Titik Nol 70: Perjuangan Demi Visa Pakistan
Berita gempa bumi di Kashmir yang menewaskan hingga 40 ribu jiwa membuat hati saya tak tenang. Betapa ingin saya segera menuju ke Pakistan, mengabdikan diri di daerah gempa, melakukan perjalanan yang punya sedikit arti bagi kemanusiaan. Itu pulalah yang membuat saya bergegas melintas dari Kathmandu hingga ke New Delhi, sampai pada akhirnya saya berada di depan Kedutaan Pakistan di daerah Channakyapuri.
Kedutaan ini, levelnya High Commission, bak pasar yang dikerubuti banyak pembeli tetapi tak ada penjual. Pelataran di luar kedutaan dipenuhi orang India yang memohon visa. Banyak di antara mereka yang tidur di tikar, menghabiskan malam di pinggir jalan, hanya untuk bisa menyampaikan formulir kepada manusia-manusia dingin di balik tembok.
Petugas visa bersembunyi di balik loket-loket kecil. Loket inilah yang menjadi jendela mungil mereka berhubungan dengan para pemohon visa yang berbaris mengular. Cuma dua loket yang ada orangnya. Satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki. Pakistan memang negara yang sangat terkenal membeda-bedakan jenis kelamin.
Satu lagi loket khusus, untuk orang asing dan pebisnis. Tak sampai dua menit, saya sudah sampai di depan loket, tak perlu mengantre bersama puluhan pelamar visa lainnya. Tak banyak bicara, petugas memberikan saya formulir untuk diisi, plus meminta saya membawa dua lembar foto dan surat pengenal dari kedutaan.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi juga terletak di daerah Channakyapuri, sekitar sepuluh menit jalan kaki. Dengan penuh percaya diri saya menuju bangunan besar di sudut jalan ini.
“Assalamualaikum, Sahab,” sapa resepsionis yang orang India. Tangan kanannya memegang buku bertulis huruf Arab, mulutnya juga komat-kamit melantunkan doa.
Saya menjelaskan maksud kedatangan saya.
“Very difficult,” katanya, “visa Pakistan sulit sekali.” Resepsionis menceritakan sudah banyak orang Indonesia yang ingin mengajukan visa Pakistan dan KBRI selalu menolak menerbitkan surat.
“Memang benar,” kata seorang ibu staf lokal yang sangat ramah dengan senyumnya yang cantik, “Bapak Diplomat tidak memberi surat dengan mudah. Ini karena banyak anggota Tabligh [yang hendak ke Pakistan]. Tapi keadaan kamu kan berbeda. Kamu pengelana, dan di paspor kamu sudah banyak visa negara-negara lain. Mungkin Bapak bisa memberi surat buat kamu.”
Orang Indonesia di India banyak jumlahnya. Kedutaan ini pasti sibuk sekali. Saya merasakan suasana dingin ketika menunggu kesediaan Sang Bapak untuk berjumpa dengan saya. Ada juga seorang ibu yang menunggu dengan cemas karena paspornya dicuri orang waktu naik kereta murah dari perbatasan Nepal ke New Delhi. Gara-gara paspornya hilang, fotokopi visa India tak ada, dan tak ada bukti masuk dari Nepal, si ibu tak bisa pulang. Sudah bolak-balik ia datang ke KBRI, setelah dipingpong dalam ruwetnya birokrasi India. Hampir menangis ia bercerita, “Saya cuma ingin pulang. Masa pulang saja tak boleh?”
Bapak Diplomat akhirnya bersedia meluangkan waktunya setelah kami menunggu selama berjam-jam. Untuk kasus saya, Yang Mulia Bapak Diplomat tampak tidak terlalu tertarik mendengar cerita saya. Dengan gaya diplomasi tingkat tinggi yang tidak pernah langsung mengatakan ‘ya’ dan ‘tidak’, sang Bapak meminta saya mencari jalan sendiri, untuk menolong diri saya sendiri dan menolong Kedutaan.
“Kami tidak bisa mengeluarkan surat,” katanya, “karena di mana-mana visa itu harus diajukan di negara asal. Untuk apa kami menerbitkan surat kalau ternyata kedutaan Pakistan juga akan menolaknya? Anda kan penulis, mestinya punya banyak cara.. Sudah ya mas, tolonglah kami juga.”
Pintu tertutup.
Mbak staf lokal menghibur saya.
“Susah memang sekarang. Sudah sejak dua tahun ini pejabatnya ganti. Pejabat yang ini memang susah memberikan surat, kami pun sebagai staff juga susah. Pejabat yang lama, keturunan India, kebalikannya. Semua orang minta surat, dikasih surat. Orang Indonesia minta surat, dikasih. Orang India minta surat, dikasih. Dulu pusing, sekarang juga pusing.”
Ibu ini masih berusaha memikirkan jalan supaya saya bisa mendapatkan visa Pakistan.
“Bagaimana kalau ketemu diplomat yang lain?”.. Sudah saya coba, hasilnya sama nihilnya.
“Bagaimana kalau mengirim surat pada kedutaan Indonesia lainnya minta bantuan?” Tetapi lucu juga kalau saya minta KBRI Uzbekistan mengirimkan faks untuk ‘menekan’ KBRI New Delhi menerbitkan surat untuk visa Pakistan. Tidak masuk akal.
“Bagaimana kalau menulis surat untuk Pak Duta Besar? Di sini yang paling berkuasa adalah Bapak Dubes. Kalau Pak Dubes setuju, maka tentu saja Bapak Diplomat Konsuler tidak bisa menolak.”
“Bagaiamana kalau minta tolong KBRI Beijing? Kan kamu dulu pernah tinggal di sana?
“Bagaimana kalau minta tolong KBRI Islamabad? Siapa tahu mereka bisa menjadi sponsor visa?”
Selusin saran dan ide terus mengalir dari bibir cantik ibu staf lokal itu. Kepala saya pening. Nasib perjalanan ini semakin kabur. Pakistan adalah negara yang harus dilewati dalam perjalanan menuju barat ini, satu-satunya perbatasan India ke arah barat. Apakah saya terpaksa berhenti di sini gara-gara birokrasi negara saya sendiri?
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 November 2008
Ass, Pak… mau tanya, bahasa apa yg digunakan setiap singgah, sepertinya tdk ada kendala bahasa, trus dari mana biaya yang didapat untuk perjalanan panjang ini, pasti banyak biayanya, blog yg sangat menarik dan ditungu2…..
Walaikumsallam. Saya belajar bahasa di masing-masing tempat yang saya kunjungi supaya bisa berkomunikasi, dan tetap menggunakan bahasa Inggris. Biaya perjalanan dari saya sendiri, bekerja juga sepanjang jalan.