Titik Nol 98: Pernikahan Ganda
‘Cantik’, adalah kata yang terlalu sederhana untuk melukiskan kedua gadis ini. Emas bertabur di sekujur tubuh mereka, dari dahi hingga ke ujung kaki. Keduanya tertunduk di sudut ruangan, dengan kepala terbungkus kerudung merah. Keduanya, bersama-sama, akan menapaki bahtera kehidupan bersama pria yang tak mereka kenal.
Arak-arakan barat pengiring Muhammad Salim, sang pengantin pria, datang ke rumah Aman, disambut gegap gempita bunyi terompet dan tetabuhan. Akad nikah akan dilangsungkan di rumah ini, rumah dulhan – mempelai wanita.
Pernikahan Muslim India sebenarnya mengikuti aturan upacara adat yang mirip dengan pernikahan Hindu, hanya berbeda aturan-aturan keagamaannya. Misalnya mehndi – pembubuhan warna-warni di tangan dan kaki, jehez – mas kawin dari pihak perempuan, barat – arak-arakan untuk menjemput pengantin perempuan, perhitungan hari baik dan tanggal baik berdasar astrologi, semuanya ada dalam kultur umat Hindu.
Tetapi pernikahan Muslim lebih menonjolkan unsur kesederhanaan. Kesan gegap gempita penuh warna-warni tak terlalu nampak di sini. Selain itu, pemisahan laki-laki dan perempuan sangat ketat.
Tamu perempuan yang datang langsung digiring ke dalam rumah, untuk berkumpul dengan pengantin perempuan. Tamu laki-laki di lapangan terbuka, di bawah terpal, bersama pengantin pria. Pengantin tak bersanding, para tamu pun dipisahkan berdasar jenis kelamin.
Sang dulha, pengantin pria, berkalung bunga-bunga. Wajahnya tertutup kerudung merah tembus pandang. Sanak saudaranya mengikatkan benang warna merah di pergelangan tangannya, sebuah tradisi yang berasal dari kultur Hindu. Pengantin itu menangis.
Penghulu duduk di hadapannya. Kerudungnya dibuka, matanya masih sembab. Akad nikah berlangsung ketika sang penghulu mencatat nama pengantin dan para saksi dalam bukunya yang tebal, bertuliskan huruf-huruf Urdu. Kemudian semua orang menengadahkan tangan, sang pemuka agama membaca doa.
Pengantin ini resmi menikah.
Tunggu dulu. Mana pasangannya? Hingga saat ini, sang dulha belum berjumpa sekali pun dengan sang calon istri, walaupun ia sudah resmi dinyatakan menikah. Sekarang penghulu yang buru-buru menuju ke dalam rumah, tempat pengantin perempuan dikelilingi tamu-tamu wanita. Di sana proses pencatatan nama, saksi, tanda tangan, doa – akan diulang sama persis.
Bahkan di hari pernikahannya pun, kedua mempelai tak saling berjumpa.
Tak banyak pria yang beruntung bisa melihat kecantikan pengantin Muslim India. Hanya penghulu, anggota keluarga, dan juru foto. Saya termasuk yang mendapat kesempatan langka ini, bebas keluar-masuk rumah Aman yang khusus diperuntukkan untuk kaum Hawa.
Adik Aman terbungkus kerudung merah. Bajunya pun merah menyala, penuh dengan perhiasan emas. Ia duduk bersila, kepalanya tertunduk lesu. Di hadapannya terhampar segala jenis makanan dan manisan, yang disentuhnya tanpa nafsu. Di sekelilingnya para gadis dan wanita berpakaian warna-warni bersorak-sorai, mencoba menghantar kebahagiaan pada pengantin yang akan memulai hidup baru.
Siapa yang bisa tertawa di detik-detik terakhir meninggalkan rumah yang ditinggalinya sejak kecil? Apalagi ia pun tak mengenal siapa calon suaminya. Tak pernah bertatap muka, apalagi berpacaran. Tahu-tahu, pria tak dikenal itu akan menjadi pendamping seumur hidupnya. Air mata menetes menembus kerudung merah itu, di hari ketika tawa riang bertebaran, hadiah berkilauan, dan makanan lezat bertaburan.
Di sampingnya, duduk sesosok tubuh yang sama persis. Tak terlihat wajahnya, juga tertutup kerudung merah. Sekujur tangannya berwarna coklat, berhias desain mehndi. Banyak pula perhiasan emasnya.
Wanita ini juga pengantin. Hari ini ada dua pengantin perempuan. Sama-sama tertunduk, sama-sama bercampur aduk perasaannya antara sedih dan bahagia. Mereka dinikahkan dengan dua orang pria kakak beradik, di hari yang sama, di acara pernikahan yang sama.
Tak jarang kakak dan adik menikah bersama-sama. Setidaknya keluarga mereka bisa menghemat biaya pernikahan. Sekarang biaya pernikahan bukan hanya ditanggung oleh pihak perempuan. Keluarga dulha pun harus keluar banyak uang untuk menyelenggarakan pesta resepsi yang tidak memalukan.
Acara berikutnya adalah makan-makan. Karena rumah Aman tak cukup besar untuk menampung semua tamu wanita makan bersama-sama, acara makan pun dibagi menjadi dua shift. Halaman sebelah rumah yang bertudung terpal, tempat duduk tamu pria, dikosongkan. Tamu wanita dipersilahkan duduk, menikmati makanan pernikahan. Ada manisan gulab jamun, kue kering, manisan susu, biskuit, kuah lentil, roti, dan air putih. Sama sekali tak ada daging yang tersaji. Ini untuk menghormati tamu umat Hindu yang bervegetarian.
Setelah tamu wanita menyelesaikan santapannya, mereka dipersilakan kembali ke dalam rumah tertutup. Sekarang giliran tamu pria dan pengantin pria bersantap bersama. Menunya sama persis.
Menjelang malam dipertontonkanlah segala macam mas kawin yang dipersembahkan keluarga pengantin perempuan. Segala macam barang ada. Mulai dari gelas, piring, sendok, garpu, pisau, penanak nasi, kendi air, timba plastik, sampai televisi berwarna, AC, kulkas, ranjang, sofa, meja, kursi plastik, bangku panjang, almari, cermin, seprei, selimut, dan seterusnya. Ketika dijajar semua, panggung ini berubah jadi seperti toko perabotan.
Jehez, atau mas kawin, sejatinya adalah bekal yang diberikan keluarga kepada anak gadisnya yang meninggalkan rumah, untuk menempuh hidup baru di keluarga baru. Tetapi tak jarang jehez seakan menjadi tuntutan. Pengantin yang jehez-nya terlalu sedikit cenderung akan diperlakukan semena-mena oleh mertua dan keluarga suami. Punya anak perempuan di India memang tak mudah. Bukan hanya memberikan putri kepada keluarga lain, masih harus menghabiskan uang tak sedikit untuk segala jenis jehez.
Semua barang mas kawin ini diangkut ke dalam truk, siap diarak ke rumah suami. Pengantin pun diangkut keluar. Yang pria naik mobil sendiri. Wanita cantik berkerudung merah di mobil lainnya. Hingga pesta pernikahan ini berakhir pun pasangan pengantin masih belum bertemu.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 Desember 2008
bersama pria yang tak mereka kenal?? Euleuh…
Beruntung sekali bisa menyaksikan pernikahan yang kultur nya sama sekali berbeda dengan Indonesia. Trims, sudah sharing. Membuat saya semakin bersyukur karena terlahir sebagai perempuan Indonesia.
Salam kenal,
Nurul
Still waiting tons of story from afrika
Ass. Pak, tolong dijelaskan untuk setiap buku ada berapa episode?
Selalu ditunggu postingan terbaru, Miss u…..
Dalam islam justru laki2lah yg membayar mahar kepada perempuan…