Kuem 26 September 2014: Siapa Kawan dan Siapa Lawan
“I am from China. REPEAT!” kata Papa Leo tegas, sebelum kami melangkah lebih jauh ke desa Kuem.
“I am from China,” kata saya.
“Mulai sekarang, kau orang China,” kata Papa Leo, “Di Kuem jangan sekali-sekali bilang kau dari Indonesia. Sekarang, ulangi lagi: Saya orang China!”
Papa Leo berulang kali mengatakan Kuem sangat bahaya buat saya, karena di sini banyak para pengungsi OPM dari West Papua (Papua yang dikuasai Indonesia). OPM singkatan Organisasi Papua Merdeka, gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia. Papa Leo juga melarang saya untuk berbicara bahasa Indonesia sama sekali, hanya boleh dalam bahasa Inggris dan Tok Pisin.
Tetapi sangat sulit menyembunyikan identitas asli saya. Orang sini kebanyakan tidak bisa bahasa Indonesia, tetapi mereka sering berdagang ke Indonesia. Saya memang bilang, “I am from China,” tapi setiap kali bersalaman saya tidak bisa melepaskan kebiasaan Jawa saya untuk segera menaruh tangan kanan di dada. Orang sini tahu arti isyarat itu, membalas, “Mas. Selamat pagi!”
Di Kuem, nuansa Indonesia memang sangat kental. Toko, berupa kedai atau sekadar meja di pinggir jalan, menjual produk-produk Indonesia: mi instan Indomie dan Mi Sedap, susu kotak Indomilk, rokok Gudang Garam dan Surya, beragam biskuit dan kaus … Pemilik dagangan bahkan menerima pembayaran rupiah, dengan kurs yang sangat bersahabat: 1 kina senilai Rp 2.000 (normalnya Rp 4.000 hingga Rp 5.000).
Di Kuem, rumah-rumah berderet rapat, dari tepi rawa hingga ujung belakang desa kalau berjalan kaki hampir setengah jam. Penduduknya sekitar tiga kali lipat seluruh Manda. Saking padatnya penduduk, desa ini dibagi dua, dengan satu desa kecil di seberang rawa yang hanya bisa dicapai dengan perahu. Air rawa Kuem berbau busuk, tetapi mereka memiliki sejumlah tangki penampung hujan sebagai sumber air minum. Di sini juga terdapat sekolah dasar dan sekolah menengah, rumah sakit yang menyediakan pengobatan gratis, beberapa gereja, jembatan dari logam di tengah desa untuk melintasi kali kecil (sebuah penanda peradaban modern yang sudah lama tidak saya lihat!), dan listrik. Walaupun terpencil jauh di tengah rawa, Kuem sebenarnya terbilang sangat modern (untuk ukuran Sungai Fly) berkat proyek-proyek pertambangan Ok Tedi.
Kata-kata Papa Leo yang terus diulang-ulang, bahwa penghuni Kuem semuanya berbahaya, bagaikan mantra sihir merasuk ke pikiran saya. Mau tak mau, saya jadi sangat waspada, seolah semua orang yang saya temui di kampung ini adalah musuh yang mengancam.
Lagi pula, bagaimana mungkin saya tidak mempercayai Papa Leo? Dia rela jauh-jauh mengantar saya dari Manda sampai ke sini, bersusah payah menembus rimbunnya rumput dengan kayuhan dayungnya, kini merasa bertanggung jawab untuk menemukan tuan rumah yang aman untuk menampung saya di Kuem. Ya, Papa Leo dan orang-orang Manda itu bahkan tidak kenal siapa-siapa di sini; mereka hampir tidak pernah datang ke sini kecuali kalau ada urusan sangat penting. Walaupun jarak antara desa mereka berdekatan, mereka berasal dari suku berbeda dan bicara bahasa berbeda. Orang Manda adalah suku Buazi, sedangkan Kuem adalah suku Mandobo. Untuk berkomunikasi, mereka memakai bahasa Inggris.
Kami berjalan keliling kampung. Papa Leo bicara serius dengan seorang lelaki yang pendek dan kekar, lalu tersenyum riang kepada saya. “Kita sudah temukan orang yang tepat. Kamu di tangan yang aman,” katanya sambil menunjuk lelaki itu, yang adalah pemimpin doa di gereja.
Saya justru merasa sangat tidak nyaman. Lelaki paruh baya itu menyeringai culas, dan agak terlalu antusias menerima saya sebagai tamu. Dia menggeret saya ke rumahnya, yang juga berfungsi sebagai toko tetapi sudah tiga bulan tutup karena dia sakit. Kata-kata kesehariannya seperti pengkhotbah, “Apa pun masalah yang kau punya, hanya Tuhan yang tahu. Apa pun dalam hidup, yang penting cukup, jangan berlebihan.” Tapi sejurus kemudian, dia bilang dia ingin berbisnis dengan saya, kalau bisa saya pinjami uang berapa juta rupiah supaya dia bisa beli bensin satu drum di Indonesia untuk dijual di Kuem, lalu keuntungannya kita bagi dua.
Setelah Papa Leo dan orang-orang Manda itu pulang dengan perahu mereka, saya berjuang keras untuk kabur dari rumah si juru doa ini. Saya selalu terngiang omongan Papa Leo bahwa orang Kuem berbahaya, dan bahwa semua orang Kuem ini berkerabat satu sama lain sehingga kalau saya bermasalah dengan satu orang maka saya akan bermasalah dengan seisi desa. Itu sumber ketakutan saya di sini. Saya mengingatkan diri untuk terus berpikir objektif.
Pemikiran Papa Leo dan orang-orang sini sebenarnya cukup lazim di Papua Nugini. Di negara ini, konsep persaudaraan menggunakan sistem kesukuan yang disebut wantok—dari one talk, “satu bahasa”. Secara harfiah berarti, saudara adalah mereka yang satu suku dan satu bahasa; sedangkan yang berbeda suku dan bahasa dianggap sebagai ancaman. Karena itu, sangat jarang orang Papua Nugini melakukan perjalanan ke daerah lain kalau bukan karena tugas atau mengunjungi orang yang dia kenal. Sedangkan perjalanan yang saya lakukan ini, menyusuri sungai dari desa ke desa dan dari suku asing yang satu ke suku asing yang ini, di mata mereka adalah tindakan gila.
Jurang kecurigaan antara orang Mandobo dan Buazi ini ternyata punya latar belakang sejarah. Saya semula tidak terlalu menganggap istimewa ketika seorang warga Kuem dengan bangga menyambut saya, “Selamat datang di satu-satunya desa orang Mandobo di Papua Nugini.” Di negara dengan lebih dari 820 bahasa ini, sangat wajar jika ada suku yang habitatnya cuma satu desa dan populasinya cuma beberapa puluh jiwa. Tetapi ternyata, keistimewaan Mandobo adalah, mereka seharusnya tinggal di seberang batas sana. Di Indonesia.
Moses Kukinop, seorang kepala sekolah di Kuem yang kemudian menjadi tuan rumah saya, mengatakan bahwa kakek neneknya berasal dari suku Mandobo yang mendiami Boven Digoel dan Tanah Merah di Nugini Belanda. Pada tahun 1950an, saat Pulau Nugini bagian Barat dikuasai Belanda dan bagian timurnya Australia, leluhur Moses turun gunung dari Digoel dan menemukan ladang pisang yang sangat subur di sekitar Sungai Fly. Mereka ingin menduduki daerah itu, yang ternyata sudah diklaim suku Buazi. Akhirnya terjadi perang suku yang sangat hebat. Perang itu berakhir ketika tercapai kesepakatan damai, dan orang Mandobo diizinkan tinggal di tanah orang Buazi. Itulah sejarah Kuem, yang diingat sangat jelas detailnya oleh setiap warga sini bagai orang mengingat kisah eksodus Musa ke tanah perjanjian.
Penghuni asli biasa memandang pendatang sebagai biang kerok masalah, sebagaimana orang Buazi mencurigai Mandobo. Sebenarnya orang Mandobo di Kuem ini cukup sulit; mereka hampir tidak punya tanah sama sekali di Papua Nugini, karena tanah suku mereka ada di Indonesia. Tapi siapa pula yang bisa memastikan negeri asli orang Buazi? Mereka pun hilir mudik di kedua sisi perbatasan, dan pada zaman sebelum datangnya para penjajah asing, tidak ada garis batas internasional di sini. Pada hakikatnya, semua suku ini adalah pendatang, hanya siapa yang datang dulu dan siapa belakangan.
Dan kini mereka sama-sama menyalahkan pendatang terbaru: pengungsi West Papua.
Para pengungsi yang datang dari Papua Indonesia itu umumnya dilabeli sebagai OPM, walaupun tentu tidak semuanya adalah aktivis dari gerakan itu. Cukup banyak juga warga biasa yang mengungsi karena kekerasan dan represi yang mereka alami di tanah asal mereka oleh militer Indonesia. Pada tahun 1984 terjadi gelombang besar pengungsian dari Papua Indonesia ke Papua Nugini, dan ribuan pengungsi tinggal di kamp-kamp sepanjang perbatasan, termasuk daerah Sungai Fly. Pada awalnya mereka diterima sebagai saudara oleh warga Papua Nugini, yang berempati sebagai sesama orang Melanesia berkulit hitam. Mereka dianggap sebagai wantok. Tetapi kemudian, lebih dari tiga puluh tahun orang-orang West Papua itu tinggal di sini, mulai muncul banyak konflik dengan warga setempat, terutama karena masalah tanah.
Misalnya Johny si warga Manda berkata, “Dulu kami percaya kata-kata para pengungsi itu bahwa Indonesia adalah negara yang kejam. Kami sangat takut dengan tentara Indonesia, karena mereka berpatroli dengan senapan dan helikopter. Bagaimana kalau mereka juga menjajah kami seperti menjajah West Papua? Tetapi kemudian setelah kami pergi ke Indonesia dan lihat sendiri keadaan di sana, kami tidak percaya lagi kata-kata OPM. Kami malah khawatir gara-gara para OPM di sini, kami akan dapat masalah untuk berbisnis dengan Indonesia.” Saat datang ke Manda pertama kali, saya disambut dengan kecurigaan sangat tinggi oleh penduduk. Itu karena saya menanyakan kepada mereka tentang keberadaan kamp-kamp pengungsi OPM yang ada di sepanjang Sungai Fly. Warga mengira saya adalah mata-mata tentara, dan gara-gara saya bisa-bisa tentara Indonesia menyerbu ke sini.
Kamp-kamp OPM di sepanjang Sungai Fly itu kini justru ditakuti oleh warga Papua Nugini sendiri. Mereka tidak berani ke sana, dan tidak tahu pasti aktivitas para pengungsi di sana, apakah ada penanaman ganja atau latihan bersenjata yang bisa membuat tentara Indonesia datang. Tentara Indonesia sendiri diketahui sering mengirim mata-mata ke desa-desa Papua Nugini untuk memantau keadaan kamp-kamp OPM, dengan menyamar sebagai pedagang atau pengunjung.
Seorang perempuan yang saya jumpai di Kuem mengatakan, dulu kakeknya bermurah hati meminjamkan tanah kepada para pengungsi itu ketika mereka pertama kali datang di tahun 1984. “Itu tanah kami, tapi sekarang mereka duduki dan tidak mau kembalikan. Kami pun tidak berani pergi ke sana. Sekarang kakek saya sudah mati, saya tidak berani minta mereka kembalikan tanah itu, mereka bisa bunuh saya. Saya cuma bisa bilang: Mereka harus pulang!”
Itulah garis batas. Yang bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan, kapan kawan menjadi lawan dan kapan lawan menjadi kawan. Garis batas negeri, garis batas suku, garis batas bahasa, garis batas tanah adat, garis batas agama, semua itu hanyalah dalih, dan tidak ada yang abadi. Garis batas sejati sebenarnya adalah: kepentingan.
Sore itu saya duduk di beranda rumah Anton Numberi, seorang pengungsi OPM yang kini telah menjadi warga Papua Nugini, dan bekerja sebagai guru di Kuem. Semula saya khawatir identitas saya sebagai warga Indonesia akan membuatnya membenci saya. Tetapi tidak. Anton justru sangat antusias berbincang dengan saya tentang tanah air yang telah dia tinggalkan.
Anton berasal dari daerah Serui dekat Jayapura, sementara keluarganya tinggal di Manokwari. Pada tahun 1980 dia menyelesaikan pendidikan SMA di Merauke, dan pada tahun 1984 dia ikut dalam gelombang pengungsi yang menyeberang ke Papua Nugini. Di tahun itu terjadi konflik berdarah di Jayapura, beberapa orang berusaha mengibarkan bendera Bintang Kejora—lambang Papua Merdeka, lalu terjadi penembakan oleh tentara Indonesia. Insiden itu disusul dengan eksodus 10 ribu orang dari Irian Jaya ke Papua Nugini.
“Bukankah orang Papua sendiri yang melalui referendum 100 persen setuju untuk bergabung dengan Indonesia?” tanya saya, mengingat pelajaran sejarah dari sekolah di Indonesia.
“Kamu kira itu referendum? Orang Indonesia mengira Penentuan Pendapat Rakyat 1969 itu referendum demokratis? Kamu salah besar,” kata lelaki yang suara datarnya seketika berubah menjadi tegas ketika kita bicara tentang politik. Peristiwa itulah alasan utama dia berada di sini sekarang.
PBB menentukan bahwa rakyat Papua, laki-laki atau perempuan, berhak untuk menentukan pendapat apakah Papua akan merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Tetapi, Indonesia yang menyelenggarakan referendum itu tiba-tiba mengubah aturan main. Dari sekitar 800 ribu warga Papua dari Jayapura hingga Merauke, hanya dipilih 1.025 orang untuk memberikan suara. Ayah Anton adalah salah satu dari orang pilihan itu Saat itu, Anton masih kelas 4 SD. Dia ingat ayahnya sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) ditampung di Asrama Angkatan Laut Manokwari. Masing-masing anggota Dewan mendapat hadiah radio Sanyo dari tentara—zaman itu adalah barang yang sangat berharga. Selama berada di Asrama, setiap anggota DMP ditatar dengan kekerasan militer, dan diancam akan dibunuh jika berani memberikan suara yang salah. Pelaksanaan Pepera juga bukan pemberian suara secara rahasia. Para anggota Dewan itu dikelilingi tentara bersenjata, dan ditanyai apakah menerima untuk bergabung dengan Indonesia. Dalam tekanan seperti itu, tentu tidak ada yang berani mengatakan lain. Seratus persen menyatakan setuju bergabung dengan Indonesia.
Pepera, atau “Acts of Free Choice”, sering dipelesetkan sebagai “Acts of No Choice”.
Seminggu setelah Pepera, bapak Anton pulang ke kampung. Dia berkata, “Anak, kami sudah bawa kamu ke jalan yang salah. Kamu tidak akan lihat lagi Taman Eden!” Dengan berlinang air mata dia campakkan Radio Sanyo yang diterimanya, yang oleh karenanya telah tergadai masa depan anak cucunya. Tanah air kini telah hilang.
Kenyang menyaksikan ketidakadilan atas bangsanya dilakukan oleh aparat Indonesia, Anton akhirnya memutuskan meninggalkan tanah airnya, yang dia percaya sudah bukan miliknya lagi. Dari Jayapura dia menempuh jalan darat ke Vanimo, lalu tinggal di kamp Black Wara sampai kemudian pada tahun 1988 dipindahkan oleh PBB ke kamp Iowara. Sekarang dia telah menjadi warga Papua Nugini, negeri ini adalah rumahnya. “Kami sama-sama orang Melanesia, karena itu mereka memberi kami tanah. So I still feel at home here. Kami adalah wantok, kami adalah tanah yang sama, tanpa garis batas. Sedangkan di seberang garis batas itu adalah tanahmu,” kata Anton.
Saya melihat di pintu rumah Anton tertempel hiasan dari bungkus rokok Gudang Garam—itu merek terkenal di Indonesia. Kaos yang dipakai anak lelakinya pun berasal dari Indonesia, dengan tulisan kalimat bahasa Indonesia. Seberapa pun banyaknya kepahitan di hati Anton karena Indonesia, negeri itu tetap menjadi bagian dari identitas Anton. Dia masih bicara bahasa Indonesia (dia menyebutnya bahasa Melayu), dan masih mengikuti perkembangan politik di Jakarta. Dia memantau pemilihan presiden, dan menaruh harapan ada perubahan di Papua setelah Jokowi dilantik nanti. Lagi pula, masih banyak saudara Anton yang tinggal di Indonesia, dan Anton tetap berkunjung ke Jayapura kapan pun dia bisa.
“Saya tidak membenci orang Indonesia,” katanya, “Hanya karena alasan ideologi, saya tak mau tinggal di sana.”
Tahun 2000 adalah pertama kalinya Anton kembali ke Jayapura setelah pelariannya. Di hadapan kota kampung halamannya itu, dia menangis. Dia melihat perubahan: pembangunan di mana-mana, gedung-gedung tinggi, mobil mewah, orang punya baju dan uang. Itu bagus. Dia gembira, sekaligus sedih karena orang Papua tidak menjadi tuan di tanah sendiri. Namun, kepada saudara-saudaranya yang masih tinggal di Indonesia, dia sangat berhati-hati untuk tidak bicara tentang politik dan ideologinya. Dalam kunjungan terakhir ke Jayapura tahun 2012 kemarin, dia berpesan pada saudara-saudaranya, “Jangan ikuti langkahku. Tetaplah tinggal di sini. Dan jangan kalian ikut-ikut gerakan OPM!”
Kini di tanah air barunya, Anton banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Bacaan favoritnya adalah biografi, dan dia sangat termotivasi dengan perjuangan Mahatma Gandhi. Perjuangan mencapai kemerdekaan tanpa kekerasan, mogok massal yang akhirnya sanggup meruntuhkan kedigdayaan imperialis Inggris. Mungkin orang Papua juga bisa mencapai kemerdekaan dengan mengikuti cara itu? Dia sangat berharap masih bisa menyaksikan kemerdekaan tanah airnya selagi dia masih bernyawa.
Nasionalis atau pemberontak? Patriot atau pengkhianat? Pejuang atau pengacau keamanan? Saudara sebangsa atau pengungsi pendatang? Kawan ataukah lawan? Saya dan dia memang hidup di sisi garis batas yang berbeda. Tetapi, bukankah garis batas itulah yang memasung pikiranmu, sehingga kau tak melihat dunia apa adanya? Lepaskan diri dari kungkungan garis-garis batas artifisial itu, maka kau akan menyadari bahwa kenyataan hidup tidak pernah hitam putih.
“Indonesia akan hancur suatu hari. Saya yakin itu. Kau juga percaya itu?” Matanya menatap saya lekat-lekat.
Bagus banget mas agus tulisannya. Nunggu buku ke 4 nih, hehehe…
Selalu ditunggu kelanjutannya
Selalu keren….
Kalimat penutupnya mak nyoooossss….
Bagus sekali tulisannya
Trimakasih mas Agus
Great story. Jadi tau cerita sejarah dari sudut pandang mereka. Ms Agus luar biasaa!!!!😍
Mas Agus mendobrak batas yang lama tak berani didobrak orang lain. Keren. Ayo bukukan mas, saya pasti beli bukunya.
“Indonesia akan hancur suatu hari. Saya yakin itu. Kau juga percaya itu?”
Sedih sekali membaca kalimat penutup itu.
Ada di pikiran mereka bahwa Indonesia merupakan negeri penjahat dan seperti di film-film, semua penjahat pasti kalah oleh kebaikan. Hanya perlu seorang ‘pahlawan’ untuk memusnahkan kejahatan itu. Dan memang, tindakan Indonesia di masa lalu layak menjadi pembenaran untuk pemikiran mereka.
Sekarang, Indonesia telah berubah. Demokrasi berdiri tegak, jaringan telekomunikasi berkembang pesat, dan kaum intelektual makin berani menyatakan pendapat. Yang bisa saya minta hanyalah bagi para penduduk asli Papua memberi Indonesia kesempatan kedua agar tidak mengecewakan kalian lagi
Angan2 mereka cuma sampai “Indonesia akan hancur suatu saat nanti” apa bukanya kebalik ya, mereka bisa hancur kalo mereka terus berpikir seperti itu.
Pembangunan yg merata dan pendidikan yg baik adl kunci memenangkan hati rakyat..dgn merasakan perbaikan dalam hidup dan kehidupannya akan menjauhkan mereka dari segala macam provokasi asing yg sejatinya hanya ingin dapat menguasai wilayah dan sda yg mereka miliki..dgn pendidikan yg lbh baik pula akan membuka wawasan pemikiran generasi muda mereka ttg apa arti sesungguhnya dari kata merdeka..jika mereka para pengungsi mau sedikit merenung sejenak..maka lihatlah timorleste yg kini katanya merdeka..apa arti merdeka bagi mereka..? jika itu hanya membuat kehidupan mereka lebih buruk baik dari ekonomi maupun politis..secara ekonomi mereka tdk lbh baik bahkan semakin susah..secara geopolitik dan geostrategis mereka hanya dimanfaatkan dan dikadalin oleh australia dan barat utk diperas sda di celah timornya tanpa mendapatkan apa2..
Btw tanyakan pada pemerintah australia..dimanakah suku asli aborigin australi saat ini berada..?ditempatkan didaerah konservasi dan hanya menjadi warga kelas 2 yg tak punya hak apa2..? Atau tanyakan pada usa dimanakah suku indian asli pemilik benua tsb..? Mereka semua musnah..itulah genosida sebenarnya.. Mereka kehilangan suku dan tanah leluhur mereka dan Para negara kapitalis yg selalu berteriak Ham itulah sesungguhnya penjajah yg sebenarnya yg merampas tanah dan hak leluhur mereka..yang mengeksploitasi sda dan menghilangkan jatidiri mereka sbg sebuah suku bangsa dan telah berhasil secara terang benderang berhasil melenyapkannya..
Jika kita fair melihat kenyataan ini dan melihat secara jernih maksud dari pemerintah indonesia dalam merebut irian dari belanda dan menjaga keutuhan NKRI..
Apakah hal semacam itu dgn menghilangkan suku bangsa dilakukan oleh pemerintah indonesia..? Apakah pemerintah indonesia yg melakukan pembangunan dan berusaha mengangkat harkat kehidupan masyarakat irian dgn pendidikan dan kesehatan menjadi lbh baik dapat disamakan dgn perlakuan thd aborigin dan indian oleh mereka..?hehehe Sadarlah kawan..!! Bersama Indonesia.. irian aka papua akan lebih baik dan diperlakukan sama spt suku yg lain di NKRI dan tentunya akan bersama2 menjadi lbh maju serta berkembang di semua bidang..bukankah itu lbh baik dari kondisi aborigin dan indian..?yg entah dimana mereka saat ini..
Salam damai dan sejahtera selalu saudaraku di ujung timur indonesia..
Berarti saya dan Anton berada pada garis batas yang berbeda.