Titik Nol 45: Dewi Hidup
Hari ini adalah hari keempat perayaan Indra Jatra. Kumari Devi, sang dewi hidup, akan memberikan pemberkatan bagi raja dan seluruh warga Kathmandu. Mozaik warna-warni Nepal membungkus Lapangan Durbar dalam gelora perayaan.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kebiasaan menyembah dewi hidup di Nepal bermula. Legenda mengatakan, raja Jayaprakash Malla dari abad ke-17 terpesona oleh kecantikan Dewi Taleju waktu bermain catur dengan sang dewi pelindung kerajaannya. Kecantikan itu membangkitkan nafsu birahinya. Sang Dewi, yang bisa membaca pikiran raja, marah besar dan mengutuknya. Dewi meninggalkan istana itu sambil memberi tahu titisan berikutnya adalah seorang gadis muda dari kasta rendah.
Gadis yang dipercaya sebagai titisan Dewi Taleju dijadikan Kumari Devi, dewi hidup pelindung keluarga kerajaan dan Lembah Kathmandu. Tradisi itu berlangsung hingga sekarang. Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan masing-masing punya seorang Kumari Devi yang dipuja umat Hindu dan Budha Newari.
Kumari Devi dipilih melalui serangkaian upacara dan pemilihan yang mirip dengan tradisi Budha Tantrayana di Tibet dalam memilih Dalai Lama dan Panchen Lama. Serangkaian mimpi, ilham, dan firasat menunjukkan letak nominasi titisan Dewi Taleju. Gadis-gadis kecil keluarga Budha Newari dari kasta Sakya, sekitar empat tahun umurnya, yang memenuhi 32 syarat fisik kesempurnaan, selanjutnya menjalani serangkaian tes untuk menentukan mana yang Kumari sejati. Gadis yang bisa menunjukkan barang-barang yang dipakai Kumari sebelumnya dan tidak takut menjalani upacara seram dengan penari bertopeng kerbau, adalah Kumari yang sesungguhnya.
Sang Kumari kemudian tinggal dalam ‘penjara’-nya yang mewah – Kumari Ghar (Rumah Kumari), bangunan indah di hadapan Istana Durbar.. Di sini, setiap hari ia menerima kunjungan umat yang mencari berkat. Ia bermandi limpahan sesaji dan manisan yang dibawa oleh umat. Ia menjalani hidup yang ketat dalam istana ini. Tak bebas bertemu keluarga dan kawan-kawannya, tak boleh sembarangan keluar, dan tak pergi sekolah. Hidup Kumari diatur oleh para penjaganya, makan, tidur, sembahyang puja, bermain, berjumpa keluarga, semuanya ada yang mengatur.
Gadis ini begitu suci, sehingga istananya tak boleh dirambah oleh orang yang bukan Hindu. Wajahnya tak boleh dipotret. Bahkan raja pun menciumi kakinya yang tak pernah menginjak tanah untuk mendapatkan berkah. Tetapi kesuciannya langsung berakhir begitu ia mengalami pendarahan pertama. Dewi Taleju meninggalkan tubuhnya. Kumari, dari seorang dewi hidup berubah kembali menjadi manusia biasa. Kumari berikutnya harus dicari lagi, melalui proses jampi-jampi, ilham, ujian, dan pentahbisan yang sama.
Satu hari dalam setahun, di hari Kumari Jatra yang menjadi puncak perayaan Indra Jatra, sang Kumari Devi keluar dari istananya untuk memberkahi raja dan seluruh kota Kathmandu.
Sejak tengah hari, lapangan di hadapan istana Durbar sudah penuh oleh lautan manusia. Di bawah kuil Taleju, ribuan perempuan duduk di atas undak-undakan. Sari yang dikenakan berwarna-warni, membentuk mozaik warna yang mengguratkan keragaman dan keceriaan Nepal. Kaum pria, turis, dan jurnalis masing-masing punya tempatnya sendiri.
Pengamanan sangat ketat. Sejak tengah hari jalan dan lorong menuju Lapangan Durbar diblokir untuk lalu lintas dan pejalan kaki. Polisi dan tentara di mana-mana. Dari jendela lantai atas Kumari Ghar, sang dewi mengintip.
Kumari Devi dibalut baju merah menyala. Mahkotanya membumbung tinggi, berhias bunga-bungaan raksasa. Matanya yang besar dikelilingi celak hitam. Di dahinya tergambar mata ketiga – agni chakchu atau ‘mata api’, pertanda suci kedewiannya.
Tetapi, di lubang jendela, saya melihat dua pasang mata gadis Kumari yang sama persis. Bukankah Kumari Devi hanya ada satu?
Mungkin yang saya lihat bukan Kumari, melainkan dua pengiringnya yang berdandan sama persis – Bhairab (Bhairawa) dan Ganesh (Ganesha). Kedua gadis titisan Bhairab dan Ganesh juga menjalani proses pemilihan yang sama seperti Kumari, tetapi tak perlu menjalani aturan seketat sang dewi.
Ketiga gadis suci diarak dengan kereta kencana memasuki istana. Raja Gyanendra dan keluarga datang dengan mobil, langsung memasuki tempat sembahyang di istana Gaddi Baithak yang bergaya arsitektur Viktorian.. Para diplomat dan tamu asing menonton dari balkon istana megah itu. Pengawal kerajaan yang mengawal tamu kehormatan berpakaian tradisional – jubah jodhpur kombor putih bersih dengan celana yang ketat, jas hitam, dan topi – peci orang Nepal.
Saya terkesima oleh gagahnya pasukan Gurkha yang berbaris di hadapan istana. Mereka adalah prajurit pilihan. Semuanya tinggi, gagah, dan tampan. Bahkan tentara Gurkha perempuan pun tegas dan memesona. Di belakang pinggang, tersemat pisau khukuri berujung bengkok, senjata Gurkha yang mematikan.
Tak lama kemudian, Raja Gyanendra keluar lagi dari istana, melambaikan tangan ke arah penduduk, masuk ke dalam mobil kerajaan dan langsung meninggalkan lapangan. Lhake, penari bertopeng seram dan berambut gimbal, memulai arak-arakan kereta kencana yang ditumpangi Kumari. Tetabuhan membahana. Suasana lapangan menjadi meriah.
Hari ini Kumari, Bhairab, dan Ganesh akan berkeliling memberkahi seluruh penjuru kota. Parade tari-tarian dan tetabuhan menyusuri jalanan kota kuno Kathmandu yang sempit, membawa kegembiraan ke sudut-sudut kota. Lhake menari dengan penuh semangat. Penduduk pun bersuka cita, mencoba menyentuh kereta yang ditumpangi dewi. Menyentuh kereta ini pun dipercaya akan memberikan berkah.
Menjelang senja, setelah mengitari kota berjam-jam, kereta kencana Kumari sampai kembali ke Lapangan Basantpur. Penduduk pun berebutan memberi hormat kepada ketiga dewi muda ini, dan banyak pula yang memotret. Sungguh kasihan, dua jam duduk di dalam kereta, diterpa kilatan lampu flash yang tanpa henti, mereka tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Malam hari, Kumari baru diturunkan dari kereta, dibopong lagi ke istananya karena kaki sucinya tak boleh menginjak tanah. Wajah mereka tampak pucat kelelahan, tanpa ekspresi. Kembalilah ia kepada kehidupannya yang sunyi, sebagai dewi yang dipuja dalam penjara istana megah. Tetapi pesta belum usai. Tari-tarian dan tetabuhan masih terus membahana. Dari mulut Seto Bhairab masih tersembur alkohol jaand, dan kaum lelaki berebutan meneguk siraman air suci yang memabukkan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Oktober 2008
kenapa aplikasi pada lengan polisi bergambar seperti lambang yahudi ya?