kantor pun pemeriksaannya ketat sekali. Bahkan pegawai tetap sekali pun tetap diperiksa. Saya harus menunjukkan semua isi tas saya.”
Gaji Pushkar tak besar. Hanya 128 dolar per bulan. Ia harus menghidupi istri dan anaknya. Mereka tinggal di satu lantai rumah kontrakan. Di lantai atas, yang tinggal keluarga lain. Kontrak rumah di Kathmandu tidak murah. Sekitar sepertiga gaji Pushkar habis hanya untuk membayar uang kontrak.
Keluarga Pushkar sebenarnya berasal dari desa di puncak sebuah bukit di bagian timur Nepal, jauh di pedalaman. Butuh waktu tiga hari dari jalan raya untuk berjalan kaki sampai ke kampungnya. Tekstur Nepal yang bergunung-gunung dan berbukit menyebabkan sebagian besar perkampungan di negeri ini tak terjangkau lalu lintas, terkunci dalam dunianya masing-masing.
“Sebenarnya, saya ingin membawa kamu ke sana,” kata Pushkar, “tetapi saya takut. Di sana banyak Maois. Saya tahu Maois memang tidak menyerang orang asing, tetapi saya ini juga incaran mereka karena saya bekerja dengan pemerintah berkuasa.”
Hari ini, berita televisi menyiarkan, bahwa Maois menyetujui gencatan senjata dengan pemerintah, karena tiga bulan berikut ini adalah puncak kedatangan turis asing.
Rumah Pushkar sederhana. Istrinya juga bekerja, malamnya sibuk memasak. Kami menonton televisi. Sudah bertahun-tahun Pushkar beli pesawat televisi ini, tetapi sampai sekarang ia belum paham bagaimana mengoperasikannya. Entah mengapa tampilan menu televisi diseting ke Bahasa Indonesia. Sejak hari pertama beli sampai sekarang, Pushkar hanya bisa mereka-reka menu yang tertampil.
Kami menonton DVD dokumenter tentang kehidupan umat Hindu Bali. Pushkar sangat takjub.
“Walaupun agamanya sama, tetapi perbedaannya jauh sekali.”
Orang Nepal punya kebiasaan makan larut malam. Kami baru makan setengah sebelas malam. Menunya adalah dhal bat. Piringnya dari logam, beruas-ruas. Satu ruas untuk nasi, dua ruas untuk dua macam lauk pauk, dan satu lagi untuk yoghurt. Mereka makan di lantai, tanpa sendok. Nasi dicampur yoghurt, lalu diaduk dengan sayuran.
Saya semula kelaparan, tetapi karena makanan sudah siap selarut ini, nafsu makan pun sudah jauh berkurang. Malamnya, istri Pushkar menyodori minuman berwarna putih – arak beras. Saya berusaha menolak, tetapi tak enak dengan keramahan mereka.
Dua teguk saja. Lima belas menit sesudahnya, kepala saya berat. Tiga puluh menit sesudahnya saya ambruk.
Saya tidur di dapur. Tikus berlarian ke sana ke mari. Cicitnya membangunkan tidur saya yang sedang mabuk. Saya cuma berharap tidak ada yang nyasar berlompatan ke wajah.
“Kami benar-benar minta maaf,” kata Pushkar dan istrinya dengan wajah serius, “Untung kamu tidak apa-apa. Percayalah, kami bukan orang yang berniat jahat.”
Mereka takut saya berprasangka yang bahwa mereka berhati jahat sengaja meracuni orang asing untuk dirampok.
Sungguh tak pernah saya berpikir seperti itu. Kehangatan dan keramahtamahan keluarga sederhana ini sudah begitu menyentuh hati.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 September 2008
(y) Keren