Titik Nol 92: Rajput
Rajasthan adalah tanah kekuasaan kaum kesatriya yang gemilang. Nama aslinya adalah Rajputana, negeri kaum Rajput. Dari penginapan Gopal di Jodhpur, saya meraba-raba kegemilangan masa lalu para petarung ini.
Rumah kuno Gopal boleh dibilang seiris sejarah. Kamar-kamar tua beratap tinggi, dengan tata ruang yang seakan membawa saya seakan kembali ke masa kolonial Inggris. Foto-foto tua hitam putih melukiskan masa lalu India di bawah pemerintahan British Raj. Ayah dan kakek Gopal adalah para pejuang. Wajah yang tergambar pada foto tua itu sangat tampan – alis matayang keras, hidung mancung, tatapan mata tajam, kumis tipis menyiratkan aura kejantanan. Surban besar bertengger di atas kepala yang anggun. Pedang tersematdi tubuh, menunjukkan pria-pria ini bukan orang sembarangan.
Gopal berasal dari kasta Rajput, salah satu klan kasta Khsatriya – kaum pejuang. Rajput berasal dari bahasa Sanskerta Rajaputra, artinya putera raja. Levelnya sedikit lebih rendah dari kasta Brahmana, masih termasuk kelompok yang dihormati dalam struktur kemasyarakatan India.
Tengoklah Rajasthan ini yang penuh dengan benteng dan istana megah, mulai dari Jaipur hingga Jodhpur, dari Jaisalmer di utara sampaiUdaipur di selatan. Semuanya adalah peninggalan para raja, pejuang kasta khsatriya. Tak heran Gopal begitu bangga dengan masa lalu keluarganya.
Untuk mengagumi kebesaran klan kaum ksatriya ini, kami menuju Taman Mandore, terletak sekitar sembilan kilometer di utara Jodhpur.
Mandore pada abad keenam adalah kota kuno dinasti Parihar. Mandore kemudian menjadi wilayah kekuasaan kaum Rajput yang merajai tanah padang pasir Thar dari wilayah Rajasthan sekarang hingga Sindhi di balik perbatasan Pakistan. Konon, seluruh kota Mandore dijadikan mas kawin oleh keluarga Dinasti Parihar ketika menikahkan puterinya dengan pangeran Rajputyang gagah.
Kota ini sempat menjadi ibu kota Maharaja dari klan Marwari. Tetapi lama-lama, daya tarik Mandore tersedot oleh Jodhpur dengan benteng Mehrangarh-nya yang megah. Ibu kota kerajaan dipindah ke Jodhpur .Mandore kemudian hanya menjadi satelit pengiring Jodhpur, kecil dan terlupakan.
Taman hijau Mandore yang penuh dengan pepohonan begitu sunyi. Makhluk yang bergembira di sini adalah armada kera abu-abu yang gemuk dan berbulu lebat, bergelantungan ke sana ke mari mencari makanan dan melewatkan hidup. Mereka hidup dalam dunia mereka yang begtu megah – sisa-sisa keagungan kerajaan masa lalu. Tersebar di tengah taman adalah bangunan chhatri milik raja-raja yang berkuasa kala itu.
Chhatri adalah monumen kuno untuk memperingati kepahlawanan sang pempimpin. Chhatri bagi Maharaja Ajit Singh adalah yang paling megah. Terbuat dari batu, menjulang tinggi di atas bukit. Di dalamnya penuh dengan ukir-ukiran, dari lantai hingga ke puncak.
Maharaja kala itu sungguh berkuasa. Menyaksikan kemegahan monumen untuk memperingati kebesarannya sendiri., terusik juga saya bertanya sejauh mana kebesaran para bangsawan dinasti Rajput ini. Selain tentunya kebesaran Mehrangarh yang menaungi seluruh Jodhpur, juga istana Jaswant yang hanya bagi kaum tertinggi, kaum Rajput juga memerintah negeri-negeri setengah merdeka di seluruh penjuru padang pasir Thar. Total ada 15 keparenganan Rajput,terbentang dari Jaipur hingga ke Udaipur, disatukan dalam Rajputana yang kemudian menjadi Rajasthan sekarang ini.
Taman Mandore semakin ramai oleh pengunjung dari dusun pedalaman yang mengisi hari libur. Mereka datang berombongan besar, berpiknikdi halaman di depan Balairung Para Pahlawan. Di atas tikar, kaum perempuan yang berpakaian warna-warni menyolok mata menyiapkan teh dan makanan. Bocah-boca hberlarian. Ada yang bermain kriket dengan raket badminton, ada yang bermain badminton dengan bet pingpong. Sungguh kreativitas berolahraga yang mengundang decak kagum.
“Mari, mari bergabung bersama kami,” kata perempuan dalam gemerlap sari berwarna ungu. Mereka sudah menyiapkan secangkir tehsusu manis. Saya merasakan orang-orang dari pedalaman Rajasthan ini sungguh berbeda dengan suku-suku padang pasir yang saya jumpai di Pushkar. Kehangatan dan keramahtamahan yang begitu tulus, tanpa tendensi untuk mencari keuntungan dari orang asing. Mungkin selama ini saya hanya mengunjungi tempat-tempat yang ramai dikunjungi turis saja, sehingga kesan saya tentang orang India selalu berkutat dengan ketamakan, kecurangan, dan teknik tipu-tipu. Mungkin saya harus berjalan lebih dalam ke pedalaman untuk belajar lebih banyak.
Tak hanya monumen bagi para penguasa dan hikayat kepahlawanan, Taman Mandore juga punya tempat pemujaan. Kuil Hindu dengan 33 kror (1 kror = 10 juta) dewa, adalah salah satu kuil terpenting di Jodhpur. Angka 33 kror, melambangkan ketakterbatasan, adalah jumlah dewa dalam tradisi Hindu India. Dikisahkan, ke-33 kror dewa ini semua adadalam perut sapi, yang jadi salah satu alasan mengapa sapi menjadi hewan suci.
Di depan pura 33 kror dewa, api suci menyala sayup-sayup. Di sampingnya ada seorang penabuh genderang. Tetabuhan yang monoton tetapi berdaya mistis. Kuil ini adalah tempat favorit bagi pasangan pengantin baru setempat untuk melangsungkan pernikahan.
Sepasang pengantin berjalan mengelilingi api suci, diiringi tetabuhan genderang. Sari sang mempelai perempuan terikat pada surban sang pria. Surban pria Rajput tinggi dan besar, menunjukkan keagungan dan keperkasaan. Sari perempuan yang terikat pada pakaian pria,melambangkan bersatunya dua anak manusia ini dalam keluarga yang abadi. Lelaki berjalan di depan, perempuan mengikuti. Keduanya berkeliling api suci tiga putaran, sebelum melangkah ke dalam pura untuk bersembahyang.
Matahari mulai berkurang ganasnya. Langit beranjak gelap, dan rembulan pun naik ke tahtanya. Di antara chhatri yang menjulang tinggi, lingkar bulan bersinar indah. Kera-kera bergelantungan ke sana ke mari. Penduduk desa yang datang berpiknik pelan-pelan meninggalkan Taman Mandore. Monumen-monumen yang melantunkan keagungan raja-raja masa silam kembali ke alamnya yang tenang dan sepi. Masa lalu yang gemilang itu masih terkenang di taman sunyi ini.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 Desember 2008
Leave a comment