Titik Nol 117: Melek Huruf
Penderitaan di Karimabad yang membeku tidaklah sia-sia. Di sinilah Al menemukan jati dirinya yang selama ini ia cari. Di sinilah ia menemukan komunitas saudara-saudari seiman.
Al tak jadi pindah pemondokan. Semua pemondokan sama dinginnya, bahkan Hunza Darbar yang tarifnya 40 dolar per malam itu pun tak punya listrik dan pemanas. Tak ada pesawat ke Islamabad, karena cuaca buruk di musim dingin di daerah yang diapit gunung-gunung bertudung salju sungguh berbahaya bagi penerbangan.
Daripada berdiam diri di Karimabad, kami turun ke desa di kaki bukit. Namanya Ganesh, entah kenapa mirip nama dewa Hindu. Kalau di Karimabad penduduknya semua Ismaili, hanya beberapa ratus meter saja di desa Ganesh ini penduduknya penganut Syiah. Kakek Haider sebenarnya adalah penganut Syiah, tetapi Al terlanjur menganggapnya sebagai pemeluk Ismaili dan masih terpesona dalam kegembiraan hidup bersama komunitas orang-orang seiman. Biarlah, biar Al hidup dalam euforianya.
Dari Ganesh, kami naik kendaraan Suzuki sampai ke desa berikutnya, Aliabad. Di Pakistan, orang biasa menyebut kendaraan umum menurut merknya. Yang dimaksud Suzuki adalah mobil pickup ukuran kecil. Bagian belakangnya dikasih terpal, untuk tempat duduk penumpang. Kalau tidak cukup, penumpang pria sampai duduk di atap atau berdiri di luar, bergelantungan pada besi bak belakang. Penumpang perempuan duduk terpisah dari penumpang laki-laki, walaupun di tempat ini aturannya tak seketat di bagian lain Pakistan.
Kami mengunjungi sebuah organisasi sosial bernama Hunza Education Resources Project (HERP) yang kegiatannya memajukan pendidikan di lembah ini. Ada lebih dari empat ribu orang muridnya, dan ratusan gurunya.
Alex, seorang gadis Inggris, sudah 18 bulan menjadi sukarelawan di Hunza. Apa yang membuatnya memilih Pakistan?
“Sebenarnya bukan saya yang memilih Pakistan, tetapi Pakistanlah yang memilih saya,” jawabnya seraya menjelaskan betapa serba kebetulannya ia sampai ke tempat ini.
Tetapi Alex tak bahagia. Ada rasa bosan terpancar di matanya yang sayu.
“Bukankah ini tempat yang indah, penuh dengan orang-orang yang ramah bersahabat?” sanggah si Al.
“Iya. Tetapi siapa yang kuat tinggal di sini? Sepi, dingin, terpencil. Turis suka datang ke sini, di musim panas, tetapi untuk jangka waktu pendek. Tinggal di sini bertahun-tahun saya rasa tak semua orang kuat,” Alex masih tersenyum berbagi suka dukanya.
“Memalukan,” umpat Al ketika kami meninggalkan kantor HERP, “seharusnya ia tak perlu datang ke sini kalau tak suka. Toh dia tidak dipaksa. Apalagi ia juga menerima bayaran!”
Rasa kebanggaannya diinjak-injak oleh isi curhat Alex, yang mungkin juga tak sengaja. Surga Ismaili yang diidam-idamkan Al dikatakan ‘sepi’, ‘dingin’, ‘membosankan’. Tetapi yang dihujat Al adalah tekad si gadis Inggris itu yang masih belum terlalu kuat untuk menjadi sukarelawan di medan yang berat.
Sebenarnya, datangnya sukarelawan asing ke tempat seperti ini juga bukan hal yang buruk sama sekali. Gaji yang diterima Alex tiap bulan bisa dikatakan uang saku saja yang nyaris tidak ada artinya sama sekali. Orang yang berdedikasi dan berkorban untuk lingkungan pun sesekali butuh hiburan dan teman bicara juga, bukan?
Pendidikan di lembah Hunza pun tidak bisa dibilang buruk sama sekali. Angka melek huruf di lembah Hunza nyaris 100 persen, sedangkan menurut data UNICEF tahun 2005, baru sekitar 50% penduduk Pakistan yang bisa baca tulis dan 68 dari 100 gadis Pakistan masih buta huruf.
“Di tahun 1960an, Pakistan adalah negara berkembang,” kenang kepala Hunza Public School and College, “bahkan kala itu Indonesia, Malaysia, Thailand masih lebih terbelakang. Tapi sekarang? Kita jadi negara terbelakang dan setidaknya Indonesia masih terus berkembang. Apa sebabnya? Kala itu satu kota hanya punya paling-paling satu madrasah saja, tetapi sekarang ada ribuan madrasah.”
Madrasah di Pakistan, yang menurut si kepala sekolah adalah sumber keterbelakangan negaranya, cuma mengajari muridnya ilmu agama tanpa pengetahuan lainnya sama sekali. Tak ada matematika dan ilmu bumi, pelajar madrasah tak belajar geografi dan biologi. Madrasah semakin menjamur di negeri ini ketika para pemimpin negara berkompromi dengan pemuka garis keras demi melanggengkan kekuasaan mereka masing-masing. Agama terus dipolitisasi, menjadi komoditi, dan kini malah membuat negeri ini semakin terpuruk.
Si kepala sekolah terus memuji Presiden Musharraf sebagai seorang pemimpin sekuler yang memikirkan kemajuan rakyatnya, tak segan terjun ke desa-desa untuk memberi penyuluhan, tetapi malah berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan. Saya tak tahu banyak tentang politik terkini Pakistan. Yang saya tahu presiden ini memang kontroversial, banyak yang suka tapi tak sedikit pula yang benci.
Al sangat puas dengan hasil perjalanan hari ini. Ada kegembiraan yang tak terkira menemukan kemodernan berpikir di dusun terpencil di pinggang gunung ini. Tak hentinya ia menawarkan bantuan, sebagai sesama umat Ismaili, kepada beragam organisasi sosial di Hunza. Tentu saja semuanya menyambut dengan senyum riang, apalagi sekarang Al juga mematenkan salah satu bandrol identitasnya yang lain – orang London.
“Jangan sungkan-sungkan, kalau ingin ke Inggris kontak saya saja, mungkin saya bisa bantu,” tawarnya. Dalam sekejap ia sudah mendapat setumpuk alamat email dari penduduk desa yang tertarik ‘membina hubungan’ dengannya.
Malamnya Al diundang oleh jemaah Ismaili di Karimabad. Hari ini hari Kamis, waktunya sembahyang bersama di jemaatkhana – masjidnya orang Ismaili. Sembahyang orang Ismaili berkonsep sebagai hubungan langsung antara Tuhan dengan manusia, tidak perlu dilihat orang. Tidak ada pengeras suara melantunkan adzan, mereka beribadah dalam kesunyian ditelan gunung-gunung raksasa yang mengelilingi..
Ketika pulang, ia begitu gembira.
“Saya mendapat penghormatan paling tinggi dari komunitas Ismaili,” katanya sambil menunjukkan sebuah topi pakkol beratap datar dengan bulu burung menyembul di salah satu ujungnya, “ini adalah hibah untuk tamu yang paling terhormat. Para tetua desa bahkan menari. Bayangkan, tari tradisional Hunza! Mereka berputar mengelilingi lingkaran, mengepakkan tangan seperti burung elang, lambat-lambat. Tetapi jujur saja, bukan tarian favorit saya.”
Ada kebanggaan dan keriangan tiada tara, menemukan komunitas orang seiman. Di akhir ceritanya Al membisiki saya, “Mungkin selanjutnya saya harus berhenti menggembar-gemborkan kalau saya dari London. Mungkin, walaupun saya tak tahu pasti, ada dari mereka yang berteman dengan saya semata-mata karena saya orang Inggris.”
Itulah identitas. Ada orang yang gila karena tak punya identitas. Ada orang yang punya seabrek identitas, bertumpuk-tumpuk, punya kebebasan untuk menonjolkan identitas yang mau ditampilkan. Dan manusia berinteraksi dengan saling meraba identitas, penyesuaian kepentingan, dan kemudian menemukan identitas-identitas baru yang tak pernah disadari sebelumnya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Januari 2009
Leave a comment