Titik Nol 90: Pernikahan Tengah Malam (1)
Di malam bertabur bintang, ketika saya sedang menikmati langit malam yang tenang di atap rumah, merenungi hamparan kota kuno Jodhpur yang bak mozaik masa lalu, mensyukuri betapa beruntungnya takdir yang menuntun sampai ke tempat ini, seringkali saya dikejutkan oleh bunyi genderang, musik band yang fals lagi keras, dan ledakan petasan. Itulah hiruk pikuknya pernikahan India yang memecah keheningan malam gelap.
Matahari siang terik bersinar. Gang kota Jodhpur meliuk-liuk bak labirin, mudah sekali tersesat di sini. Tetapi justru terperangkap dalam ruwetnya jalan kecil ini yang mengantar kami berdua pada pengalaman pernikahan kasta Brahmana dari Rajasthan.
Bunyi genderang dan tetabuhan bertalu-talu. Sepuluh orang berseragam merah dengan untaian sulam-sulaman cantik dari benang emas dengan penuh semangat memainkan berbagai alat musik. Mereka adalah anggota Vishal Band, band acara kawinan yang lumayan ternama di Jodhpur. Ada lima orang peniup trompet yang sampai merah mukanya kehabisan nafas. Ada para penabuh genderang dari ukuran besar sampai kecil yang memukul dengan penuh semangat. Ada yang mengusung bendera band. Ada anak-anak tetangga yang ikut menari riang. Musiknya cepat, naik turun, menggugah semangat. Tetangga melongokkan kepala dari jendela lantai atas rumah mereka.
Kalau dalam film Bollywood keributan orkestra jalanan macam ini pasti langsung diiringi hadirnya ratusan penari pria dan wanita entah dari mana yang langsung dengan serempak melenggokkan badan, melemparkan kaki, meloncat, dan beratraksi berirama. Tetapi di kehidupan real ini, yang ada cuma bocah-bocah kecil yang menari semrawut.
Saya asyik memotret, bocah-bocah semakin melompat tak karuan. Entah kehadiran kami mungkin mengganggu aliran musik, tiba-tiba dari rumah biru itu muncul seorang pria tua.
Bukannya diusir, kami berdua malah diajak masuk.
“Ini acara perkawinan,” katanya, “pengantin pria sekarang ada di rumah.”
Rumah itu mungil dan gelap. Setiap siang di Jodhpur ada dua jam pemadaman listrik bergilir. Tetapi justru dalam kegelapan remang-remang, dinding biru rumah yang dihiasi berbagai potret keluarga dan foto dewa-dewi semakin mengguratkan kesan mistis tradisi India. Rumah mungil ini penuh sesak. Kaum perempuan dengan pakaian berwarna-warni sibuk hilir mudik dari lantai atas ke bawah. Keluarga ini sangat senang didatangai orang asing. Saya dan Lam Li digeret ke sana ke mari untuk memotret kaum perempuan yang sibuk berpose di depan kamera.
Tiba-tiba, dari atas tangga sempit, turunlah sang pengantin pria diiringi oleh anggota keluarga lainnya. Wajahnya berkulit sedikit gelap. Ia semakin tampan dengan surban merah yang panjang hingga ke lutut. Bajunya berwarna coklat, celana putih bersih. Sepatunya berwarna emas, bentuknya seperti dari zaman Aladdin. Di lehernya tergantung kalungan bunga yang panjang, juga ada beberapa untai kalung manik-manik berwarna putih.
Hanya satu yang kurang – senyuman. Wajahnya tegang. Peristiwa ini pastinya adalah salah satu lembaran paling penting dalam hidupnya. Dia masih muda, umurnya baru awal dua puluhan. Berdiri tegap di atas bantal bersarung emas untuk menerima pemberkatan berupa pembubuhan seoles tika di dahinya, di atas hidung di antara kedua mata. Tubuhnya sangat tinggi, sampai sang ibu harus menjinjit.
Di luar, band mulai kembali gegap gempita, dengan musik rancak yang riang gembira memekakkan telinga. Di dalam rumah, dalam gelapnya rumah berdinding biru ini, yang ada malah suasana tegang. Seorang pemuda akan berangkat menjemput pulang sang pengantin wanita. Sang pemuda sedang menghadap ayah, ibu, kakek, nenek, dikelilingi paman, bibi, adik, sepupu… Ketika semua orang berteriak dan berseru gembira, sang pengantin malah memasang wajah garang.
Tiba-tiba sang ibuk berteriak histeris, seperti orang marah yang kerasukan. Ia mendorong sang pengantin itu dengan keras, memaksanya meninggalkan ruangan gelap ini. Paman dan bibi pun menarik sang pengantin, mendorongnya hingga keluar, menerima sambutan musik keras dari orkestra trompet dan genderang.
Di depan rumahnya, saudara-saudara yang perempuan mulai menari. Saya pertama kali melihat tarian India secara langsung. Gadis-gadis dan ibu-ibu, tua dan muda, meliukkan badannya dengan semangat mengiringi musik yang berdentang cepat. Tak kalah cepatnya, para perempuan itu berputar ke kiri, lalu ke kanan. Sari panjang yang anggun dalam berbagai warna berkibar cantik. Jari-jari lentik berhias henna dengan kuku berwarna merah menyala menjentik-jentik mengiri irama. Puluhan gelang yang melingkar di tangan ikut bergemerincing menambah meriah. Saking bersemangatnya, ada seorang saudara perempuan yang tetap menari riang sementara kerudung oranye menutupi seluruh wajahnya.
Pengantin pria hanya berdiri saja di depan pintu, menonton hiburan penuh warna ini tanpa ekspresi. Paman dan bibi masing-masing memegang selembar uang kertas 10 Rupee yang dijepitkan di antara jari tengah dan telunjuk, dikipas-kipaskan di depan wajahnya, kemudian ke atas kepalanya.
Para penari juga memegang uang, dijepitkan di antara jari tangan. Kemudian giliran seorang pria dari band yang memunguti lembar-lembar uang itu. Dari lembaran inilah mereka hidup.
Arak-arakan berjalan lambat menyusuri gang sempit ini. Musik band semakin cepat. Saya larut dalam histeria. Ada kegembiraan yang tak terkira. Ada perasaan tak percaya, berada dalam nuansa warna penuh mimpi. Bocah kecil penabuh gong pun tak kalah hebohnya, semakin lama menabuh semakin cepat dan kuat.
Sang dulha, pengantin pria, sudah siap untuk menjemput sang putri.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Desember 2008
Leave a comment